Murid Saya Bilang, "Ibu Guru Pengecut!"

Rayi Nasiswari 25 Mei 2013

"Di ujung rotan ada emas", ungkapan ini masih terpatri betul di dalam hati orangtua. Mereka masih meyakini untuk mengasah dan menempa emas berkilau (baca: anak-anak) masih perlu rotan sebagai alatnya.

Memang, para guru sudah mengurangi hukuman pukul memukul ini. Tetapi orangtua, sebagai guru pertama anak di rumah masih memberlakukan ini. Hal ini tampaknya akan terserap sampai kapanpun ke dalam hati anak-anak yang mendapatkan perlakuan ini.

Sudah berulang kali saya marah ketika mengajar. Marah saat mereka memaki, marah saat mereka mengunyah permen karet ketika belajar (padahal saya tak pernah makan/minum saat KBM), marah saat mereka tak mengerjakan PR-nya dan kejadian-kejadian yang lain. Tapi satu hal yang memang tak pernah saya lakukan ketika menghukum mereka, saya tak pernah memukul. Memang saat kita camp dulu juga diberitahu begitu. Namun saya pribadi, memang TIDAK mau.

Tidak heran (saya telah dapat memakluminya), anak yang biasa dibesarkan secara kerasa dan kasar akan sangat keras. Ketika saya datang dengan cara saya, mereka tidak menganggap saya ada. Bisa dibilang, tidak takut. Saya dianggap main-main dan bahkan siswa-siswa kelas 5 atau 6 (apalagi yang sudah berusia 15 - 18 tahun) sering keluar kelas seenaknya saat saya mengajar. Anak-anak di kelas kecil pun menganggap saya seperti teman sebayanya.

Saya memang berusaha selalu ceria dan santai. Saya tak pernah memasang wajah masam atau sok-sok sangar. Saya masih yakin mereka bisa menghargai saya dengan cara lain. Bukan dengan sikap takut-takut dan gemetar seperti orang menahan buang air kecil. Saya tak mau siswa-siswa saya merasa seperti itu.

Satu waktu, 5 orang di dalam kelas 3 sudah selesai menjawab soal-soalnya, lalu mereka keluar kelas. Katanya, mau buang air kecil. 1 orang saja yang izin, sisanya langsung kabur menysul temannya sebelum sempat saya memanggil. Hanya tersisa 6 orang di kelas. Anak-anak yang keluar tadi baru ke etelah sekitar 30 menit di luar kelas. Saya tahu, mereka tak buang air kecil, melainkan pulang ke rumah untuk makan. Padahal di dalam kelas kita sudah belajar materi baru yang saya tulis di papan tulis berulang kali dan mereka ketinggalan pelajaran.

Anak-anak yang keluar itu saya minta berdiri di depan kelas dan saya berikan penjelasan singkat tentang materi pelajaran yan diberikan. Lalu saya menghapus catatan yang saya tulis dan meminta mereka menjawab pertanyaan yang saya berikan. Sudah bisa ditebak, anak-anak ini tak bisa menjawab. Mereka telah berdiri sekitar 15 menit, sepertinya kaki mereka sudah pegal-pegal, sampai akhirnya salah satu dari mereka berteriak, "Ibu, pukul katong sudah, ibu ini terlalu pengecut tara pukul katong!" mendengar kalimat itu hati saya sesak. Mau menangis rasanya. Tapi saya tak oleh nangis dulu, mereka ada di depan saya. Saya menarik nafas, lalu menjawab, "Ibu sampai kapan juga tara mau pukul kamong. Ibu bukan takut pukul kamong. Kamong ini anak-anak ibu bukan macam hewan yang dipukul karena lari-lari tak karuan." Mereka semua diam. Saya melanjutkan, "Kamong semua ini manusia yang berharga, masa mau dipukul-pukul begitu."

Saya pun menjelaskan ahwa sebenarnya saya tahu mereka sudah lapar dan sedikit lagi jam istirahat datang, tapi saya kecewa karena mereka membohongi saya. Saya minta kepada mereka lain kali kalau sudah merasa lapar, lebih baik jujur saja supaya bisa istirahat saya percepat sedikit. Karena percuma juga saya kasih pelajaran kepada mereka ketika mereka merasa lapar.

Hari itu saya sedih. Bukan sedih lantaran murid saya bilang saya guru pengecut. Tapi sedih karena murid-murid saya masih mengharapkan pukulan dan teriakan. Lebih parah, pernah seorang murid memerikan rotan kepada saya dan meminta saya untuk memukulnya. Saya lempar rotan itu, lalu dia berkata, "Kenapa ibu tara mau pukul? Baik ibu tara papa." Saya cuma diam, lantas pergi.

These children need a place that could make them happy, a place that could give them a chance to grow up properly. Adults people can't treat them like that. They're in their golden age. Once you've planted them whether with good things or not, that's what you'll get in the future. Saya gak mau penerus bangsa ini jadi punya hobi memukul. So, let's together we create a better place for our students to grow. I know, it'll be hard especially to reduce the anger towards them when they're behave improper, but we should do it. Because WE CAN.


Cerita Lainnya

Lihat Semua