Tujuh Puluh Empat

Kahfi Arif 27 Juli 2013

 

Ketika matahari baru saja menyapa bumi Purwakarta,  gemuruh suara langkah-langkah sudah terdengar di pagi hari. Semangat perubahan dari pemuda-pemudi terdidik dari berbagai belahan Indonesia menghangatkan pagi yang memang sebetulnya tak terlalu dingin di tempat ini. Suasana ini sudah dirasakan oleh warga desa Jatimekar selama beberapa minggu belakang, tepatnya dari lima minggu yang lalu. Sejak pertama menginjakkan kaki di desa ini, para pengajar muda memang memberikan sedikit warna di daerah yang kerap sunyi seperti tak bertuan. Senyum mereka mencairkan kebekuan komplek perumahan pensiunan waduk Jatiluhur. Ya setidaknya, itu lah yang mereka rasakan.

Tujuh puluh empat manusia dikumpulkan disini, untuk dibekali pengetahuan, dibakar semangat motivasi, di suapi ilmu. Tujuh puluh empat manusia ini tempa bukan untuk menjadi nomor satu, bukan di cetak untuk menjadi pahlawan. Tujuh puluh anak bangsa ini disiapkan untuk berperang, tentu saja bukan berperang dengan senjata api untuk membunuh musuh, tapi berperang melawan keadaan pendidikan di pelosok negeri. Senjata mereka adalah keikhlasan dan ketulusan. Ketulusan untuk membantu menuntaskan janji kemerdekaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagi ilmu kepada anak anak yang tak cukup beruntung.

Namun sebelum itu, ada hal yang terlebih dahulu harus mereka taklukan, yaitu diri mereka sendiri. Mereka harus berjibaku dengan polemik dan intrik yang ada di dalam pelatihan intensif selama kurang lebih dua bulan. Mereka harus menaklukan rasa takut yang ada di dalam diri masing-masing. Harus menaklukan ego diri, menaklukan ketamakan, menaklukan arogansi, menjinakkan emosi. Tidak hanya itu, mereka juga harus dapat beradaptasi bersama entitas entitas perilaku yang ada di sana, yaitu tujuh puluh tiga manusia lainnya.

Bayangkan saja, tujuh puluh empat manusia berarti tujuh puluh empat karakter berbeda, tujuh puluh empat perilaku berbeda, tujuh puluh empat pemuda pemudi dengan berbagai macam latar belakang.  Disinilah jiwa kepemimpinan mereka juga diuji. Apa yang mereka lakukan dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung kepada tujuh puluh tiga manusia lainnya. Santun tutur kata yang terucap dapat mengubah banyak hal. Esensi konsekuensi muncul disini, seperti kata pepatah siapa yang menanam, ia juga yang menuai. Apakah tujuh puluh empat manusia ini akan menuai hasil baik setelah melewati pelatihan? Itu semua kembali pada apa yang masing masing dari mereka tanamkan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua