info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sebuah Petisi yang disita, Sebatang Kayu yang Dipatahkan dan Seikat Hati yang Dibesarkan

Roy Wirapati 25 Desember 2010
Muara Basung, 4 Desember 2010 Hari ini hari terakhirku sebagai pengajar di SDN 07 Muara Basung. Karena ini adalah hari sabtu, tidak ada pelajaran kelas untuk para siswa. Aku datang ke sekolah untuk mengajar Tim Olimpiade untuk terakhir kalinya. Karena itulah aku harus mempersiapkan segala bahan yang diperlukan untuk latihan Tim Olimpiade hari ini. Aku harus mencetak beberapa bahan untuk latihan dan membeli perlengkapan yang diperlukan di tempat fotokopi favoritku yang bernama Studio Ananda di dekat Simpang Muara Basung. Di sanalah tempat di mana kerusuhan terbesar dalam hidupku terbentang di tepat di depan mataku. Empat puluh siswa kelas 6 mengerubuti Studio Ananda dipenuhi dengan tangisan dan teriakan mereka yang menolak kepergianku. Ini adalah hal terburuk yang bahkan tidak kuperkirakan sebelumnya. Empat puluh siswa keluar sekolah hanya untuk mengejarku dan sekarang mereka berteriak-teriak di tempat umum. Aku tidak takut dianggap oleh masyarakat telah menyakiti anak-anak itu dengan kejam, kalau mereka tidak tahu sebabnya, tetapi aku takut mereka melakukan tindakan-tindakan nekat yang dilakukan di luar sekolah entah apa itu. Mereka tidak mengijinkan aku untuk keluar dari Studio Ananda kalau aku tidak menandatangi surat pernyataan yang mereka buat. Surat itu ditulis di kertas sobekan dari buku tulis dan pernyataannya ditulis dengan pensil dengan tulisan yang acak-acakan. Isinya adalah: "Saya menyatakan bahwa saya tidak akan pindah ke sekolah lain dan tetap mengajar di SD 07 selama setahun." Di bawahnya diletakkan tempat untukku membubuhkan tanda tanganku. Dengan tegas kutolak permintaan itu. Menandatangi itu sama saja menyalahi tugasku sebagai Pengajar Muda. Aku tidak boleh menandatangani itu walaupun surat itu tidak berarti apa-apa karena itu berarti aku telah memenuhi keinginan mereka untuk tetap tinggal. Kepindahanku sudah final dan aku tidak boleh menandatangani apapun tentang pembatalan kepindahanku, walaupun itu adalah surat yang tidak punya kekuatan apa-apa. Mereka bahkan menunjukkan petisi berisi tanda tangan seluruh murid kelas 6 yang akan mereka ajukan kepada Pak Kades, Bu Camat dan Pak Dewan. Dengan sigap langsung aku sita kertas itu dari tangan mereka. Mereka semakin riuh. Aku memaksa untuk keluar dari kepungan dan langsung menuju sekolah. Mereka mengikutiku sambil menangis dan berteriak-teriak. Aku tetap melihat ke depan tanpa menoleh kepada isak tangis di belakangku. Aku masuk ke dalam kelas dan mereka semua mengikutiku dan duduk di tempat mereka. Pensil yang selalu ada dalam rompiku tak berhenti kugenggam sejak kukeluarkan dari kantong di Studio Ananda tadi untuk menggambar lingkaran. Aku menyelipkan pensil itu di antara jemariku dan kutekan kuat-kuat. Akhirnya pensil itu patah menjadi dua dan terjatuh ke lantai. Kemudian aku berkata kepada mereka: Sebatang kayu telah patah. HIdup tidak akan menanti kalian. Hidup itu keras. Jika kalian tidak menjalaninya dengan baik, maka kalian akan bernasib sama seperti pensil ini, hancur berkeping-keping. Sampai kapan kalian mau menangis seperti ini? Tidak akan ada yang berubah dalam hidup jika kita hanya menangis. Kita harus menatap ke depan dan tidak membiarkan diri kita dihancurkan oleh hidup yang keras. Perpisahan itu terjadi bukan tanpa makna. Perpisahan terjadi untuk membiarkan pertemuan baru untuk terjadi. Jika kalian menganggap pertemuan kita adalah pertemuan yang luar biasa, maka percayalah bahwa perpisahan kita akan menghadirkan kalian pertemuan baru yang lebih hebat lagi. Lagipula tidak berarti kita tidak akan bertemu lagi. Ada banyak negara, ada banyak planet, toh mereka semua berada di bawah satu langit. Jadi di mana pun kita berada. Kita akan tetap bisa bertemu. Selama kita semua terus menatap langit itu. Langit impian kalian. Hanya itu yang bisa kuingat dari kata-kataku saat berkata kepada mereka karena memang aku hanya berbicara lepas saja saat itu tanpa berpikir. Sebatang kayu telah kupatahkan, semoga tidak menjadi sia-sia. Aku meninggalkan kelas dan kelas masih dipenuhi isak tangis murid-murid perempuan, walaupun sudah tidak histeris lagi. Pada saat itulah beberapa murid ternakal di kelasku mendatangiku untuk mengkonfirmasi apa aku benar-benar akan pergi. Aku mengkonfirmasi pertanyaan mereka dengan tegas. Pada saat yang sama, aku berkata kepada mereka untuk menghibur teman-teman mereka yang menangis. Mereka adalah anak-anak yang tidak menangis pada hari ini di mana teman-temannya semua menangis. Aku mempercayai mereka tugas mulia ini karena merekalah yang bisa menahan emosi mereka hari ini. Itulah yang kukatakan kepada gerombolan anak nakal ini.  Dan mereka langsung berlari ke kelas. Di kelas, mereka berusaha menghibur murid-murid yang masih menangis. Anak-anak nakal yang biasanya dihujat oleh murid-murid lain karena kenakalan mereka hari ini menghibur teman-teman mereka dengan tulus dan teman-teman mereka pun menerima hiburan mereka dengan tulus pula. Pada hari ini, banyak hati telah diikat bersama menjadi semakin kuat. Seikat hati itu takkan mudah dipatahkan seperti sebatang kayu yang kupatahkan hari ini. Setidaknya aku melihat bahwa kepergianku ini telah menyatukan hati-hati mereka yang terpisah-pisah. Tetapi itu bukan karena usahaku. Itu adalah karena hati mereka yang terpaut karena satu alasan yang sama. Kepergianku ini hanyalah pemicunya. Aku hanya bisa tersenyum dari luar jendela. Hari ini aku lega. Aku bisa pergi dengan tenang. Sekarang aku sadar bahwa pemikiranku semalam tentang harapanku agar anak-anak membenciku agar aku bisa pergi dengan tenang itu salah. Justru pemandangan indah inilah yang membuat aku berbesar hati untuk bisa merelakan mereka semua. Aku akan berjuang di tempat lain dan mereka akan berjuang demi cita-cita mereka. Mungkin besok mereka akan kembali menjadi anak-anak nakal lagi dan kelas kembali berselisih seperti biasa tetapi setidaknya, jauh di dasar hati mereka ada sebuah ikatan yang tak terpatahkan satu sama lain, yang akan tetap menyatukan mereka, para pemimpi dari SDN 07 Muara Basung. Dan pada saat bel pukul 12.00 berbunyi, tepat pada tanggal 4 Desember 2010, aku sudah bukan lagi guru di SDN 07 Muara Basung. Smile Eternally. P.S. Petisi yang kusita itu hingga sampai saat ini masih kusimpan sebagai penghargaan kepada murid-muridku yang bersusah payah mengumpulkan tanda tangan ini. Aku akan berjalan menuju impianku dengan petisi ini sebagai pendobrak semangatku. Terima kasih pemimpi-pemimpi kecilku...

Cerita Lainnya

Lihat Semua