Anak-anak: Garda Terdepan Dalam Perubahan

Roro Ayu Kusumastuti 27 Oktober 2014

Senyum-senyum manis merekah indah di sudut bibir anak-anak SD Inpres Sawangakar. Mereka berpose di antara karya-karya mereka. Ya, deretan tempat sampah warna-warni bergambar aneka rupa yang berjajar rapi di depan kelas itu adalah hasil kerajinan tangan mereka.

Berawal dari sebuah pengamatan lingkungan yang mengundang keprihatinan. Masyarakat Desa Sawangakar adalah masyarakat pesisir yang sebagian besar penduduknya tinggal di rumah papan di atas laut, termasuk saya. Karena di bawah rumah adalah pantai, seringkali saat air laut surut, yang tertinggal adalah sampah-sampah beraneka rupa dan warna, mulai dari bungkus makanan, botol minuman, kaleng oli, karung plastik, baju, hingga popok bayi. Berkali-kali kami--anak-anak murid dan saya--membersihkannya. Namun berkali-kali juga sampah itu datang lagi. Bahkan, pernah satu kali kami memungut sampah-sampah itu hingga terkumpul 23 kantong plastik hitam berukuran besar!

Kita semua tahu bahwa salah satu kriteria rumah bersih adalah bebas dari sampah. Lalu apa kabarnya jika rumah-rumah warga berada di atas laut? Dari yang saya lihat, membersihkan rumah dari sampah adalah semudah mencari lubang di lantai papan lalu membuang sampah itu ke bawah. Kesimpulannya kemudian adalah: membuang sampah adalah perkara pembiasaan.

Suatu hari saat berkunjung ke rumah Om Pala, kami berbincang tentang banyak hal, salah satunya tentang kondisi lingkungan dan masyarakat di desa. Kuutarakan niatku untuk meminta bantuannya menggerakkan masyaraat agar membuat tempat sampah dan menaruhnya di depan rumah masing-masing. Sayang, advokasi kala itu belum berhasil. Banyak pertimbangan yang ia lihat dari masyarakat sehingga tempat sampah dirasa belum menjadi hal yang krusial.

'Keisenganku' beralih ke anak-anak. Beberapa waktu kemudian, muncul ide membuat tempat sampah sebagai tugas keterampilan anak-anak di rumah. Selain sebagai tugas, hasil karya mereka ini akan dilombakan. Ibu kepala sekolah sangat mendukung. Sekolah bahkan menyediakan hadiah bagi juara 1, 2, dan 3. Sekolah kemudian menyurat pada para orangtua siswa untuk membimbing anak-anaknya membuat kerajinan tempat sampah. Pada waktu yang telah ditentukan, mereka diminta mengumpulkan hasil karya kolaborasi mereka dan orangtua itu ke sekolah.

Dan benar saja. Ketika sasarannya adalah anak-anak, dampaknya instant langsung terasa. Setelah waktu itu mereka dengan antusias menyambut lomba, pada waktu yang ditentukan mereka berbondong-bondong mengangkat tempat sampah karya mereka ke sekolah. Semua berlomba menampilkan yang terbaik. Dan hasilnya, karya mereka melebihi ekspektasi kami. Tempat sampah itu sampai dicat warna-warni dan digambari bermacam-macam rupa. Semuanya bagus hingga para juri sempat kebingungan menentukan juara 1, 2, dan 3.

Kami tahu, orangtualah yang membuat tempat sampahnya. Kami tahu, anak-anak hanya bertugas menggambar dan mengecatnya saja. Kami tahu itu. Namun, kami juga tahu bahwa yang ingin kami lihat adalah bukan semata pada hasil akhir, tapi juga bagaimana anak-anak belajar dari orangtuanya tentang cara membuat tempat sampah. Bagaimana cara memotong bambu atau papan kayu yang benar, bagaimana menyiapkan alat-alat, bagaimana memegang papan, bagaimana memaku, melakukan 'finishing', dan bagaimana-bagaimana yang lainnya. Itulah sebabnya kami menyebutnya hasil karya kolaborasi anak dan orangtua.

Satu hal lucu namun membanggakan kudengar dari Pak Udin--salah seorang guru bantu di SD Inpres Sawangakar. Waktu itu ia bercerita bahwa malam sebelumnya anak perempuannya, Saira, memaksanya membuka pintu rumah tengah malam hanya untuk membuang sampah. Memang, setelah puluhan tempat sampah itu terkumpul di sekolah, kami meletakkannya menyebar di sepanjang tepi jalan di desa, salah satunya di depan rumah Saira. Anak itu masih balita. Pak Udin sempat mencegahnya dan menyarankan untuk membuang sampah bungkus makanan yang ia bawa pada keesokan paginya. Namun, Saira bersikeras. Ia meminta ayahnya membukakan pintu malam itu juga. Jadilah Pak Udin mengalah, khawatir si balita menangis dan justru lebih merepotkannya. Paginya, ia mengadu pada saya sambil tertawa. Semua gara-gara tempat sampah yang diletakkan di depan rumahnya.

Saya tersenyum, berusaha memetik sesuatu dari cerita Pak Udin tentang Saira. Saya pun teringat akan antusiasme anak-anak yang menyambut pengumuman lomba tempat sampah di sekolah dengan penuh semangat dan binar di matanya. Saya bahagia. Makhluk-makhluk kecil itu sungguh berdaya. Merekalah pemantik perubahan bagi sekitarnya.

***


Cerita Lainnya

Lihat Semua