Kisah Belajar Si Nona Jamur

Nurrachma Asri Saraswati 17 Oktober 2012

Ketika mengawali perjalanan sebagai pegajar muda, banyak sekali hal-hal yang membuatku terkejut dan bercampur aduk. Kala itu setelah sholat isya, ada seorang bapak-bapak yang datang ke rumah. Kebetulan rumah yang ku tempati saat ini adalah rumah bapak piaraku  yang merupakan seorang Kadus. Beliau mengajakku berdiskusi tentang rendahnya harga karet di pasaran. Beberapa bapak-bapak lain berkumpul. “mungkin” mereka menganggap pengajar muda adalah manusia setengah dewa yang bisa mengendalikan harga karet di pasaran.

 “ Ibu..mak mano ini harga karet rendah nian? Ibu pacak bantu kami idak bu?” pinta salah satu bapak.

 (“ Ibu..bagaimana ini harga karet rendah sekali? Ibu bisa bantu kami bisa bu?” pinta salah satu bapak.

Saya saat itu tersenyum bingung. Jawaban saya sangat normatif dan terkesan bodoh.

Yah..siapa saya? Saya hanya setahun disini..mengendalikan harga karet dan melawan tengkulak..

Terbayang pun tidak dipikiran saya ..

Beberapa minggu kemudian Mbah Bejo tetangga saya yang juga guru honerer selama 32 tahun di sekolah saya datang ke rumah...

“Bu...bisa ajari kami membudi dayakan jamur tiram?”

“Wah! Apalagi ini??” ujarku dalam hati

“ harga per kilo jamur tiram itu di desa seberang tinggi bu...ini bisa membantu kami saat harga karet rendah bu..” ujar mbah Bejo.

Saat itu saya hanya mengiyakan semua saran dan ide yang masuk tapi otak pun masih buntu.

Saya tidak paham betul pembudi-dayaan jamur tiram, saya hanya pernah mengokulasikan miselium, dan sterilasasi ketika semester 4 kuliah...itu saja! itu pun dengan alat-alat canggih milik laboratorium kampus saya semua tinggal pencet. Alat pensteril (autoclave), ruang inkubasi dan perintilan lainnya. Terbayang besarnya modal yang harus dikeluarkan untuk pembudi-dayaan jamur cukup membuatku menghela nafas.

Singkat cerita melalui pencarian internet saya bertemu seorang pemuda yang juga pembudi-daya jamur di daerah Tanjung Enim sekitar 4-5 jam dari desaku. Umurnya sekitar 2 tahun lebih tua dari saya. Tamatan STM di kota Muara Enim. Dia mengajari bagaimana pembudi dayaan jamur dengan cara sederhana. Saya sangat kagum dengan cara dia melakukan pembudidayaan ini. Kesempatan ini pun tidak saya sia-siakan untuk mengajak warga desa saya untuk belajar kesana. Dan ternyata disini lah saya menemukan kreatifitas dan inovasi sesungguhnya. Autoclave alat yang dulu saya pakai di laboratorium yang bekerja pada temperature 100-150 derajat celcius dan tekanan 2 bar digantikan dengan alat sederhana yaitu kukusan dari berbahan kayu bakar. Saya memang belum melakukan cek ulang dengan temperature dan tekanan di dalam kukusan tersebut akan tetapi kukusan sakti tersebut terbukti berhasil mensterilkan media tanam jamur saya.  Hebat! Ternyata pada kenyataannya memang diperlukan kreatifitas untuk menangani berbagai kondisi lapangan.

“Pakai semua yang ada di alam mbak...gak usah mikir yang susah-susah, kadang orang yang berpendidikan tinggi memilih menyelesaikan masalah dengan cara yang susah dan mahal mbak” ujar sang pembudidaya jamur. Saya pun merasa tertohok...tapi memang benar apa yang di katakan beliau. Saya merasa berfikir sempit ketika dihadapkan dengan keadaan lapangan.  

Desa saya sangat kaya dengan hasil hutan dan banyak tempat pemotongan kayu disini atau lazim di sebut panglong. Disini media tanam jamur seperti serbuk kayu dan bekatul melipah ruah, malah dibuang-buang oleh warga saking berlebihnya. Paling tidak untuk bahan baku utama pembudidayaan jamur mudah di dapatkan dari alam sekitar. Setiap detil langkah pengembang biakan jamur dilakukan cara yang sangat sederhana dan murah meriah sampai sang cendawan pun keluar dan di konsumsi warga. Warga desa dan anak-anak sekolah menyambut suka saat pertama kali jamur di panen. Ya! Buat mereka ini adalah hal baru dan begitu juga buat saya. Belajar untuk tidak berfikir sempit dalam menghadapi keadaan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua