Kurniawan
Roy Wirapati 22 Mei 2011
Pangkalan Nyirih, 20 Januari 2011
Dari seluruh tim inti OSN-ku, ada seorang anak yang tidak serta merta menerima tawaranku untuk menjadi tim inti OSN. Namanya Kurniawan, kelas 5, seorang anak bertubuh kecil dan kurus, agak tinggi untuk anak seumurannya, dan cukup nakal pula untuk anak seumurannya, tetapi sangat sangat sangat tidak nakal jika dibandingkan teman-teman sekelasnya (Sekedar informasi, kelas 5 adalah kelas yang paling sulit dikendalikan, bahkan lebih sulit dari kelas 1).
Aku sangat tertarik pada anak ini karena selain pintar, ia adalah anak yang sangat berdedikasi pada tugas-tugasnya, misalnya pada sekolah. Saat diberikan PR, dia tak pernah tak mengerjakannya dengan baik, apalagi tidak mengerjakannya sama sekali. Saat diberi tugas di sekolah, ia adalah yang paling terakhir selesai karena ia mengerjakannya dengan sangat sungguh-sungguh. Saat PBB di kegiatan pramuka, dia adalah yang sedikitpun tidak terdistraksi dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya dan tetap mempertahankan ritmenya.
Kurniawan adalah calon tim inti OSN yang sangat ideal jika dilihat dari konsistensinya, selain fakta bahwa ia adalah juara kelas sejak kelas 1. Tetapi, tahukah kalian kawan bagaimana reaksinya saat aku mengajaknya menjadi tim inti?
"Nggak ah, pak! Berarti harus bolos sekolah donk," jawabnya. Tentu saja aku kaget. Anak ini begitu memikirkannya kalau dia bolos 2-3 hari saja nanti akan ketinggalan pelajaran sangat banyak.
"Tenang saja, nak. Itu kan tidak terlalu lama. Latihannya saja tidak pas jam sekolah," jawabku.
"Hmm, tapi bisa ketinggalan banyak pelajaran."
"Justru kalau ikut latihan olimpiade, pengetahuanmu tentang IPA akan selangkah lebih maju dari teman-temanmu."
"Pelajaran lain bagaimana, pak?"
"Dipelajari di jam sekolah. Oh, iya. Kamu juara 1 kan di kelas. Itu awal yang sangat baik, nak!"
"Wah, nggak tahu saya kalau saya juara satu," jawabnya merendah.
"Lagipula ibu belum tentu mengijinkan saya, pak," katanya lagi. Dari semua anak yang benar-benar ingin ikut, mendengar akan pergi ke ibukota kabupaten untuk seleksi kabupaten, dan bisa pergi ke Makassar jika sampai ke final, ia sama sekali tak tergoyahkan karena tanggung jawab utamanya yang berada di sekolah. Aku kagum dengan dirinya karena betapa aku dulu tidak seperti itu. Aku adalah anak yang lebih senang ekstrakurikuler ketimbang pelajaran di kelas.
Akhirnya aku biarkan dia berpikir dahulu atau mungkin lihat-lihat dulu latihan Tim Inti OSN yang akan kulakukan segera. Dan benar, awalnya aku hanya berlatih dengan 5 orang tim inti ditemani kawan-kawan lainnya yang ingin ikut belajar. Hingga suatu hari, setelah seminggu berlatih, Kurniawan datang padaku dan berkata bahwa ibunya mengijinkannya dan ia akan bergabung. Saat itulah kegiatan latihan olimpiade ini menjadi lebih hidup lagi. Karena Kurniawan walau lebih sering diam dan mencatat, tetapi kadang memberikan pertanyaan maut yang sangat menstimulasi otak teman-temannya. Tampaknya itulah bagian dari kecerdasan alaminya: Rasa ingin tahu yang sangat besar.
Kami berlatih setiap hari setelah pulang sekolah, dan hari-hariku bersama dengan Kurniawan, tim inti olimpiade, dan kawan-kawan yang turut serta berlatih semakin berwarna dengan segala eksperimen aneh yang kadang kami lakukan, pelajaran-pelajaran olimpiade yang sebenarnya sudah setingkat IPA untuk SMP, dan segala canda tawa kami. Belum ada air mata yang kami tumpahkan bersama hingga beberapa bulan ke depan. Mungkin nanti. Ada saatnya.
Kurniawan adalah salah satu siswa kebanggaanku dan ialah yang menjadi harapan terbesarku untuk mendorong teman-temannya untuk maju. Inilah anak yang benar-benar mengajariku mengenai arti integritas pada sebuah tanggung jawab. Dan perlu kalian tahu, nantinya ia akan mengajariku sesuatu yang lebih besar lagi.
Perkenalkan teman-teman, inilah Kurniawan!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda