info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kutunggu di Universitas Indonesia!!!

Roy Wirapati 4 Januari 2011
Muara Basung, 6 Desember 2010 Perpisahan adalah sesuatu yang menyakitkan Perpisahan kerap menyisakan air mata Tetapi perpisahan membuka ruang bagi sebuah pertemuan Kita hanya perlu membuka mata... Hidup kadang terasa sakit Hidup kadang terasa semu Tapi selama kita berada di bawah langit Kita akan tetap dapat bertemu... Aku berdiri di hadapan 500 murid SDN 07 Muara Basung. Hari adalah pertama kali dan terakhir bagiku menjadi pembina upacara di SDN 07 Muara Basung. Amanat yang kusampaikan, lebih dari sekedar amanat yang biasa kepala sekolah sampaikan kepada murid-murid setiap hari senin. Amanat yang kuberikan adalah amanat perpisahan sebelum aku benar-benar meninggalkan sekolah ini untuk mengabdi di sekolah lain. Aku kembali meminta mereka untuk menatap langit biru di atas kami. Aku bertanya apakah mereka menyukai pelangi. Aku yakin mereka semua menyukainya tanpa harus bertanya. Kemudian aku tanya kembali kepada mereka apakah di langit biru itu ada pelangi atau tidak. Tentu saja tidak ada, karena tidak ada hujan. Sehingga, langit terlihat begitu sepi, biru saja yang terkadang bisa menimbulkan rasa melankoli dalam hati para pemimpi. Aku katakan kepada mereka bahwa pelangi hanya akan muncul jika hujan telah berlalu sehingga kukatakan kepada mereka jangan pernah membenci hujan, jangan pernah membenci kesulitan saat bersekolah, karena setelah kita melewati badai itu maka pelangi akan muncul, pelangi impian kita yang akan menghiasi langit biru sepi ini. Kukatakan kepada mereka bahwa mungkin saat ini beberapa dari mereka, terutama yang kelas bawah, belum terlalu mengerti mengenai hal ini, tetapi kuminta dengan sangat kepada mereka mengingat pesanku tadi. Suatu saat nanti mereka akan paham. Kemudian sebagai penutup kukatakan kepada mereka bahwa salah satu impianku ada di sebuah universitas tempatku belajar dulu, yaitu Universitas Indonesia, kampus yang telah membentukku. Aku bermimpi untuk menjadi dosen di sana. Sehingga, jika mereka terus mengikuti pesawat impian mereka yang telah mereka terbangkan, mungkin saja hidup akan membimbing mereka ke universitas itu atau mereka sendiri yang membimbing diri mereka sendiri ke sana. Sehingga, dengan lantang kuteriakkan kepada mereka semua sebagai penutup amanatku: KUTUNGGU DI UNIVERSITAS INDONESIA!!! Selama kita masih berada di bawah langit, kita masih dapat bertemu. Mungkin saja hidup akan membawa kita kepada satu titik di mana kita akan dapat bertemu kembali, bukan sebagai guru dan murid, tetapi sebagai sesama pemimpi yang berusaha mewujudkan impian dan harapan kita masing-masing. Selesailah perpisahanku dengan murid-murid melalui upacara. Pada saat kelas berakhir, satu per satu murid mencium tanganku seperti saat ingin pulang dan seorang murid menyerahkan sebuah amplop tebal yang berlabelkan "Dari Kelas 6 untuk Pak Roy adalah Guruku", yang berisikan surat-surat dari anak-anak kelas 6 yang entah kapan mereka menulisnya. Saking tebalnya sampai aku agak kesulitan memasukkannya ke kantung. Aku katakan kepada mereka bahwa akan kubaca dalam perjalananku menuju Pulau Rupat. Ada dua alasan mengapa tak kubaca di sana, 1. Surat seharusnya adalah sesuatu yang pribadi baik penulis maupun orang yang ditujukan mungkin tidak mau surat itu dibaca siapapun, 2. Jika aku membaca isi surat itu mungkin saja aku menangis di hadapan mereka semua, sementara aku bersumpah untuk sedikitpun tidak menunjukkan air mata di depan murid-muridku. Akhirnya Mas Hikmat, sang direktur yayasan pun menjemputku di sekolah. Setelah beramah-tamah dengan Bu Er dan menjelaskan secara resmi mengenai alasan kepindahan secara tiba-tiba ini, akhirnya aku pun secara resmi meninggalkan SDN 07 Muara Basung. Kami ke rumah Abi untuk berpamit dan pada saat itu Abi dengan tulus mengucapkan salam perpisahan. Aku teringat kata-kata beliau saat aku menyampaikan berita kepindahanku. Beliau berkata: "Nak Roy sedikit pun tidak merepotkan kami, justru kami yang sangat bersyukur dapat membantu Nak Roy untuk berkontribusi bagi pendidikan." Saat itulah aku menumpahkan air mataku yang tertahan sejak aku berada di sekolah. Abi menepuk-nepuk pundakku dengan damai. Beliau menghadiahkanku sarung dan peci yang selama ini beliau pinjamkan kepadaku untuk dipakai di Rupat sana. Sungguh beliau adalah orang berhati mulia. Tiga minggu ini sudah cukup untuk membuatku menganggapnya sebagai keluarga keduaku. Selamat tinggal Muara Basung beserta isinya. Jika kita terus mengikuti jalan hidup kita, impian kita, kita pasti bisa bertemu kembali sebab hidup ini dipersatukan di bawah satu langit, satu takdir menuju kepada sebuah equilibrium kehidupan yang sedikit demi sed

Cerita Lainnya

Lihat Semua