info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

“Beta Senang Baca Pak Guru, Paling Enak e!”

Masdar Fahmi 26 Mei 2013

“Assalamualaikum...” Suara si Panjang membuyarkan lamunanku.

“Waalaikum salam...” Jawabku tersendat, aku kaget.

“Pak guru, ada buku membaca?” Tanya si Panjang dengan logat khas Fakfak-nya.

“Ada, kau mau baca?” Kataku.

“Beta dulu kah?” katanya. Maksudnya, saya pinjam dulu dong pak guru.

Aku menghentikan khayalanku, lalu masuk kamar untuk mengambil 1 buku cerita bergambar. Aku memilih “Kuda putih dan Kuda hitam”. Buku cerita yang aku bacakan tadi pagi di sekolah.

Aku senang sekali dengan satu anak ini. Nama lengkapnya Fahrul Karau. Tapi teman-teman memanggilnya "Panjang". Kelas 2 SD. Hapir setiap kali ke rumah, dia selalu bertanya ‘ada buku membaca kah pak guru?’

Biarpun kelas 2, tapi dia sudah bisa membaca. Kemampuan yang cukup di-atas-rata-rata untuk anak-anak di sekolah kami. Di kelasnya, baru dia saja yang bisa membaca.

Pada saat awal aku kenal dengan dia, hafalan alfabetnya belum lengkap, tapi sekarang dia sudah bisa membaca biarpun harus mengeja. Suatu hari aku berkata padanya, “Panjang, kau su pintar baca e...” Matanya menyala dan mulutnya terbuka.

Perlahan-lahan dia dongakkan kepala, tanda berkata ‘iya’. Dia malu baru saja aku puji.

“Siapa yang kasih tunjuk kau kah?” Maksud pertanyaanku adalah : siapa yang mengajari kau baca?

“Tiap hari bapak suruh beta baca pak guru. Saya baca satu buku kasih habis. Baca-baca-baca terus sampeee bisa!” Jawabnya polos.

“Wah bagus, kau tara bosan kah baca-baca terus?” tanyaku lagi.

“Beta senang baca pak guru, paling enak e!” Jawabnya singkat.

Memaaaang, paling kelihatan sekali kalau dia suka baca! Ketika ada buku-buku yang baru dia lihat, dia selalu saja mencoba mengeja formasi huruf-hurufnya. Lalu ketika berhasil membaca dia akan bertanya, ‘tho pak guru?’ Berusaha meyakinkan apa yang baru saja dia baca.

Dia juga anak yang paling rajin mengingatkanku untuk sholat di masjid. Kadang, dia akan menyempatkan ke rumah dulu sebelum datang waktu sholat. Padahal jarak rumahnya ke masjid lebih dekat dari pada harus ke rumahku dulu. Dia lebih sering berangkat sama-sama denganku untuk jamaah di Masjid.

“Assalamualaikum, pak guruuu.... sholat kah?” tanyanya.

“Iyo, mari katong sama-sama ke masjid.” Jawabku sambil berlalu dari rumah. Pernah sesekali hanya kami berdua saja yang ke masjid. Nah, kalau begini dia bisa leluasa nabang (adzan) tanpa harus berebut dengan teman yang lain. Ketika sholat usai, kadang dia mengantarku ke rumah dulu sekalian mengaji.

“Panjang, sebentar lagi pak guru su tarada di sini e.” Aku berceletuk spontan saat kami sedang berjalan menuju rumah seusai sholat.

“Aaah, pak guru jangan begitu kaaah...” Jawabnya dengan nada agak malas-malasan. Aku tersenyum.

“Pak guru tara boleh pi Jawa, pak guru di kampung saja sudah!” Katanya lagi.

“Kau ikut pak guru sudah e pi Jawa?” Candaku.

“Pak guru, Beta malu pak guru dengan anak-anak Jawa!” Jawabnya sembari memegang tanganku. Mulutnya me-manyun, lucu sekali!

Mata kami bertemu, badannya ngelendot sambil berjalan. Ada semacam perasaan yang berdesir di dalam hati. Ya Allah, sebentar lagi saya benar-benar akan berpisah dengan satu anak ini, dan juga anak-anak hebat lainnya. Begitu gumamku dalam hati.


Cerita Lainnya

Lihat Semua