info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Naiklah ke Atas, Untuk Apa?

Roy Wirapati 23 Mei 2011
Pangkalan Nyirih, 18 Februari 2011 Berdasarkan kesepakatan saat aku masih berada di asrama, Pengajar Muda akan mendapatkan retraining setelah 3 bulan berada di lokasi penugasan untuk dapat melengkapi kekurangan pembekalan PM yang disesuaikan dengan daerah masing-masing. Oleh karena itulah aku akan izin selama 2 minggu karena dibarengi dengan kembalinya aku ke SDN 07 Muara Basung selama beberapa hari untuk tetap membantu pengajaran di sekolah yang merupakan lokasi penugasanku sebelumnya. Oleh karena itulah aku harus menyiapkan catatan dan tugas-tugas kepada siswa-siswaku selama absenku. Untuk kelas 4 aku memberikan mereka tugas sederhana untuk membuat puisi tentang desa Pangkalan Nyirih, untuk kelas 5 aku memberikan tugas untuk membuat laporan pengalaman menarik selama aku tidak berada di sekolah. Untuk kelas 6, aku memberikan mereka tugas yang cukup khusus dan berbeda dengan kelas-kelas di bawahnya. Aku meminta mereka untuk membuat karangan yang berjudul "Jika Aku Menjadi Presiden". Aku minta mereka untuk berkhayal bagaimana jika merekalah yang bertenggar di sebelah kiri burung Garuda (dari sudut pandang kita). Apa yang akan mereka lakukan jika mereka memperoleh posisi puncak dari negeri ini. Sesaat setelah kulontarkan tema dari karangan yang harus mereka buat, kelas pun menjadi riuh dengan suara anak-anak yang berceloteh tentang apa yang ingin mereka lakukan. Beberapa memiliki tujuan mulia seperti membangun Indonesia, memberantas kemiskinan, dll. Tetapi tidak sedikit juga yang berceloteh bakal punya rumah mewah, mobil mewah, dll. Mendengar itu aku meminta mereka untuk berhenti berdiskusi dan menulis, lalu kuminta mereka melakukan sesuatu yang cukup dilarang di  sekolah ini. Aku minta mereka untuk naik ke atas meja. Ini adalah kedua kalinya mereka kuminta naik ke atas meja, pertama adalah saat mereka kuminta melempar pesawat impian pada kelas pertamaku bersama mereka. Semua anak pun dengan menurut naik ke atas meja. Kelas menjadi riuh karena mereka bersemangat melakukan sesuatu yang mereka sukai tetapi dilarang. Semua anak sudah berdiri di atas meja, dan aku pun melontarkan pertanyaan kepada mereka. "Apa yang kalian lihat?" Jawabannya pun beragam. Ada yang berkata tembok, meja, langit-langit, foto presiden, wakil presiden dan garuda, Pak Roy, dan lain sebagainya. Kemudian kulontarkan lagi pertanyaan berikutnya, "Bagaimana rasanya? Rasa dalam melihatnya?" Mulailah anak-anak berkata, lebih luas pak, karena berada di tempat yang lebih tinggi. Ada juga yang berkata, Pak Roy jadi kecil pak saya lebih tinggi. Aku tersenyum puas mendengar jawaban-jawaban itu. Pada saat itulah aku langsung mengambil kapur dan menulis di papan tulis.

"Naiklah ke atas untuk dapat melihat ke bawah dengan lebih jelas, bukan untuk mengecilkannya"

Kuminta mereka duduk kembali dan kutanya apa arti kalimat di depan. Semuanya tidak ada yang paham. Kemudian aku jelaskan kepada mereka mengapa aku meminta mereka untuk naik ke atas meja. Pada saat seseorang naik ke tempat yang lebih tinggi, misalnya menara, dunia akan serasa berbeda bagi mereka dibandingkan saat menjejakkan kaki di tanah. Cakrawala akan terasa lebih luas dan semua yang berada di sekeliling kita akan menjadi nampak. Pada saat itulah kita dapat menjadi orang yang paling paham di seluruh dunia karena bisa melihat semuanya dengan jelas tanpa harus terhalang pohon atau rumah.

Tapi apa konsekuensinya? Semua akan terlihat menjadi lebih kecil karena jarak kita yang semakin jauh dengan daratan. Kadang saking kecilnya menjadi tidak nampak dengan mata telanjang. Terkadang semuanya malah mengaburkan pandangan kita sehingga kita malah menjadi semakin tak dapat melihat daratan itu.

Menjadi pemimpin adalah sama dengan menaiki menara tersebut.Semakin tinggi posisi kepemimpinan kita, maka kita dapat melihat seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia dengan lebih jelas. Semuanya akan dapat kita amati dan kita selamatkan jika terjadi sesuatu yang dirasa perlu diberikan bantuan. Akan tetapi, semakin tinggi posisi kita, maka akan semakin besar godaan kepada kita untuk mengecilkan semua orang yang berada di bawah kita. Merasa kita adalah yang paling tinggi di dunia yang tidak bisa disentuh oleh semua orang yang berada di bawah kita. Kita bisa dibutakan oleh posisi kita tersebut dan menjadi abai dengan segala sesuatu yang berada di bawah dan terus berambisi untuk naik lebih tinggi tanpa memiliki keinginan untuk melihat ke bawah lagi.

Karena itulah, kita harus naik ke atas untuk melihat ke bawah dengan lebih jelas. Agar kita bisa mengetahui segala permasalahan di negeri ini, di dunia ini dan turut aktif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jikalau kita sudah berada terlalu tinggi hingga semuanya menjadi terlalu kecil, maka sempatkanlah untuk turun ke bawah lagi dan mengamati langsung sebagai seorang pemimpin yang bermasyarakat. Jangan sampai diri kita dibutakan oleh harta dan tahta.

Saat itulah, entah mereka mengerti atau tidak, tiba-tiba kelas riuh dengan tepuk tangan anak-anak yang dipenuhi mata yang berbinar-binar. Mereka pun berteriak kencang,

"Pak, saya ingin memberantas kemiskinan di Indonesia!"

"Saya ingin membuat Indonesia negara nomor 1 di dunia!"

"Saya ingin memberantas korupsi!"

"Kalau saya jadi presiden, nggak akan ada yang kelaparan lagi!"

Mereka sudah lupa dengan angan-angan mobil dan rumah mewah yang sebenarnya mungkin takkan diperoleh oleh presiden mengingat Presiden Soekarno pun tidak hidup bergelimang harta seperti itu. Aku puas dengan jawaban mereka. Dengan ini aku bisa meninggalkan mereka untuk sementara dengan lega. Mereka pasti bisa menulis karangan itu dengan baik, karena mereka adalah murid-murid kebanggaanku.

Nah, kawan-kawan. Pertanyaanku kepada kalian sama dengan pertanyaanku kepada anak-anak ini.

Apa yang akan kalian lakukan jika kalian menjadi Presiden


Cerita Lainnya

Lihat Semua