info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Rakyat Jelata

Roy Wirapati 7 Februari 2011

Pangkalan Nyirih, 22 Desember 2010

Sudah beberapa minggu aku berada di desa ini. Hening. Tidak melakukan banyak hal yang berarti. Hanya berkeliling beberapa kali ke desa-desa sebelah atau mengeksplorasi dalam desa. Bersosialisasi banyak kulakukan di kedai-kedai saja.

Ini memang kedatangan yang sangat hening. Kedatangan yang tidak dielu-elukan.

Berbeda dengan sorotan-sorotan media terhadap Gerakan Indonesia Mengajar dan para Pengajar Muda yang sangat gegap gempita sebelum keberangkatan kami. Berbeda dengan kemegahan yang kami peroleh dari berbagai macam pihak sebelum kepergian kami. Berbeda dengan reaksi-reaksi berbagai lapisan masyarakat yang begitu riuh mendukung gerakan ini.

Tidak ada sambutan. Tidak ada perkenalan publik. Tidak ada pesta penyambutan. Tidak ada warga yang berbondong-bondong melihat siapa yang datang. Tidak ada rebanaan. Tidak ada potong-potongan, mulai dari potong pita, potong kambing, potong lembu, potong kue, potong kuku ataupun potong rambut.

Tidak ada yang tahu.

Aku sama sekali tidak menginginkan sambutan yang besar-besaran, yang terlalu berlebihan. Sebetulnya aku agak sedikit bersyukur tidak ada sambutan besar-besaran seperti ini karena aku tidak ingin dianggap sebagai orang yang sangat penting karena datang ke tempat ini, faktanya aku hanyalah orang kota yang biasa saja, sama sekali belum pernah mengecap kehidupan desa.

Hal ini menempatkanku dan Rangga dalam kondisi tanpa ekspektasi, tanpa harapan dari masyarakat desa. Kami para Pengajar Muda diharapkan untuk melakukan pengembangan-pengembangan dalam masyarakat sebagai bentuk pembelajaran masyarakat. Akan tetapi, dalam kondisi ini tentunya lebih sulit bagi kami. Jangankan pengembangan pada masyarakat, pengembangan pada sekolah saja belum tentu dapat kami lakukan dalam waktu dekat.

Mengapa?

Karena kami adalah Rakyat Jelata. Di sini kami adalah rakyat jelata, sama seperti saat kami di kota. Jauh dari ekspektasi masyarakat yang menganggap kami orang-orang hebat, yang dapat membawa perubahan pada lokasi-lokasi penempatan kami. Tidak. Tidak begitu.

Kami bukanlah manusia super. Kami bukanlah orang-orang hebat yang didengar. Kehadiran kami bahkan tidak terlalu dirasakan, seberapapun sering kami berinteraksi dengan masyarakat. Kami tidak bisa mengusulkan kepada mereka program-program ciamik yang dapat digunakan untuk pengembangan masyarakat, karena kami bukan siapa-siapa.

Kami pun memutuskan untuk bertindak hening. Tidak perlu terlalu bergerak cepat menginginkan perubahan yang sangat besar, meminta mereka untuk bersikap baik kepada kami. Kami memilih untuk bergerilya. Bergerak dalam bayangan dengan menjadi guru yang baik, penduduk yang baik, mendapatkan kepercayaan masyarakat, baru kemudian kami memcoba untuk membimbing menuju program-program pembelajaran masyarakat.

Kami juga mencoba untuk sesedikit mungkin menggunakan label Indonesia Mengajar. Selain penduduk daerah ini juga belum tentu tahu karena keterbatasan informasi, kami juga ingin bisa menjadi rakyat seutuhnya. Kalau ada yang ingin diubah atau dikembangkan dari sebuah masyarakat, maka kami ingin melakukannya sebagai orang biasa. Ini adalah sebuah prinsip yang baru saja kutemui dalam perjalanan hidupku.

Jika pemimpin ingin melakukan perubahan pada rakyatnya, maka mulailah dengan menjadi masyarakat itu sendiri.

Aku telah ditempa 2 bulan di asrama dan 2 bulan di lokasi, dan baru sekarang aku memahami arti seutuhnya dari Grass-root Understanding. Inilah apa yang aku sangat cari selama ini. Inilah alasan mengapa aku bergabung dengan Indonesia Mengajar. Aku ingin menjadi bagian dari masyarakat secara utuh, tanpa harus membedakan status dan latar belakang. Aku belajar memimpin, dengan menjadi masyarakat. Bukan Top-down atau Bottom-up, tetapi sebuah Horizontal View di mana siapa pun tak pernah melihat ke atas atau ke bawah, tetapi bersama-sama melihat secara horizontal, sejajar, paralel. Inilah Grass-root Understanding, setidaknya bagi diriku. Itulah yang aku cari. Itu gaya kepemimpinan yang ingin kumiliki.

Jadi inilah kondisi kami, kondisi yang membuktikan betapa kami bukan manusia super, betapa kami sebenarnya tetap hanyalah manusia biasa, rakyat biasa. Kami ingin belajar menjadi masyarakat secara seutuhnya, yang mungkin terkadang dilupakan oleh mereka yang memimpin negeri ini, memimpin dunia ini.

Aku dan Rangga, setidaknya kami berdua ini karena aku tidak tahu kondisi kawan-kawan di luar sana, mencoba hanya akan mengeluarkan istilah Indonesia Mengajar pada waktu-waktu tertentu saja bila memang diperlukan. Selebihnya biarlah kami menjadi rakyat jelata biasa karena memang inilah tantangan bagi kami. Mungkin tidak bisa instant From Zero to Hero, mungkin tidak banyak yang bisa kami lakukan dalam setahun ini, tetapi setidaknya kami mencoba untuk belajar menjadi masyarakat seutuhnya, menjadi pemimpin yang bermasyarakat.

Dan perjalanan ini dimulai kembali...


Cerita Lainnya

Lihat Semua