Mama, Bapakku yang Sederhana

Rayi Nasiswari 28 Maret 2013
Suatu malam, kondisi rumah keluarga piara ku terasa sepi. Hanya ada kita berlima saja di rumah. mama, bapak, 2 orang kakak laki-laki - Frans dan Alfred, serta aku sendiri. Sepi karena biasanya tempat tinggalku ini biasanya dihuni 12 orang (ini juga sudah berkurang, pertama kali aku datang, kami serumah ada 16 orang! Salah satu kakak laki-laki, beserta istri dan 2 orang anaknya sudah pindah rumah). Rumah keluarga ku ini cukup luas untuk ukuran rumah standar di kampungku. Rumahnya ada 2 bagian, rumah tembok dan rumah panggung. Kamarnya banyak, ada 7. Padahal rumah-rumah lain biasanya kamarnya hanya 1 sampai 3 kamar. Aku pun dari sore sepulang les sore membantu mama masak, sederhana saja menunya singgoli (singkong kering) dengan sayur daun genemo (daun melinjo). Selesai makan aku pun mengobrol bersama bapak dan mama. Obrolan kali ini bisa berlangsung sedikit lama karena rumah sepi dan kebetulan genset kampung tidak menyala. Dalam kesunyian itu bapak dengan mama menceritakan sejarah keluarganya dulu. Bapak menceritakan, bagian belakang rumah kami yang sekarang menjadi dapur, tempat cuci piring, dan tempat simpan barang-barang adalah rumah yang dibangun pertama kali. Dibangun tahun 1984, rumah panggung itu sebagian berdinding bambu yang dianyam, sebagian berdinding kayu. Lantai pun juga begitu. Dulu, atapnya menggunakan daun nipah, tetapi sekarang semuanya sudah diganti dengan seng. Atap saja yang berubah, yang lain tidak berubah ataupun diganti sejak pertama kali dibuat. Semua masih sama. Bapak bilang, "Dulu bapak bangun rumah ini semua pakai tangan bapak sendiri, bapak sendiri yang buat. Bambu-bambu ini baik masih mudah dibelah. Tapi kayu-kayu ini setengah mati bapak belah deng parang saja..." "Baru kayu-kayu ini dia pu pohon saja... Ooo... Besar-besar. Bapak belah, ukur dia baik-baik supaya rata-rata semua sama.", lanjut bapak. "Kitong ini dulu masih susah toh, anak banyak jadi... Tapi bapak harus buat rumah", kenang bapak sambil menerawang mungkin ingat masa lalunya dulu. Bapak, mama ini sudah sepuh, usianya sekitar 65 tahun, mama mungkin sekitar 60-an. Bapak ini sekolah hanya ikut SR saja 6 tahun. 3 tahun di kampung, 3 tahun di kota. Mama juga sekolah di SR, tetapi hanya 3 tahun saja. Mereka hanyalah seorang petani. Tetapi bapak selalu bilang mereka hidup sederhana sejak dulu. Mereka hanya makan hasil-hasil kebun saja, makan nasi itu bisa dihitung jari. Mama bilang, "Kitong makan nasi kalau habis pancing ikan atau dapat babi. Itu saja." Tapi dengan kesabaran, kegigihan, kecermatan dan semangatnya, mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi dan beberapa sudah menjadi PNS. Tinggal 2 anak lagi yang sedang menunggu giliran kuliah. Mereka kuliah, one person at a time, karena mama bapak tidak ada uang yang cukup untuk menguliahkan beberapa orang sekaligus. Walaupun memang ada 2 anaknya yang tinggal sampai SD saja, itu juga bukan karena tidak ada kemauan, namun kebetulan 2 anaknya ini sakit, entah sakit apa yang pasti mereka tidak bisa melanjutkan sekolah saat itu. Bapak bilang, "Dari dulu bapak hanya jadi petani saja, tanam sayur, keladi, pala.. Dulu sebelum 1986, pala (biji) belum ada harganya. Orang-orang beli hitung bunga dan bijinya jadi satu. 1 teti ( sekitar 800 kg) harganya cuma 1,5 juta." "Setelah 1986, pala baru punya harganya. Setelah 2011, harga pala baru naik menjadi Rp. 500/biji, sebelumnya dari 1986 sampai 2011 harganya Cuma sekitar Rp. 300.", lanjut bapak. "Tapi dari jual pala-pala itu bapak tabung bikin anak-anak punya biaya sekolah. Kitong tinggal di kampung biasa saja, jarang sekali makan yang enak-enak. Daripada makan enak tapi anak-anak tara bisa sekolah, lebih baik tahan lapar sedikit toh biar dorang bisa sekolah." Obrolan malam itu menyisakan perenungan bahwa kita bisa saja meraih apa saja yang kita mau jika memang betul-betul mau bekerja keras. Kondisi materi keluarga tidak dapat dijadikan alasan untuk berhasil atau tidaknya seseorang. Dari yang aku perhatikan, walaupun bapak, mama sudah punya rumah besar, anak-anak bisa kuliah, tetapi mereka masih hidup sederhana. Menu makan kami masih saja dari kebun dan memancing di sungai kalau mau makan ikan. "Mama tara bisa makan enak oooo.", begitu canda mama.

Cerita Lainnya

Lihat Semua