Tanta Ibu Pu Cerita: Pentus si Kritikus

Rayi Nasiswari 17 Oktober 2012

 

Pentus, itulah panggilannya. Nama lengkapnya Petrus Tigtigweria. Ia adalah salah satu murid yang saya ajar di SD YPK Pikpik. Dulu, sebelum hari pertama sekolah dimulai, saya sudah mengenal anak ini saat ia main bola bersama anak-anak yang lain di dekat rumah keluarga piara saya. Cara anak ini bersikap sudah mulai ‘mengganggu’ saya. ‘Mengganggu’ karena ia berjalan dengan gestur yang sedikit angkuh. Ia melihat saya dengan tatapan tajam yang seakan berkata dengan judesnya, “Oh ini guru baru di kampungku.” Saya merasa ia memperhatikan saya cukup lama. Ia juga tidak penah menyapa saya seperti anak-anak lain. Sehingga saya memiliki kesan awal bahwa anak ini blagu banget.

Tanpa sadar setiap kali saya melihatnya, saya berharap bukan dia yang akan menjadi salah satu murid yang akan saya ajar. Sampai pada saatnya pun kami semua masuk sekolah. Saya belum mengetahui akan  mengajar kelas berapa. Sampai akhirnya, diputuskanlah saya bersama kepala sekolah akan mengajar di kelas 3, karena kelas 3 tidak ada guru kelasnya.

Saya pun masuk ke kelas 3, ternyata di bangku paling belakang duduk seorang anak yang sikapnya sering membuat saya kesal. Dialah si ‘anak belagu’, Pentus. Saya pun mencoba untuk bersikap santai dan tak mau membuat asumsi awal yang aneh-aneh di kelas tentang anak ini. Ternyata anak ini cukup PD untuk selalu bertanya dan memberi ‘perintah’ saat saya mengajar. Ia tak segan untuk berkata kepada saya, “Ibu, sa bosan belajar tulis-tulis soal, katong gambar-gambar sudah.” (Ibu saya bosan belajar menulis soal terus, kita gambar-gambar saja) atau “Coba ibu kasih soal matematika yang susah-susah, macam kali-kali, jangan tulis ratusan ribuan terus.” dan masih banyak contoh-contoh perintah yang lainnya. Awalnya saya sering kesal sendiri, sambi kadang marah-marah dalam hati sambil bilang, “Gurunya saya atau kamu sih?” karena hal ini terjadi hampir setiap hari. Biasanya saya menanggapi anak itu dengan senyum sambil menjawab,”Kamong bisa sabar sedikit kah? Teman-teman yang lain belum semua paham.”  atau “Besok katong belajar lain-lain yang seru ya!” (sambil berharap supaya anak itu tidak merasa bosan).

Waktu berjalan dan saya semakin menyadari bahwa Pentus ini cerdas dan daya tangkapnya cepat. Walaupun terkadang kurang teliti sedikit, tapi ia mengerjakan soal dengan cepat. Karena anak ini, saya selalu berusaha dan berpikir untuk memberikanpelajaran dengan cara yang lebih menarik semata-mata agar ia dan anak-nak lain tidak bosan. Saya juga sering memberikan soal-soal tambahan untuk Pentus ini (dengan harapan saya bisa mengakomodir kebutuhannya untuk belajar cepat dan agar ia lebih ‘kalem’).

 Anak ini juga selalu membuat saya tertawa karena pertanyaan-pertanyaannya yang lucu dan kritikannya yang jujur khas anak-anak. Seperti saat kami sedang belajar di kelas ia tiba-tiba bertanya, “Ibu, kalau mau cepat jadi guru itu bagaimana caranya?” Saya pun menjawab, “Kamong harus selesai SD dulu toh 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, kuliah 4 tahun.” Lalu dia menjawab, “Wah, itu terlalu lama...” Saya menjawab lagi, “Ya, kamong harus sabar, berdoa, dan kerja keras toh, makanya belajar yang rajin.” Dia pun lanjut betanya, “Baru (terus) ibu dulu kelas 3 umur berapa?” Saya jawab, “8 tahun.” Pentus menanggapi, “Kalau sa  sekarang umur 9 tahun” tiba-tiba ada seorang murid perempuan menyeletuk, “Waduh, kitorang (kita) ini semua su (sudah) tua. Sa 12 tahun, dorang (mereka) yang lain ini 10,11 tahun.” Kami sekelas pun tertawa, mereka sepertinya sedang menertawakan kenyataan yang mereka hadapi. Saya berusaha untuk tetap menyemangati mereka dengan berkata, “Ya tara papa (tidak apa-apa)sekarang kamorang pu umur macam su terlambat, tapi yang penting kamong jangan sampai tinggal kelas lagi supaya bisa cepat-cepat jadi cita-cita yang kamong semua pu mau (cita-cita yang kalian inginkan).” Mereka semua menjawab, “Pasti ibu.”

                Setelah hari itu saya pulang sekolah tersenyum-senyum sendiri. Mengingat ulah Pentus yang berimbas pada ‘sesi penanaman motivasi mendadak di kelas yang saya ajar. Saya jatuh cinta dengan anak ini. Anak yang selalu mendorongku untuk berbuat lebih baik melalui sifat kritisnya.

 

*) Tanta ibu pu cerita: Cerita Tanta Ibu. Tanta ibu: tante ibu. Tanta: panggilan untuk adik perempuan dari pihak ibu. Keponakan angkat saya memanggil saya tanta ibu. Karena mereka menganggap saya tante mereka tapi karena saya seorang ibu guru, mereka menaruh hormat dengan menempelkan kata “ibu”. Murid-murid saya biasa juga memanggil saya Mama ibu. Adik angkat saya memanggil saya Kakak ibu, atau bahkan bapak piara saya memanggil saya Anak ibu. Pentus, itulah panggilannya. Nama lengkapnya Petrus Tigtigweria. Ia adalah salah satu murid yang saya ajar di SD YPK Pikpik. Dulu, sebelum hari pertama sekolah dimulai, saya sudah mengenal anak ini saat ia main bola bersama anak-anak yang lain di dekat rumah keluarga piara saya. Cara anak ini bersikap sudah mulai ‘mengganggu’ saya. ‘Mengganggu’ karena ia berjalan dengan gestur yang sedikit angkuh. Ia melihat saya dengan tatapan tajam yang seakan berkata dengan judesnya, “Oh ini guru baru di kampungku.” Saya merasa ia memperhatikan saya cukup lama. Ia juga tidak penah menyapa saya seperti anak-anak lain. Sehingga saya memiliki kesan awal bahwa anak ini blagu banget.

Tanpa sadar setiap kali saya melihatnya, saya berharap bukan dia yang akan menjadi salah satu murid yang akan saya ajar. Sampai pada saatnya pun kami semua masuk sekolah. Saya belum mengetahui akan  mengajar kelas berapa. Sampai akhirnya, diputuskanlah saya bersama kepala sekolah akan mengajar di kelas 3, karena kelas 3 tidak ada guru kelasnya.

Saya pun masuk ke kelas 3, ternyata di bangku paling belakang duduk seorang anak yang sikapnya sering membuat saya kesal. Dialah si ‘anak belagu’, Pentus. Saya pun mencoba untuk bersikap santai dan tak mau membuat asumsi awal yang aneh-aneh di kelas tentang anak ini. Ternyata anak ini cukup PD untuk selalu bertanya dan memberi ‘perintah’ saat saya mengajar. Ia tak segan untuk berkata kepada saya, “Ibu, sa bosan belajar tulis-tulis soal, katong gambar-gambar sudah.” (Ibu saya bosan belajar menulis soal terus, kita gambar-gambar saja) atau “Coba ibu kasih soal matematika yang susah-susah, macam kali-kali, jangan tulis ratusan ribuan terus.” dan masih banyak contoh-contoh perintah yang lainnya. Awalnya saya sering kesal sendiri, sambi kadang marah-marah dalam hati sambil bilang, “Gurunya saya atau kamu sih?” karena hal ini terjadi hampir setiap hari. Biasanya saya menanggapi anak itu dengan senyum sambil menjawab,”Kamong bisa sabar sedikit kah? Teman-teman yang lain belum semua paham.”  atau “Besok katong belajar lain-lain yang seru ya!” (sambil berharap supaya anak itu tidak merasa bosan).

Waktu berjalan dan saya semakin menyadari bahwa Pentus ini cerdas dan daya tangkapnya cepat. Walaupun terkadang kurang teliti sedikit, tapi ia mengerjakan soal dengan cepat. Karena anak ini, saya selalu berusaha dan berpikir untuk memberikanpelajaran dengan cara yang lebih menarik semata-mata agar ia dan anak-nak lain tidak bosan. Saya juga sering memberikan soal-soal tambahan untuk Pentus ini (dengan harapan saya bisa mengakomodir kebutuhannya untuk belajar cepat dan agar ia lebih ‘kalem’).

 Anak ini juga selalu membuat saya tertawa karena pertanyaan-pertanyaannya yang lucu dan kritikannya yang jujur khas anak-anak. Seperti saat kami sedang belajar di kelas ia tiba-tiba bertanya, “Ibu, kalau mau cepat jadi guru itu bagaimana caranya?” Saya pun menjawab, “Kamong harus selesai SD dulu toh 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, kuliah 4 tahun.” Lalu dia menjawab, “Wah, itu terlalu lama...” Saya menjawab lagi, “Ya, kamong harus sabar, berdoa, dan kerja keras toh, makanya belajar yang rajin.” Dia pun lanjut betanya, “Baru (terus) ibu dulu kelas 3 umur berapa?” Saya jawab, “8 tahun.” Pentus menanggapi, “Kalau sa  sekarang umur 9 tahun” tiba-tiba ada seorang murid perempuan menyeletuk, “Waduh, kitorang (kita) ini semua su (sudah) tua. Sa 12 tahun, dorang (mereka) yang lain ini 10,11 tahun.” Kami sekelas pun tertawa, mereka sepertinya sedang menertawakan kenyataan yang mereka hadapi. Saya berusaha untuk tetap menyemangati mereka dengan berkata, “Ya tara papa (tidak apa-apa)sekarang kamorang pu umur macam su terlambat, tapi yang penting kamong jangan sampai tinggal kelas lagi supaya bisa cepat-cepat jadi cita-cita yang kamong semua pu mau (cita-cita yang kalian inginkan).” Mereka semua menjawab, “Pasti ibu.”

Setelah hari itu saya pulang sekolah tersenyum-senyum sendiri. Mengingat ulah Pentus yang berimbas pada ‘sesi penanaman motivasi mendadak di kelas yang saya ajar. Saya jatuh cinta dengan anak ini. Anak yang selalu mendorongku untuk berbuat lebih baik melalui sifat kritisnya.

 

*) Tanta ibu pu cerita: Cerita Tanta Ibu. Tanta ibu: tante ibu. Tanta: panggilan untuk adik perempuan dari pihak ibu. Keponakan angkat saya memanggil saya tanta ibu. Karena mereka menganggap saya tante mereka tapi karena saya seorang ibu guru, mereka menaruh hormat dengan menempelkan kata “ibu”. Murid-murid saya biasa juga memanggil saya Mama ibu. Adik angkat saya memanggil saya Kakak ibu, atau bahkan bapak piara saya memanggil saya Anak ibu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua