Rupat: Pulau yang Terlupakan
Roy Wirapati 11 Januari 2011
Rupat, 7 Desember 2010
Pada awalnya aku berpikir masih ada cukup waktu untukku mempersiapkan beberapa barang keperluan sebelum benar-benar terisolasi di Pulau Rupat dengan hanya mengandalkan sinyal handphone saja. Tetapi ternyata pagi ini aku sudah harus berangkat ke Pulau Rupat, lebih dulu dibandingkan kawan-kawanku yang berada di Rupat Utara.
Tepat pukul 12 siang, aku dan Rangga sudah berada di atas speed boat kecil bermuatan 6 penumpang yang hanya mengangkut 4 orang saja saat itu karena barang-barang kami bisa dihitung sebagai 2 orang. Perjalanan yang kami lalui diperkirakan sekitar 2,5 jam dari pelabuhan Dumai hingga Selat Morong, begitulah sungai yang memotong daerah sekitar Sungai Cingam, Pangkalan Nyirih dan lainnya menjadi dua bagian.
Ombak pada saat itu sedang cukup tinggi. Langit Rupat juga terlihat cukup mendung sehingga aku tidak lagi dapat melihat safir raksasa itu. Angin kencang menerpa wajah kami disertai dengan percikan-percikan air asin dan beberapa guyuran air laut yang merebak masuk ke dalam kapal kecil kami yang berusaha dengan keras menembus badai dengan bunyi glodakan dan hentakan-hentakan keras di mana-mana.
Sedari kecil aku tidak pernah mabuk laut di atas kapal, walau dengan ombak sekencang apapun. Aku pernah menghadapi laut yang lebih parah dari ini, walaupun laut ini sudah terhitung cukup parah karena keesokannya banyak pengemudi speed boat yang enggan melaut karena kondisi ombak dan angin kencang. Padahal hanya laut selat tetapi ombaknya cukup mematikan. Konon katanya beberapa kali ada kapal yang tenggelam dan mengakibatkan beberapa orang meninggal.
Selama perjalanan aku memandang ke arah kiriku. sejauh pandanganku terhadap Pulau Rupat, terbentang hamparan hutan bakau yang sangat luas. Rupat merupakan pulau yang dikelilingi oleh hutan bakau sepanjang pantai dengan beberapa tempat dipenuhi dengan pasir putih yang berkilauan karena diterpa oleh matahari. Sebagian besar dari pulau ini adalah hutan. Bahkan di desa-desanya pun masih dapat kita jumpai hutan rimba yang cukup lebat di dalam, maupun mengelilingi desa tersebut. Sebaiknya tidak bermain-main ke dalam hutan karena selain dipenuhi dengan beberapa binatang buas seperti ular dan babi hutan, hutan ini juga cukup lebat untuk membuat kita tersesat di dalamnya.
Pulau ini masih cukup jarang penduduknya. Jarak antar rumah diperkirakan 30-40 meter dan beberapa desa bahkan ada yang lebih jarang dari itu. Jalanannya sudah ada beberapa yang diaspal, tetapi sudah cukup hancur lebur untuk dilalui oleh sepeda motor dengan mudah. Masih banyak jalan yang berupa tanah yang sangat berlumpur jika musim hujan tiba. Pada jalan-jalan berlumpur, beberapa jalan sudah ditambal dengan bambu dan kayu menjadi semacam jalan setapak yang sangat tidak rata dan cukup berbahaya jika dilalui oleh sepeda motor. Jembatan-jembatan reyot dari bambu pun masih banyak ditemukan di tempat ini yang digunakan untuk menyebrangi sungai kecil. Desa-desa di pulau ini terkumpul dalam cluster-cluster yang terisolasi dengan cluster lainnya atau terkadang antar desa dalam satu cluster jika musim hujan tiba mengingat infrastrukturnya belum cukup memadai. Sehingga, transportasi air masih sangat berkembang di pulau ini. Hanya saja, biayanya cukup mahal sehingga tidak bisa sering-sering berkelana mengelilingi pulau.
Pulau ini merupakan laboratorium antropologi yang cukup menarik mengingat beragam suku bangsa telah tinggal di desa ini bahkan telah berakar beberapa keturunan sehingga tidak dapat lagi disamakan dengan keaslian mereka. Suku yang menetap di pulau ini beragam mulai dari Melayu, Jawa, hingga Cina. Ada suku asli bernama Suku Akit yang tinggal di daerah yang cukup dalam dari pulau ini. Mereka hidup secara mutual kecuali beberapa Suku Akit Dalam yang memang memiliki pemukiman tersendiri, terpisah dari percampuran suku bangsa lainnya.
Pulau Rupat juga merupakan salah satu pulau terdepan dari NKRI yang berbatasan langsung dengan Malaysia dengan jarak lebih dekat dibandingkan Jakarta-Bandung melalui jalan tol Cipularang, jauh lebih dekat. Pada zaman awal kemerdekaan, banyak penduduk pulau Rupat yang berkelana ke Malaysia hanya dengan menggunakan sampan. Hingga sampai saat ini pun beberapa dari penduduk Rupat masih banyak yang tinggal di Malaysia, dengan tujuan bermacam-macam mulai dari bekerja hingga berdagang. Sampai saat ini, Rupat masih menerima Ringgit sebagai alat pembayaran karena perputaran Ringgit melalui para pekerja Rupat yang bermatapencaharian di Malaysia masih ada yang membawa pulang Ringgit ketimbang Rupiah.
Pulau yang Terlupakan, begitulah aku menyebut pulau Rupat. Betapa tidak! Pulau ini bahkan hampir tidak ada di peta, dan tidak ada peta resmi yang memuat Rupat sebagai salah satu pulau yang dijelaskan. Lebih buruknya lagi masih banyak penduduk Riau yang tidak mengetahui mengenai Pulau Rupat ini. Padahal pulau ini jauh lebih besar dibandingkan pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Siaran TV Nasional pun tidak mencapai daerah ini jika tidak menggunakan parabola.
Konon, hingga beberapa tahun yang lalu, anak-anak di Pulau Rupat masih menganggap bahwa Presiden mereka adalah Abdullah Badawi yang adalah orang Malaysia. Jika kita mendengar kisah beberapa orang di pulau ini, memang dahulu kala sekali penduduk pulau ini hampir tidak tahu bahwa mereka adalah penduduk Indonesia. Saking kurangnya pengetahuan mereka terhadap Indonesia yang merupakan negara sendiri, pulau dahulu pantas untuk disebut sebagai Indonesia yang Hilang (The Lost Indonesia). Buruknya lagi, beberapa situs di internet masih menuliskan Rupat sebagai bagian dari Malaysia, bukan Indonesia.
Kurangnya penanaman rasa nasionalisme ditambah dengan ketidaktahuan masyarakat Indonesia tentang pulau ini menggenapkan posisi pulau ini sebagai Pulau yang Terlupakan. Memang saat ini pulau ini sudah mulai dipandang, khususnya oleh pemerintah Kabupaten Bengkalis yang memiliki visi besar untuk menjadikan Rupat sebagai kawasan berwawasan wisata, mengingat Rupat memiliki istilah lain di antara para pelancong, yaitu Surga Dunia di Indonesia dengan pantai-pantai panjangnya yang masih perawan dan dipenuhi pasir putih dan dipayungi safir raksasa khas Bengkalis yang memukau. Sehingga banyak perbaikan dan perhatian yang diberikan oleh pemerintah Indonesia akhir-akhir ini.
Akhirnya aku sampai di Pelabuhan Pangkalan Nyirih, pelabuhan paling hidup dan ramai di seantero Rupat.Di sinilah petualangan baruku dimulai. Saat kujejakkan kakiku di kayu pelabuhan yang kokoh ini, hatiku sudah tetap untuk menjadikan pendidikan dasar nasionalisme dan kecintaan terhadap Indonesia sebagai fokus utama pembelajaran yang akan kulakukan. Lebih dari itu, dengan segala upayaku, aku akan mencoba untuk memperkenalkan pulau ini kepada Indonesia.
Perjalananku ini membuka mataku dan semakin menyadarkanku akan betapa kecilnya aku, betapa tidak tahunya aku terhadap tanah airku sendiri. Di tanah tumpah darahku ini masih banyak tempat yang belum kuketahui, masih banyak yang belum kujelajahi dan masih banyak yang belum kupahami. Aku merasa betapa sebagai rakyat Indonesia, wawasan nusantaraku begitu lemah dan begitu tidak tahunya aku pada negeriku sendiri. Aku ingin bisa melihat Indonesia lebih dari ini, lebih dari yang kulakukan sekarang.
Perjalanan ini baru akan dimulai...
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda