Tidak Sekedar Mengajar, kan?

Ratna Galih Puspita Rahayu 8 Mei 2015

 

“Bu Guru, apa itu bahasanya brekfes

Brekfes?”

“Iya. Makan pagi-pagi itu di Malaysia orang cakapnya brekfes.”

“Oooh. Breakfast Bhuppak? Bahasa Indonesianya sarapan.”

“Ooh. Sarapan.”

 

“Eshon la tao ngocak Bahasakabhi”(Saya sudah tahu berbicara dengan Bahasa Indonesia semua) Dari dalam bilik aku dengan jelas mendengar ucapan Bhuppak. Entah untuk kali ke berapa. Namun selalu jika ada kawannya yang datang bertamu maka Bhuppak akan mengajak mereka menonton berita dan Bhuppak akan menerjemahkan kata-kata berbahasa Indonesia yang banyak tidak di pahami oleh kebanyakan orang di Dusun. “Je pantes. Bekna e ajaraken kalabhen Bu Guru.” (Ya pantas, kamu diajari oleh Bu Guru) Dan itu jawaban yang juga berulang kali aku dengar. Bersamaan dengan itu, aku selalu bisa membayangkan ekspresi Bhuppak dengan senyum malu-malu, campuran antara bangga dan bahagia karena sudah bisa berbahasa Indonesia. Iya, karena sebelumnya kami berbahasa Melayu dirumah.

Bhuppak yang sejak umur 12 –bahkan sebelum ia mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar- sudah pergi ke Malaysia adalah sosok pria pemalu namun baik hati. Saat pertama aku datang ke rumahnya, Bhuppak tidak langsung menemui aku. Aku ingat, ia menunggu hingga malam sebelum akhirnya menampakan wajah dihadapanku. Sejak awal Bhuppak berkata ia ingin belajar Bahasa Indonesia dariku, ia bahkan meminta Emak dan Kisra, anak dan istrinya, untuk belajar juga. Maka sudah diputuskan bahwa penghuni rumah itu sebisa mungkin tidak akan menggunakan Bahasa Bawean untuk berbicara denganku. Sehingga dapat dipastikan, diantara kawan-kawan sepenempatanku yang lainnya, akulah yang kemampuan berbahasa Baweannya paling rendah.

Sering aku memprotes Bhuppak dan mencoba menggunakan Bahasa Bawean yang baru sedikit aku ketahui di rumah. Alasanya sederhana, aku sering dijadikan objek olok-olokan kawan-kawan karena keterbatasan Bahasaku. Namun tetap saja, Bhuppak akan menjawab pertanyaanku dengan Bahasa Melayu. Ia dengan santai menjawab, “Bila ingin belajar Bahasa Bawean, belajar itu sama orang-orang tua. Nanti lambat-lambat tau.” Katanya. Lalu aku tak bisa berkutik.

Cara belajar kesukaan kami adalah dengan menonton berita. Iya, bhuppak sangat menggilai berita. Ia melahap berita apapun. Dan saat menonton berita itulah aku menerjemahkan kosakata-kosakata sulit semacam grasi, renovasi, dan imitasi. Ini hal yang paling menarik dari pria sederhana itu. Meski ia sering mengaku bukan orang pandai dan tidak tamat sekolah dasar kecintaan Bhuppak pada berita lebih dari siapapun yang aku kenal. Bhuppak akan merasa hampa kalau listrik padam lebih dari sehari. Karena Bhuppak jadi tidak bisa menonton berita.

Jika ada masalah pelik yang ramai di beritakan media maka Bhuppak akan benar-benar memikirkannya, sungguh-sungguh menganggap bahwa masalah tersebut adalah miliknya. Adalah sikap yang jarang dimiliki orang-orang dewasa ini. Lalu ia akan melibatkan aku untuk sekedar menerka-nerka pemecahannya. Ia menemani aku makan siang untuk sekedar membicarakan masalah tersebut. Atau menemani saat aku mencuci sehingga kami harus saling berteriak. Dan semua itu kami lakukan dalam Bahasa Indonesia.

Pernah dalam suatu sesi, TV memberitakan tentang kemiskinan yang terjadi di Ibu Kota, Bhuppak bertanya padaku, “Bu Guru, memangnya ada itu orang miskin di Jakarta?” “Ya banyak Bhuppak. Malah lebih kasian karena banyak yang tinggal di pinggir-pinggir sungai.” Jawabku enteng. Namun rupanya ini bukan hal enteng buat Bhuppak. Suatu ketika saat aku hampir lupa ia tiba-tiba berkata. “Bagaimana caranya ini bawa beras ke Jakarta Bu? Biar dikasi sama orang-orang miskin di sana.” Iya, pria ini bukan hanya pemalu, tetapi juga amat baik hati.

Sekarang Bhuppak tahu bahwa benda untuk menancapkan paku ke dinding adalah palu, bukan heme, Bhuppak tahu bahwa kendaraan beroda dua yang di jalankan dengan dikayuh adalah sepeda, bukan besikar. Mungkin tidak banyak yang sudah kami bagi bersama. Namun setidaknya, Bhuppak mempunyai kebanggaan akan dirinya yang kini sudah mampu berbahasa Indonesia. Hal yang dulu jauh dari angan-angannya. Demikianlah Bhuppak dan cintanya yang apa adanya pada Indonesia.

 

Notes :

-      Bhuppak      :  Ayah dalam Bahasa Bawean

-      Brekfes        : Kata Melayu serapan dari Bahasa Inggris. Asal katanya breakfast (sarapan).

-      Heme          : Kata Melayu serapan dari Bahasa Inggris. Asal katanya hammer (palu).

-      Besikar        : Kata Melayyu serapan dari Bahasa Inggris. Asal katanya bicycle (sepeda).


Cerita Lainnya

Lihat Semua