Musim Pala Dan Grassroot Understanding
Rayi Nasiswari 20 Mei 2013Sekitar bulan Oktober - Desember bisa dikatakan merupakan masa-masa yang sangat menyenangkan untuk masyarakat Fakfak dari wilayah pantai sampai di bagian pegunungan. Kenapa? Karena masa-masa ini adalah saatnya bagi mereka untuk memanen pala. Sebagai komoditas utama kabupaten Fakfak, orang-orang sering bilang pada musim panen ini, mereka akan mendadak sejahtera secara finansial.
Saya pertama kali melihat momen ini justru bukan di kampung sendiri. Tetapi ketika saya sedang melaksanakan tas berputar di sekitar kampung tengah (dekat pusat distrik). Saya menginap di rumah seorang mantri yang istrinya mengajar di sekolah yang saya kunjungi. Mereka adalah penadah pala. Di sana saya melihat warga menjual biji + kulit luar (biasa disebut bunga oleh orang di sini) seharga Rp. 500,-/buah. Lalu ibu guru bersama anak dan suaminya mengupas bunga, menjemur bunga dan meng-asar (diasap) biji pala yang kemudian akan di jual ke kota. Menurut ibu guru, ia bahkan sudah mengolah sekitar 1 ton biji pala!
Di kampung, saya diajak memetik pala oleh warga, yang saya ketahui, merupakan salah satu keluarga yang memiliki kebun pala yang luas. Saya diajak oleh mereka, katanya, supaya saya tahu bagaimana rasanya ketika mereka kerja keras saat musim pala. Saya pun berangkat menuju hutan pala setelah pulang sekolah. Hari itu saya ditemani satu orang pak guru dan 2 orang murid saya.
Ternyata perjalanan menuju kebun pala ini tak semudah yang dibayangkan. Kami terjebak di dalam hutan. Kami berjalan kurang lebih selama 2 jam untuk sampai di hutan pala itu. Jalur perjalanannya pun tidak mudah. Saya bahkan tak terlalu sempat menikmati keindahan hutan dan foto-foto selama perjalanan karena mata saya sibuk melihat ke bawah. Tidak ada jalan setapak seperti saat kami melakukan latihan survival PM 4 di Situ Lembang. Ini lain, saya seperti jalan di hutan yang jarang dilewati karena kami berjalan di atas akar-akar pohon yang menjalar keluar. Ditambah jalan semakin licin karena hari itu hujan deras turun. Saya pun sibuk memeriksa kaki terus menerus supaya tidak digigit lintah.
Sesampainya di rumah kebun, saya beristirahat sejenak. Di sana ternyata sudah banyak warga kampung, yang masih bersaudara dengan keluarga piara saya. Mereka semua akan memetik dan memilih pala. Setelah ikut-ikutan kunyah pinang, saya pun berangkat bersama pak guru dan 2 orang murid. Pak guru memanjat pohon pala dan memetiknya, sedangkan saaya dengan murid-murid mengumpulkannya di bawah pohon dan mengupasnya.
Medan tanah yang naik turun cukup membuat nafas saya tersengal-sengal. Hari itu kami mendapat 1200an biji dari 3 pohon. Banyak sekali! Tetapi kata pak guru itu belum seberapa, kalau pohon yang lain di hari-hari sebelumnya 3 pohon itu bisa sampai 2000an biji! Kami pun memikil biji-biji itu, saya membawa 500an biji di karung, awalnya terasa ringan, lama-lama berat sekali. Saya memikul karung itu dengan senangnya, namun karena saya berulang kali terpeleset di jalan, akhirnya murid saya yang membawa karung itu.
Di perjalanan pulang, hujan semakin deras. Kami beriring-iringan berjalan bersama. Ada sekitar 10 orang yang pulang bersama dengan saya. Saya hanya berpikir, "Saya yang jalan cuma membawa badan sendiri aja udah terasa capek, gimana mereka yang mikul 500 biji pala atau bahkan 800 biji atau, tak usah pikir pala, bagaimana para mama yang masuk hutan sambil menggendong anaknya?"
Kami melewati tanjakan yang miringnya mungkin hampir lurus dan lewat turunan yang tajam sekali sampai saya rasanya mau terjun ke bawah.Selama perjalanan 2 jam berjalan kaki itu, saya hanya merenung, soal kesejahteraan finansial ini sebenarnya juga setengah mati di dapat. Sudah capeknya seperti digebuk 500 orang, harga pala yang dijual pun terlalu murah sepertinya. Coba mari kita lihat:
Menjual langsung ke penadah
: Rp.500/biji
Bunga yang sudah dikeringkan
: Rp. 110.000 - 120.000/kg
Biji pala kering
: kelas 1 - Rp. 100.000 - 120.000/kg
kelas 2 - Rp. 80.000 - 100.000/kg
kelas 3 - Rp. 50.000 - 70.000/kg
Belum lagi hasil yang didapat adalah hasil bersama satu keluarga besar. Karena kebun pala ini biasanya ditanam bersama-sama satu keluarga besar. Saya sampai di rumah kampung sekitar jam 7 malam. Baju dan badan sudah basah semua, pakaian sudah kotor dan saya rasanya sudah babak belur. Malamnya, badan dan kaki saya sakit semua.
Dari pengalaman ini, saya memahami bahwa uang tidak bisa dengan mudahnya di dapat, semua butuh usaha, semua butuh ketekunan dan kerja keras. Masa-masa kesejahteraan finansial ini juga tak akan bisa diraih, kalau saja, warga kampung ini malas bekerja. Selama mengikuti mereka, saya tak pernah mendengar mereka mengeluh. Semua bersemangat memetik, mengolah dan menjual pala-pala ini. Hebatnya, mereka juga bisa berbagi denga n keluarga besarnya tanpa ribut. Memang kadang saya jumpai mereka berselisih tapi selalu dibicarakan baik-baik.
Maka bersyukurlah kita, yang masih bisa bekerja dengan nyaman, bisa makan kenyang, bisa membeli pakaian bagus kapanpun kita mau, dan bisa menjalani hari dengan dimanjankan oleh segala fasilitas dan kemudahan. Karena di tempat lain, masih ada yang harus banting tulang (dalam arti kata sesungguhnya) untuk makan agak enak, membeli sedikit baju baru, dan menabung. Bahkan murid-murid saya pun harus menunggu musim pala terlebih dahulu untuk bisa beli tas baru dan sepatu baru.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda