Rangkap Belajar
Rifqi Furqon 25 Juli 2013Baru tiga malam saja dia sahur di desa penempatannya itu. Seperti pagi buta sebelum-sebelumnya, setelah sahur bersama Pak Mantri di rumah dinas Puskesdes, Pak Guru menyebrang Hulu Kapuas dengan berjalan ditemani rintik hujan yang menyambut pagi kedua harinya mengajar. Perjalanan melewati jembatan gantung yang goyangannya membuat ngeri ketika melihat batu sungai terendam arus Hulu Kapuas, membuat Pak Guru mengalihkan pandangannya lebih keatas dan menyisir kanan kirinya. Subhanallah, hutan hujan tropis Kalimantan dengan kabut asap yang bertengger di puncak-puncak pohon hijau pekatnya menjadi momen syukurnya kembali, persis ketika pertama kali dia sampai di desa paling Hulu ini. Belum pernah dia bayangkan akan tinggal untuk mengajar dan belajar di suasana seperti tadi. Hulu sungai berjeram dengan batuan mulai kecil sedang hingga raksasa yang licinnya tak biasa, belum lagi kombinasi sempurna pepohonan lebat serta perbukitan hutan Khatulistiwa, sebuah kemewahan yang sederhana.
Pagi itu adalah hari kedua Pak Guru resmi mengajar. Setelah mandi dengan air hujan hasil tampungan di tong plastik besar belakang rumah dinasnya, dia langsung menuju sekolah dan membuka satu persatu pintu kelas. Hujan masih rintik, meski waktu menunjukkan seharusnya anak-anak sudah duduk rapi di kelasnya masing-masing. Memang seperti ini biasanya, jika hujan maka akan bergeser dengan sendirinya jam masuk sekolah. Sekolah panggung yang memanjang kesamping berurutan tiga ruang kelas ini sudah seperti rumahnya sendiri, selepas kelas pun dia yang menguncinya kembali, menghindari anjing-anjing warga yang bisa saja buang air di kelas seenaknya.
Lama dia menyandangkan sikunya di pagar kayu depan sekolah, menunggu anak-anaknya, sumber energinya. Beberapa anak terlihat dari jauh sudah basah kuyup semuanya, baru saja naik dari sungai. Lainnya sudah memakai baju merah putih meski tanpa alas kaki, kondisi becek begini semakin membuat mereka malas menggunakan sepatu. Sepertinya, Pak Guru akan menuruti ajakan Pak Mantri untuk memanfaatkan statusnya sebagai Pak Guru sehingga bisa sedikit “memaksa” anak-anak memakai alas kaki ke sekolah. “Untuk menghindari penyakit juga Pak Guru...” begitu kata Pak Mantri ketika mereka berbuka puasa berdua saja di tengah masyarakat beriman Protestan ini.
Beberapa anak yang telah hadir langsung dihimbaunya untuk menyapu dan mengumpulkan sampah di kelas masing-masing. Tak lama, Pak Guru meminta tolong Indah, siswi kelas enam yang tinggi tubuhnya paling maksimal untuk membunyikan lonceng. Mendengar bunyi lonceng, beberapa anak yang masih tercecer di jembatan gantung tampak berlarian, membuat goyangan jembatan bernilai ratusan juta itu oleng hampir maksimal. Agak khawatir juga sebenarnya Pak Guru melihatnya, untung saja mereka berlari ketika sedikit lagi tiba di seberang.
Pak Guru masuk seperti kemarinnya, rangkap di tiga kelas tinggi. Sebagai wali kelas IV, dia pertama kali menyapa anak-anaknya dengan semangat sepenuh-penuhnya. Senyum dan tertawa anak-anak kelas empat yang tadi masih tidak hadir tiga orang adalah ritual bahagia tiap harinya, sekarang. Lebih lagi ada yang sangat lucu karena dua anaknya tiba-tiba hadir dengan kepala gundul, botak licin. Ketika ditanya, mereka menjawab dengan tertawa karena Ibu nya yang memang mau anaknya gundul. Tidak ada penjelasan tambahan, tapi Pak Guru mengira mereka baru saja bersalah pada Ibunya. Entahlah, paling tidak keputusan mereka untuk duduk bersama di bangku deretan belakang cukup membuatnya bahagia. Ya, sepagi itu dia sudah bahagia.
Setelah membiarkan kelas empat membaca do’a pembuka pagi dan menyuruh mereka untuk membaca buku beberapa halaman, dia pindah ke kelas tepat sebelahnya yang dihubungkan pintu kecil, menuju kelas enam yang bersebelahan papan triplek tipis dengan kelas lima. Dia berdiri persis di tengah satu ruang kelas yang seharusnya. “Pak Guru, kelas lima cuma ada tiga orang jak!” begitu teriak Terra, salah satu murid berbakat Matematika di kelas enam. Akhirnya, untuk memulai pagi dengan do’a aku persilahkan anak-anak kelas lima bergabung duduk dengan kelas enam.
Sekarang kondisinya kelas yang harus dipantau tinggal berjejeran. Dengan kondisi tersebut, Pak Guru dapa memantau kelas empat sekaligus kelas enam. Namun, ternyata kelas lima harus dipertimbangkan untuk dipindahkan kembali ketika mulai belajar. Hal tersebut karena dia ingin melakukan semacam tes kemampuan dasar calistung untuk kelas enam. Menuturnya penting untuk mengetahui sejauh mana penguasaan mereka terhadap pelajaran yang seharusnya mereka telah kuasai, terutama untuk kepentingan persiapan Olimpiade dan Ujian Akhir. Akhirnya, kelas lima dikembalikan ke sebelah dan diberikan tugas untuk memilih pokok bahasan mana dari Matematika kelas empat yang mereka belum mengerti.
Untuk kelas enam, Pak Guru sedikit lebih memperhatikannya. Bukan karena mereka kelas paling tinggi semata, tapi juga karena mereka cukup bisa diatur dan amat bersemangat untuk belajar dengannya. Maklum, mereka adalah anak-anak dari Pak Guru sebelumnya. Lagipula, wali kelas mereka masih berada di kota, semoga saja hari ini tiba kembali di desa.
Mengajar kelas rangkap tentu bukanlah kondisi ideal yang dicita-citakan guru manapun. Namun, melihat kondisi sekolah dan desa yang jauh dari mana-mana seperti ini, kehadiran seorang guru saja pun akan sangat disyukuri. Mengajar satu kelas saja satu hari selama setahun berjalan nanti sepertinya akan sangat sedikit terjadi. Otomatis, semua persiapan dan strategi harus disesuaikan dengan tantangan tersebut.
Rangkap belajar, begitulah yang juga dirasakan oleh Pak Guru. Dia belajar lebih banyak lagi tentang fokus dan konsentrasi, tentang mengatur emosi dan intonasi, tentang ketegasan dan konsistensi, tentang tidak pilih kasih dan perhatian, atau tentang pengaturan waktu hingga detail-detail ikutannya. Juga ada banyak keterkejutan yang sebenarnya sudah disangka namun tetap saja susah diterima ketika mengalami kejadiannya. Apalagi kalo bukan ekspektasi yang terlalu tinggi dengan kemampuan akademik kelas berjalan. Ternyata, setelah beberapa kali dicoba, kemampuan Matematika kelas enam tidak semuanya merata dan parahnya lagi masih ada yang belum cakap dengan perhitungan-perhitungan dasar Matematika kelas yang lebih rendah daripadanya.
Seharian tadi Pak Guru akhirnya lebih banyak duduk di kelas enam. Selain karena berprinsip mementingkan skala prioritas yang diyakininya, keterbatasan tenaga karena nyatanya masih berpuasa juga membuat dia tidak terlalu maksimal di kelas lainnya. Untuk kelas empat, pelajaran IPA dan IPS dipenuhi dengan strategi membaca dan merangkum, yang ditutup dengan pemberian tugas rumahan serta quizz sebelum pulang. Begitu juga dengan kelas lima.
Namun agak berbeda dengan kelas enam. “Pak Guru, kasih kami soal-soal lagi bah!” begitu teriak beberapa anak kelas enam ketika diberikan berbagai rupa soal hitungan pecahan sederhana. Sebenarnya Pak Guru yang tidak mempersiapkan apa-apa tentang yang akan dibahasnya itu terkejut luar biasa karena anak-anak kelas enam belum cakap menguasai dasar-dasarnya. Tapi semangat mereka membuat percaya, yakin bahwa meski banyak masih ketertinggalan dalam pelajaran, akan selalu cukup waktu untuk berkembang bagi orang-orang yang semangatnya seperti teriakan dan air muka mereka.
Pak Guru sempat terdiam beberapa hela napas ketika penurunan yang terus menerus akhirnya terbongkar. Ketika mengajarkan prinsip menghitung Skala pada Peta, beberapa fakta turunan menghadirkan kenyataan yang cukup mengecewakan sekaligus sangat menantang. Ternyata, sebagian besar anak kelas enam masih gagu menyelesaikan pembagian pecahan, perkalian bertingkat maupun membolak-balik rumus. Belum lagi beberapa prinsip Matematika yang agak kurang lancar seperti perkalian, dan pemahaman terhadap satuan.
Benar, baru hari kedua saja rasanya sudah banyak sekali kerjaan yang harus dibantu untuk dituntaskan. Setahun memang bukanlah waktu yang sebentar, akan banyak kesempatan lain nanti untuk mengulang-ulang terus pelajaran. Tapi setahun juga bisa jadi amat sangat singkat, ketika seorang Guru bekerja, belajar dan juga mengajar dengan hati tanpa henti demi melihat senyum dan semangat berekspresi dari anak-anak murid yang dengan hormat menyapanya “Pak Guru...”, setiap pagi.
Rumah Dinas, Bungan Jaya, 16.07.13, 14.34 WIB
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda