Para Penerbang
Roy Wirapati 1 Oktober 2011
Pangkalan Nyirih, 6 Maret 2011
Akan kuwarnai langit biru sepi ini dengan pelangi impian mereka.
Sekali lagi dalam hidupku ini, aku menatap sebuah kertas karton biru besar kosong yang kugelar di lantai rumahku. Biru, sepi, hanya dihiasi oleh sebuah matahari dan awan di bagian atasnya. Kupandangi dalam-dalam dan kemudian kupandang langit di luar jendela.
Safir Biru Raksasa Bengkalis yang menaugi kami tak ubahnya karton biru kosong di hadapanku ini.
Langit adalah sebuah pemandangan yang penuh kemegahan. Langit adalah sebuah pemandangan yang penuh kesedihan. Bagi kita umat manusia, tidak ada yang lebih menyedihkan daripada sebuah perasaan kesendirian, kesepian. Langit, di tengah kemegahannya yang begitu menakjubkan, menghadirkan sebuah perasaan sepi yang menghantarkan kegalauan.
Pada zaman dahulu hanya burung yang mengarungi langit dengan bebas. Sedikit demi sedikit peradaban manusia mengalami kemajuan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Sebagian umat manusia sudah bisa mengarungi langit dengan pesawat terbang. Tetapi langit masih tetap sepi. Hanya saja, aku merasa bahwa langit itu menyimpan harapan. Saat ini pesawat dalam jumlah terbatas mengarungi kebesaran langit dan menembus lembutnya awan. Suatu hari nanti mimpi-mimpi ini akan beterbangan ke angkasa luas itu dan memenuhinya dengan umat manusia yang mengarungi angkasa hingga menembus atmosfer dengan bebas. Mimpi-mimpi yang tertahan dalam tempurung kepala anak-anak bangsa ini. Imajinasi yang tidak bisa dikeluarkan dengan bebas.
Karena itu, sekali lagi di Negeri Langit Biru Bengkalis, aku menggelar Langit Impian baru, yang kupersembahkan untuk anak-anakku di SDN 28 Pangkalan Nyirih. Akan kubebaskan impian-impian mereka dalam kendaraan imajinasi bernama Pesawat Harapan. Aku masuk ke kelas dengan gulungan karton biru tebal dan tumpukkan kertas yang kupotong berbentuk pesawat yang pincang-pincang. Tidak elok. Ya, tidak ada satu pun pesawat itu yang berbentuk elok.
“Anak-anak, berkhayallah! Sebagai umat manusia, kalian dikaruniai Tuhan kemampuan mengubah khalayan menjadi kenyataan. Maka berkhayallah sekarang, anggap diri kalian telah bisa mewujudkan segalanya. Tuliskan cita-cita besar kalian di pesawat-pesawat ini!” kata-kataku membuka sesi Langit Impian ini. Sekali lagi kujelaskan kepada mereka, entah yang keberapa kalinya, bahwa cita-cita besar bukan pekerjaannya yang besar, tetapi manfaatnyalah yang besar.
“Pak, pesawatnya pengkang-pengkang!”
“Punya saya jelek pak pesawatnya, tukar pak!”
Anak-anak mulai bersahut-sahutan mengomentari pesawatnya yang cacat-cacat itu dan minta diganti dengan yang lebih bagus. Aku hanya tertawa sambil berkata kepada mereka, “sampai kapanpun kalian cari, takkan ada pesawat yang sempurna, layaknya manusia, mau kalian cari sampai mati, orang yang tidak ada kurangnya itu tidak akan pernah kalian temukan di dunia ini. Pesawat-pesawat jelek ini menunjukkan kita semua dengan segala kekurangan kita. Tapi ingatlah! Dulu ada seorang buta tuli yang menjadi pemusik hebat bernama Bethoven. Apakah kalian yang lebih lengkap darinya mau mengeluh lagi?”
Anak-anak pun tidak jadi meminta ganti dari pesawat mereka. Kita harus sadar bahwa tak ada yang lebih baik dari yang lainnya. Semua orang punya kelebihannya masing-masing. Selain aku tidak bisa membuat pesawat itu lebih indah karena aku tidak cukup terampil, aku juga sengaja tidak memperindahnya untuk menyadarkan mereka bahwa tak ada yang sempurna. Kesempurnaan adalah warna-warni yang mereka curahkan pada pesawat-pesawat harapan mereka sendiri. Anak-anak tidak berhenti-berhentinya mengambil pesawat baru untuk menuliskan impiannya yang lain yang juga tak kalah besarnya. Aku menemukan beberapa impian baru yang berbeda, dan juga impian-impian yang sama seperti anak-anakku di Muara Basung. Ternyata bermimpi itu adalah bakat dan hak semua umat manusia, tidak peduli dari mana mereka, dari keluarga siapa, atau sekaya apa mereka? Semua berhak memimpikan hal yang sama maupun berbeda. Karena itulah keindahan menjalani hidup. Kemiskinan sejati adalah saat seseorang bahkan tidak bisaa mengakses keinginannya untuk bermimpi. Karena itulah aku hadir untuk mencoba membiarkan mereka semua bermimpi sesukanya.
Aku ingin menjadi seorang presiden yang mensejahterakan rakyatnya, aku ingin menjadi guru yang dicintai masyarakat, aku ingin menjadi penjahit pakaian-pakaian terindah di dunia, aku ingin menjadi artis yang tampil di film luar negeri, aku ingin sekolah hingga ke Eropa, dan guratan-guratan warna-warni impian lainnya mereka ukirkan pada pesawat-pesawat harapan mereka.
Tiba saatnya kami menempel pesawat-pesawat itu di langit biru sepi ini. Kukatakan pada mereka bahwa langit sepi di luar sana adalah tanggung jawab mereka dan tugas mereka adalah mewarnai dan menjaga keindahan dan kemurniannya di masa depan, dan kita mulai dengan memenuhi langit impian kita. Anak-anak dengan semangat bergantian menempelkannya. Hingga akhirnya ¾ dari langit impian itu penuh. Lalu kami tempel langit impian itu di dinding kelas kami yang sepi ini. Langit yang tampak menjulang dengan deretan pesawat-pesawat berukirkan mimpi tertempel megah di dinding kelas ini. Kami tampak puas.
Setelah kuminta anak-anak untuk duduk, aku mengambil sebuah pesawat harapan, aku tuliskan satu kalimat dan kububuhkan namaku di bagian akhirnya. Aku berjalan menghampiri langit impian kami dan kutempelkan pesawat harapanku.
Aku akan membantu mewujudkan semua impian ini, Roy.
Aku kembali berdiri di depan kelas dan kemudian aku berseru,”Selamat Pagi, Para Penerbang!”
Anak-anak tampak bingung dengan seruanku. Mereka Cuma saling tatap saja. Aku kemudian berkata kepada mereka semua,”mulai detik ini, saya akan memanggilkan kalian semua dengan sebutan Para Penerbang. Karena kalianlah yang menerbangkan pesawat-pesawat ini di langit impian kalian. Terwujud atau tidaknya impian kalian, tergantung pada kalian, Para Penerbang!”
“Saat Bapak berteriak, ‘SELAMAT PAGI, PARA PENERBANG’ kalian akan menjawab ‘SELAMAT PAGI’ sambil menirukan gerakan Bapak. Dan saat Bapak berteriak, ‘SAATNYA KITA...’, maka kalian akan menjawab, ‘LEPAS LANDAS!!!’ sambil menirukan lagi gerakan Bapak.”
“SELAMAT PAGI PARA PENERBANG!!!” seruku sambil memberikan salut berupa hormat.
“SELAMAT PAGI!!!” jawab mereka sambil memberiku salut juga.
“SAATNYA KITAAAA...” seruku sambil menggerakkan telapak tanganku yang kurapatkan jari-jarinya dari bawah pinggang kanan ke kiri atas hingga melewati kepalaku seperti pesawat yang lepas landas.
“LEPAS LANDAS!!!” jawab mereka sambil melakukan gerakan lepas landas itu.
“Setiap pagi kita akan lepas landas menuju langit impian kita, walau hanya selangkah lebih dekat dengan mimpi kita. Tak ada kata mendarat bagi penerbang yang telah lepas landas. Yang ada hanyalah lepas landas dan terbang semakin tinggi! Tak ada kata menyerah!”
“SELAMAT PAGI PARA PENERBANG!!!” seruku sekali lagi dengan salut.
“SELAMAT PAGI!!!”
“SAATNYA KITAAAA...”
“LEPAS LANDAAAAASSSS!!!”
Teman-teman, setiap manusia adalah para penerbang bagi pesawat harapan mereka masing-masing dan mengarungi langit impian ini bersama. Layaknya seorang penerbang, menabrak pesawat lain adalah kecelakaan yang sangat fatal, karena menjatuhkan kedua pesawat kita. Karena itu, dalam perjalanan kita menuju impian kita, jangan sekalipun menyakiti hati orang lain, apalagi mereka yang begitu menyayangi kita. Jangan demi impian kita, kita jatuhkan impian orang lain dengan semena-mena, karena pada akhirnya kita juga yang akan jatuh. Impian tidak akan lari, hanya kitalah yang bergerak lambat, atau malah bergerak mundur, atau malah menjauhi jalur impian kita. Karena itulah, kita semua adalah Penerbang bagi Pesawat Harapan kita masing-masing.
Jangan pernah lelah bermimpi.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda