Dua Pengembara Muda
Roy Wirapati 26 Januari 2011
Teluk Rhu, 12 Desember 2010
Sebagai orang-orang yang datang ke Rupat terpisah dari rombongan, aku dan Rangga tidak banyak mengetahui mengenai tempat tinggal dari kawan-kawan kami yang berada di Rupat Utara. Sehingga timbullah keinginan untuk mengunjungi kawan-kawan kami itu, khususnya Pipit di Kadur dan Nene di Teluk Rhu yang relatif lebih mudah dicapai. Itupun harus melalui jalanan neraka yang sangat rusak dan dipenuhi dengan lumpur.
Karena kami baru kenal dengan Pak Gopar dan keluarga tentunya sangat tidak enak jika kami langsung meminjam sepeda motornya untuk berkelana sehingga kami harus mencari alternatif kendaraan lain untuk bisa bepergian ke tempat kawan kami tersebut. Kami pun berpikir keras dan tiba-tiba terbesit ide gila yang dulu pernah kulakukan di Muara Basung: Berjalan Kaki. Darah muda kami yang menginginkan petualangan pun berdesir. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukannya, berjalan kaki dari Pangkalan Nyirih ke Kadur yang berjarak sekitar 12-13 km.
Pagi-pagi sekali kami sudah siap dengan ransel yang berisi barang-barang untuk menginap. Perjalanan ini kami perkirakan akan memakan waktu 2 jam saja. Pada tepat pukul 7 pagi, kami melangkahkan kaki dari desa Pangkalan Nyirih. Perjalanan ini begitu dapat dinikmati karena udara pagi ini tidak terlalu panas bahkan cenderung membawa angin sepoi-sepoi yang terus menerpa tubuh kami yang berpeluh.
Sekitar setengah jam berlalu dan kami sampai di simpang empat (istilah lokal untuk perempatan) penghubung antar desa. Jika kami lurus maka kami akan menuju rumah dan desanya Rangga, yaitu Sungai Cingam. Dan jika belok kiri kami akan menuju Makeruh, lalu Lelong di mana kami akan menempuh perjalanan menggunakan kepompong (semacam perahu motor dari kayu yang hanya menggunakan satu motor saja sehingga cukup lambat untuk menempuh perjalanan jauh) untuk mencapai Kadur, desa di mana Pipit bertugas. Sementara itu, jalanan ke kanan belum kami jelajahi hingga saat ini sehingga kami tidak tahu ke mana jalanan tersebut akan berakhir, tetapi seharusnya berdasarkan logika dan pemahaman ruang, ditilik dari pemetaan desa seharusnya jalan tersebut akan berujung di jalan tanah antar desa Pangkalan Nyirih dan Sungai Cingam. Karena tujuan kami adalah Kadur, maka kami banting setir ke kiri setelah mengisi perbekalan kami dengan beberapa potong roti dan beberapa botol air putih di kedai (istilah lokal untuk warung) dekat simpang tersebut.
Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan banyak penduduk yang menyapa kami. Sesuai dugaan kami sebagian besar dari mereka menanyai tentang tujuan kami. Kami dengan ringan menjawab ke Kadur. Reaksi dari mereka bermacam-macam. Ada yang kaget, tertawa, atau bingung. Melihat wajah-wajah mereka yang menanggapi tindakan kami yang berjalan kaki tersebut, kami seperti menprediksi makna dari pandangan mata mereka. Yang tertawa mungkin sedang berkata dalam hati, "Kasihan budak-budak (bahasa lokal untuk "anak" atau "bocah") ni, jauh amat sampai ke Kadur jalan kaki". Kalau yang kaget mungkin berpikir, "Buset! Sinting kali ya budak-budak ni! Mana pula ke Kadur jalan kaki?". Kalau yang bingung mungkin berpikir, "Dua anak bodoh pergi bertualang... Lalalala.." dengan nada lagu "Anak Bebek" yang diajarkan Asti kepada kami waktu di asrama.
Ya, memang setelah dua jam berlalu baru terasa mengapa hal ini begitu bodoh. Karena perjalanan yang kami perkirakan menghabiskan waktu dua jam ini ternyata lebih lama dari yang kami duga. Dua jam terlah berlalu dan kami bahkan belum menemui palang yang bertuliskan "Selamat Jalan Pangkalan Nyirih". Berarti perjalanan kami masih lebih lama lagi karena tujuan kami adalah Lelong yang dicapai dengan melewati Desa Makeruh.
Hari mulai panas dan keringat kami semakin bercucuran. Rasa penat (istilah lokal untuk lelah) mulai menyerang tubuh kami. Perjalanan ini pun mulai terasa berat. Kami teringat bahwa di awal-awal perjalanan kami ini, kami sempat ditawari naik gerobak yang ditarik sepeda motor oleh penduduk sekitar ke Makeruh dan kami dengan heroiknya, karena masih dikuasai darah muda ini, menolak tawaran tersebut. Penyesalan memang datang belakangan, tetapi setidaknya kami berusaha untuk meneguhkan hati kami ini agar bisa menyelesaikan perjalanan ini dengan baik.
Di tengah-tengah panas yang mulai menyengat itulah kami melihat beberapa ekor sapi sedang merumput di pinggir jalan selepas kami meninggalkan Pangkalan Nyirih. Salah satu sapi yang kami lihat sedang merumput dengan santainya hingga akhirnya dia melihat kami dengan pandangan melecehkan. Kenapa melecehkan? Mungkin kamu mau membayangkan saat kita masuk ke sebuah bar atau diskotik (yang mana sebetulnya aku juga belum pernah, cuma bayangkan saja, mungkin agak mirip) kemudian kamu yang datang tanpa ditemani oleh pasangan sementara ada seorang lelaki yang ditemani banyak wanita lalu menatapmu dengan menenglengkan kepalanya dengan sombong sambil mengejekmu.
Itulah yang dilakukan sapi ini. Dia menenglengkan kepalanya ke samping dengan sudut yang tidak wajar seperti pria di bar yang sedang melecehkanmu seraya memamah biak rumput dengan santai. Entah apakah kondisi psikologis kami sedang kacau karena perjalanan yang terlalu melelahkan atau bagaimana tetapi pandangan mata sapi tersebut seperti melecehkan kami. Kami pun sampai sebal melihatnya. Rangga pun ngomel-ngomel kepada sapi tersebut (yang mana jelas adalah sebuah tindakan percuma) dengan berkata, "Apa lu lihat-lihat? Apa lu? Mau brantem?"
Dengan hati kacau kami pun meninggalkan sapi yang melecehkan kami tersebut, yang seakan berkata, "Ngapain sih dua budak ni. Bukannya di dunia manusia ada teknologi yang namanya HONDA." Perjalanan pun kami lanjutkan. Karena kami berusaha mencari aktivitas di perjalanan yang cukup sepi in ditemani sapi-sapi yang merumput sepanjang jalan, kami akhirnya mendapatkan satu kesimpulan aneh di mana kami mencoba membuat hipotesa bahwa sapi bisa duduk tegak seperti anjing atau manusia karena bokongnya berwarna putih, tanda sering digunakan untuk duduk. Memang rasa lelah bisa membuat kita menjadi gila.
Akhirnya tibalah kami di desa Makeruh. Aku yang belum sarapan dari pagi, karena keluarga angkatku memang jarang memasak makan pagi, mengajak Rangga mampir ke kedai sebentar untuk beli cemilan. Jadilah kami membeli beberapa batang es sirup beku, lalu melanjutkan perjalanan ini. Beruntunglah kami di tengah jalan, seorang kawan guru dari Rangga yang bernama Pak Ismail menawarkan kami untuk mengantar kami menuju Pelabuhan Lelong. Perjalanan kami yang hanya tinggal seperenamnya saja ini mendapat bantuan. Kali ini kami tidak menolak. Dalam waktu 5-10 menit saja kami sudah menjejakkan kaki kami di Pelabuhan Lelong.
Pelabuhan ini adalah pelabuhan kecil yang sepi dan tidak banyak pengunjung seperti di Pangkalan Nyirih. Kami melihat jam dan ternyata sudah jam 12 siang. Pantas saja perut kami terasa begitu lapar. Apalagi aku yang belum sarapan ini. Di Kadur, Pipit sudah menyiapkan kami makan siang yang begitu kami nanti-nantikan dalam perjalanan ini. Malang nasib kami. Ternyata agar kepompong bisa segera angkat sauh, mereka harus menunggu hingga penumpangnya cukup banyak dulu. Akhirnya kami harus menunda makan siang nikmat kami tersebut. Kabar yang lebih buruknya lagi adalah kami harus menunggu hingga satu setengah jam sampai akhirnya kepompong tersebut melaut juga.
Dalam waktu 15 menit kami sudah tiba di Kadur. Perjalanannya tidak sampai seperlima dari waktu menunggunya. Kami dijemput Pipit di pelabuhan Kadur dan langsung menuju ke rumah Penghulu (istilah untuk Kepala Desa) di mana Pipit tinggal selama bertugas. Di sini kami sudah disiapkan indomie goreng dan indomie rebus masing-masing indomie 4 bungkus sehingga total 8 bungkus indomie. Saking laparnya, kami pun makan bak hewan liar, meraup semua makanan yang ada di hadapan kami dan tak terasa, 8 bungkus pun tandas hanya oleh kami berdua.
Perjalanan ini terlalu melelahkan. Kami melihat wajah kami di cermin dan terlihat wajah dekil, hangus, dan dipenuhi rona-rona kecapaian yang cukup signifikan. Ternyata kami berdua belum memiliki fisik yang cukup kuat. Ternyata kami kurang latihan. Ternyata memang kami harus lebih banyak berolah raga setelah ini untuk membangun fisik kami yang lemah. Begitu banyak pelajaran yang bisa kami petik dari kebodohan kami hari ini. Kami merasa begitu kecil, begitu lemah, jika dibandingkan penduduk setempat. Maka dari itulah kami harus menjadi lebih kuat.
Setidaknya perjalanan ini telah membawa kami kepada dua orang kawan baik kami ini, yaitu Pipit dan Nene. Setelah beristirahat, kami akan segera mengunjungi Nene di Teluk Rhu. Kami berencana untuk tidak pulang ke Pangkalan Nyirih jalan kaki keesokan harinya, tetapi kami belum tahu bagaimana caranya. Perjalanan hari ini pun ditutup.
Memang kebahagiaan itu ada di ujung derita. Sampai saat ini kami masih menyimpan kisah ini dalam hati kami karena betapa pada saat itu kami merasa begitu bahagia saat tiba di tempat tujuan setelah melalui tantangan tersebut. Memang benar, semakin besar kesulitan, semakin besar kesenangan yang diperoleh setelah sampai di tujuan. Itulah sisi positif dari perjalanan ini.
Pada hari ini, PM bukanlah Pengajar Muda, tetapi Pengembara Muda dari Indomesia Mengembara. :)
Smile Eternally.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda