Tentang Diam dan Melawan

Rizky Januar Haryanto 22 Mei 2015

Di bawah terik dua matahari, seorang guru menyaksikan sebuah ruangan ditutup rapat. Dua rekannya sesama guru yang senior duduk di dalam, masing-masing dengan kertas soal dan lembar jawaban anak mereka masing-masing. Mereka sibuk membetulkan jawaban anak-anaknya, satu jam sebelum lembar jawab itu akan dikirim ke kantor dinas pendidikan kabupaten. Di seberang pintu, si pengawas dari dinas pendidikan kecamatan setempat duduk nyantai mengamini sambil menunggu makanan mewah yang sudah disiapkan dan akan dibawa oleh orangtua murid ke sekolah. Guru itu menyaksikan semuanya, in silentio. Pandangannya lalu teralihkan pada anak-anak yang antusias mengajaknya foto bersama. Ia memilih ngobrol riang bersama mereka. Good times.

-----

Kecurangan betulin jawaban UN (atau mulai saat ini disebut Kecurangan UN) itu unik, menurut gue.

Dia tidak sama dengan kisah penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang konon dipraktekkan sebagian insan kepala sekolah dan guru. Bukan pula sama dengan fabel hobi bolos & jam karetnya guru-guru di daerah terpencil yang bertugas dengan pengawasan sangat minim, atau dongeng korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan sekolah-sekolah baru. Itu semua bisa lo hakimi dengan mudah.

Gini. Bayangin satu kondisi di sebuah sekolah khayalan nun jauh di pelosok sana. Di sana, kompetensi mayoritas guru masih rendah banget, alias ngajarnya ngasal; jumlah gurunya juga kurang, misalnya 6 kelas tapi gurunya cuma 4; kadang lagi guru-guru itu jarang masuk, cabut ngegosip pas masih jam pelajaran, gitu-gitu. Lalu bayangin lagi di sekolah yang sama itu ada satu kelas yang gak pernah ada gurunya, let’s say kelas 4. Practically, guru setempat bergantian masuk di kelas itu palingan seminggu sekali lalu meminta 10 anak dalam kelas itu, yang beberapa diantaranya masih kesulitan membaca dan berhitung tambah-kurang, belajar sendiri dan nulis rangkuman di buku tulis. Waktu mereka naik di kelas 5, gurunya tiap hari nyuruh anak nyalin buku cetak. Waktu kelas 6, wali kelasnya gak masuk selama 2 bulan menjelang Ujian Nasional tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya (yang ternyata karena udah ngerasa gak betah).

Lalu bayangin, what if those shits above just get real?

Contoh kasus itu cuma satu dari bermacam kasus unik yang tersebar di berbagai sekolah. Mungkin relawan-relawan guru di ujung lain negeri tahu lebih baik soal itu.

You can blame everything to everyone, fuck the bureaucracy or report this person or screw that thing, tapi gimana dengan 10 anak tadi? Layakkah mereka dapat nilai UN do-re-mi karena hal-hal diatas?

UN sekarang gak lagi 100% menentukan kelulusan? Of course. Tapi bayangin pas anak-anak itu mau daftar SMP idaman mereka, atau SMA, pakai ijazah bernilai dji-sam-soe. Atau bayangin, misalnya, anak berotak encer bakal seumur hidup megang ijazah SD dengan nilai rotring gegara hal diatas.

-----

Lalu apa?

Mendorong pemerintah menyetop Kecurangan UN? Menggalang kampanye Kecurangan UN?

Sadly, we’re still way too far from reaching the iceberg tip.

Demo ke pemerintah agar saat ini juga menyetop Kecurangan UN mirip dengan demo ke pemerintah agar segera mengeksekusi terpidana mati narkoba. Similarly, mengkampanyekan anti-Kecurangan UN ke masyarakat saat ini juga mirip kayak menggalang masyarakat untuk mendukung hukuman mati terhadap terpidana narkoba. Lo bisa menanyakan pertanyaan yang sama setelah itu: Then what?

Kecurangan UN adalah puncak akibat dari tingginya gunung es persoalan pendidikan. Dalam hal ini, gue harus setuju dengan pendekatan Gerakan Indonesia Mengajar: ketika semua komponen masyarakat dan elemen pemerintah yang positif bergerak bersama dan saling mendukung, maka dengan itu juga gunung es akan terpecah blok demi blok. That is really how to fight the corrupt system potently, I reckon. Harapannya, tentu, hingga sampai ke puncaknya.

Saat ini ada begitu banyak inisiatif pendidikan bertebaran di sekitar kita. Ambil senjata yang lo inginkan, sekecil apapun itu, dan bergeraklah. Trust me, begitu banyak guru dan insan pendidikan di daerah terpencil sana yang, disadari atau tidak, ingin berkolaborasi dengan lo, orang-orang dengan segudang pengetahuan dan teknologi.

Thereafter let us, on God’s favor, be the prime movers of such collaborations wherever we live in the future.

-----

 

Pelan banget? Kelamaan? Iya. Tapi emang ada cara yang lebih cepet dari akar rumput buat ngelawan sistem?

 

Unless, revolution.

 

 

Kalama, 21 Mei 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua