info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kontemplasi Tahun Baru

Roy Wirapati 25 Maret 2011
Pekanbaru, 31 Desember 2010 20 tahun.. Ternyata sudah 20 tahun baru aku lalui semenjak nafasku berhembus di dunia ini. Aku berusaha untuk menatap ke belakang, melihat apa saja yang sudah kulalui hingga saat ini. Bukannya aku adalah orang yang senang berpangku pada masa lalu, tetapi ingatlah kawan bahwa tidak ada mobil yang dapat berjalan dengan baik tanpa kaca spion. Setengah tahun yang lalu, tidak sedikitpun terbesit dalam pikiranku bahwa saat ini aku sedang berada ratusan atau mungkin ribuan kilometer dari rumahku mengajar di pedesaan di luar pulau Jawa. Tak sedikitpun terbesit di benakku bahwa aku akan menjadi guru, sesuatu yang belum pernah kulakoni hingga setengah tahun yang lalu. Tanpa terasa, aku sudah berada di asrama MTC di Ciawi melakukan pelatihan bersama dengan 50 orang Pengajar Muda lainnya. Bersama berusaha mengembangkan diri, saling berbagi, dan melewati segala suka dan duka bersama. Aku bukanlah seorang pengajar yang baik. Dari dulu aku selalu alergi dengan anak-anak. Aku selalu bingung ingin melakukan apa kalau bercengkrama dengan anak-anak yang berusia di bawah SMP. Mereka kadang takut melihatku. Bahkan keponakanku sendiri selalu menangis jika melihatku dari jarak 5 meter seperti melihat setan yang sangat menyeramkan. Mungkin aku tidak memiliki bakat bergaul dengan anak-anak. Itulah yang kupikirkan saat itu. Tetapi entah mengapa saat aku mendengar Indonesia Mengajar, aku langsung mendaftar tanpa ragu, tanpa mengetahui program apakah ini. Aku baru paham Indonesia Mengajar secara sepenuhnya pada saat Direct Assessment. Pada saat mengisi formulir, motivasiku hanyalah untuk turut mengajar di daerah terpencil. Hanya itu. Ajaibnya, perjalanan ini telah memulihkanku dari alergiku pada anak-anak. Entah apakah aku pernah menceritakan ini atau tidak. Tetapi, semua rasa alergiku terhadap anak-anak hilang dalam sekejap pada suatu hari di MTC sewaktu pelatihan dulu. Kami sering menjamu anak-anak SD Pancawati 1 untuk belajar dan bermain bersama kami. Tentu saja aku yang kaku dengan anak-anak ini berusaha sekeras mungkin untuk bisa bermain bersama dengan mereka sebagai seorang kakak. Tak terasa sudah 2 minggu kami bermain dan pada suatu hari itu, aku mengantarkan mereka semua pulang hingga ke pintu gerbang luar MTC yang jaraknya sekitar 200-300 meter dari MTC. Saat itulah aku mendengar anak-anak itu secara berganti-gantian berteriak kepadaku, "Dadaaahh, Kak Rooyy!" Pada saat itulah seperti angin yang mematikan nyala lilin, semua alergiku sirna. Lenyap tak berbekas. Benarkah seorang yang kaku dengan anak-anak sepertiku pantas mendapatkannya? Ya, itulah pertama kalinya aku mulai menyukai anak-anak dan menuangkan segala ketulusan hatiku kepada mereka. Tetapi, sekali lagi aku bukanlah pengajar yang hebat. Di sana-sini sobat-sobatku para Pengajar Muda yang lain telah menceritakan melalui berbagai macam media tentang keberhasilan mereka mendidik murid-muridnya, keberhasilan mereka mengatur kelasnya, serta keberhasilan mereka menyampaikan materi. Sementara aku? Yah, kalau anak-anakku mau diam mendengarkan di dalam kelas saja sudah bersyukur. Tetapi, aku sikapi hal itu sebagai sebuah pembelajaran. Bahwa aku masih harus banyak belajar. Tahun baru pertamaku jauh dari rumah telah tiba. Orang sering mengkaitkan tahun baru dengan semangat baru. Tetapi, tahun ini berbeda bagiku, sangat berbeda. Ini tahun yang spesial. Pada tahun baru inilah, aku akan lahir kembali sebagai guru yang sepenuhnya. Dengan filosofi cinta kasih yang telah kupelajari selama perjalananku ke Bukittinggi, aku akan memulai mengajar di sekolah baruku di SDN 28 Pangkalan Nyirih. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli seberapa jauhnya kemampuan diriku dari sobat-sobat Pengajar Mudaku yang lain. Aku juga tidak peduli seberapa jauh pencapaianku dibandingkan mereka. Ini bukanlah kompetisi menjadi yang terhebat, bukan pula sesuatu yang harus diperbandingkan. Daripada berkompetisi jauh lebih baik agar kita saling belajar dari kelebihan masing-masing. Itulah yang harus kita semua sadari. Kembali kuingat pesan Prof. Suahasil Nazara, dosen yang mengubah hidupku, sebelum aku berangkat bertugas. It's not about you, it's about them. Bukan tentang diriku, tetapi tentang mereka. Mulai sekarang, aku akan paling peduli dengan mencurahkan kasih sayangku kepada anak-anak ini. Aku harap, semangatku ini, kasih sayangku ini, bisa tersampaikan dengan baik ke hati mereka masing-masing. Inilah kontemplasiku untuk tahun baru. Mari menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi. Smile Eternally

Cerita Lainnya

Lihat Semua