Ketika Kita Tak Memiliki Apa-apa

Roy Wirapati 6 September 2011

Bengkalis, 28 Februari 2011

Hari ini aku selesai melakukan Retraining dan Refleksi bersama dengan Bu Wei, Mas Eko, dan Mbak Nia yang jauh-jauh datang dari Jakarta ke Bengkalis. Sayang waktunya tidak cukup untuk membawa beliau-beliau ini untuk melewati padang lumpur favorit kami.

Selepas Retraining aku melakukan perenungan pada diriku sendiri. Aku melihat kembali ke belakang mengenai kondisiku bulan ini, bulan Februari ini. Seperti yang telah kuceritakan, bulan ini aku melakukan latihan intensif bersama semua muridku untuk menghadapi OSK 2011. elama persiapan ini aku menghabiskan banyak sekali dana untuk bahan latihan, fotokopi soal dan lain-lain. Karena tidak seperti melatih Tim Inti OSN yang hanya berjumlah 6 orang, aku melatih sekitar 50 anak, yang merupakan semua siswa dari kelas 4 sampai kelas 6.

Sebenarnya pada bulan ini aku menyiapkan cukup banyak uang cadangan untuk dibawa ke pulau karena di Rupat sama sekali tidak ada ATM dan tidak ada bank. Aku mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan ke Bengkalis untuk melakukan retraining. Dan tidak kusangka, semua uang itu habis untuk mengadakan latihan anak-anak ini. Uang terakhirku habis untuk memfotokopi soal latihan untuk anak-anak yang ternyata biayanya melebihi Rp200.000,- karena mahalnya fotokopi per lembar di pulau ini.

Tinggallah aku hanya memiliki segelintir uang yang hanya cukup untuk naik Speed Boat ke Dumai dan untuk beli bensin sepeda motor. Tidak cukup untuk membeli apa-apa lagi. Pada masa inilah aku merasakan rasanya berada dalam kondisi benar-benar tidak memiliki apa-apa. Pada masa inilah aku merasakan ketidakberdayaan yang sangat besar.

Saat aku pergi ke kedai untuk beli bensin, aku melihat tumpukan roti murah yang biasa kubeli untuk pelepas laparku. Sembari membayar bensin yang kubeli aku mengintip dompetku. Mencelos rasanya bahwa untuk membeli roti yang murah itu pun aku tak mampu. Saat pulang dari kedai aku melewati kedai mie, kedai miso, dan kedai sate yang biasa aku datangi untuk duduk-duduk walau hanya untuk sekedar minum kopi bersama kawan. Mereka menjadi terasa begitu jauh dariku, begitu tidak tergapai. Tempat-tampat itu yang biasanya kudatangi setiap hari, layaknya menjadi magnet berbeda kutub dengan diriku,

Aku tidak berdaya... dan aku masih harus bertahan seperti ini beberapa hari lagi.

Saat itu terbesit di kepalaku sebuah pertanyaan yang kutujukan pada diriku, "Apakah aku salah mengeluarkan terlalu banyak uang seperti ini untuk mengajar murid-muridku sehingga aku menjadi tidak punya uang, mengorbankan segala kenikmatanku?"

Jauh di dalam hatiku aku berkata pada diriku sendiri bahwa demi mereka aku rela memberikan apapun, walaupun harus kehabisan uang di pulau ini. Karena mereka memerlukannya, dan aku punya sumber daya untuk mewujudkannya.

Pertanyaan ini pun kudiskusikan kepada salah satu sahabat perjuanganku di Bengkalis, Agus. Ia pun menjawab,"Biarkanlah anak-anak yang bersenang-senang, kita saja yang mengorbankan kesenangan kita. Mereka belum pernah merasakannya. Dan bukankah ini menjadi pelajaran tersendiri buat kamu untuk jadi menghargai orang-orang yang tidak mampu?"

Jawaban Agus begitu menancap dalam hatiku. Belajar menghargai orang yang tidak mampu. Ya, ini adalah pelajaran bagiku untuk menghargai orang yang tidak mampu. Lagi-lagi betapa naifnya aku yang bercita-cita ingin memberantas kemiskinan dan tidak pernah berusaha untuk memahami perasaan mereka yang terdalam.

Saat aku tidak memiliki uang sama sekali, aku melihat betapa semua makanan di kedai yang selama ini kubeli begitu jauh dariku walau begitu dekat. Aku bisa merasakan betapa hasrat terdalamku ingin membeli tetapi kenyataan menghalangiku. Aku bisa merasakan betapa liur yang terkumpul saat melihat makanan-makanan itu dipajang tidak dapat membelinya sama sekali.

Pasti ini yang dirasakan oleh sahabat-sahabatku di luar sana yang tidak mampu. Saat mereka berjalan di pinggir-pinggir jalan yang gemerlapan, melihat makanan-makanan lezat dipajang begitu saja, bau tajamnya tercium hingga beberapa puluh meter, dan mereka hanya bisa melihat, tanpa bisa membeli walau hanya kuahnya saja. Ini pula mungkin yang dirasakan oleh ibu-ibu di kereta yang anaknya merengek membeli minuman teh botol dan ternyata ibu itu tak mampu membelinya. Inilah yang dirasakan oleh 40% atau mungkin lebih dari penduduk negeri ini. Aku kembali diingatkan tentang filosofi warung jawa yang tertutup dan untuk dapat melihat dan mencium bau masakannya pembeli harus masuk ke dalam. Inilah salah satu filosofi kesederhanaan dan sikap menghargai dalam budaya Jawa yang pantas ditiru.

Sejak awal perjalananku aku sudah putuskan bahwa perjalanan ini untuk mendekati impianku memberantas kemiskinan dan ternyata perjalanan ini memberikan aku sebuah Kuliah Kerja Nyata yang begitu membekas dalah hatiku. Resolusiku pada hari ini adalah aku harus lebih menghargai mereka, orang-orang yang tidak mampu. Sekali lagi perjalanan ini mendewasakanku. Sesuatu yang takkan kuperoleh jika tak kulakukan perjalanan ini.

Aku pun telah menetapkan resolusi lain. Anak-anakku pun pasti juga pernah merasakan ketidakberdayaan, saat mereka melihat kemegahan ibukota di TV, dengan gedungl-gedung pencakar langit, iklan-iklan Taman Impian jaya Ancol, makanan-makanannya yang tak pernah mereka cium baunya, dan sebagainya. Aku akan menghapus perasaan ketidakberdayaan mereka. Aku akan kerahkan semua kemampuan dan sumber dayaku untuk memberikan mereka harapan untuk menuju ibukota melalui OSN dan OSK, serta kegiatan-kegiatan lain yang memungkinkan mereka untuk terbang ke sana.

Aku tidak akan lagi takut tidak memiliki apa-apa. Karena justru tanpa perjalanan ini, aku tidak akan memiliki apa-apa. Perjalanan ini, dan anak-anak ini memberikan aku begitu banyak hal. Dan aku bersumpah akan mengembalikan semuanya kepada mereka dengan setimpal,

Inilah resolusiku...


Cerita Lainnya

Lihat Semua