Tentang teran-teran

Ratna Galih Puspita Rahayu 8 Mei 2015

“Lawan anginnya. Semakin keras angin berhembus dan semakin keras usaha kita melawan, maka suara yang dihasilkan pun akan semakin nyaring.” (Hafiz, 12 tahun)

Akhir-akhir ini pulauku sedang jadi buah bibir, bukan hanya karena keindahan alamnya tapi juga karena keunikan budayanya. Dan itu benar. Salah satu hal unik yang mendarah daging di Bawean dan sempat masuk liputan TV adalah permainan tradisional teran-teran. Alat yang digunakan adalah kayu yang diraut hingga menyerupai baling-baling namun dengan bentuk lebih melengkung. Membuatnya cukup rumit, ada proses panjang yang harus dilalui untuk membuat sebuah teran-teran yang bersuara nyaring. Saat program tersebut ditayangkan, tentu banyak orang yang menontonnya, lalu aku jadi kebajiran pertanyaan tentang permainan ini. Beruntungnya, saat musim angin barat lalu aku sempat mencoba bermain teran-teran. Dalam seminggu, bisa sampai dua hingga tiga kali aku pergi bermain.

Biasanya, para pria yang memainkan teran-teran. Pria dari segala usia. Dan mereka membuat sendiri teran-terannya. Semakin keras suara teran-teran yang dibuat, maka semakin banggalah pria-pria itu. Sering aku tidak habis pikir dengan cerita para ibu bahwa saat bermain teran-teran, pria-pria itu bahkan kadang hingga lupa makan dan kerja. Bisa sampai seharian katanya.

Tunggu sampai aku memainkannya sendiri kataku pada diri sendiri. Dan iya, bermain teran-teran sangat seru. Ada perasaan bahagia saat kita bisa menghasilkan bunyi nyaring dari baling-baling kita, ada perasaan bebas saat angin kencang menerpa tubuh kita dan kita menahan baling-baling sekuat tenaga, dan keseruan ini belum termasuk sensasi aneh seperti akan terbawa terbang oleh angin setiap kita mau membunyikan baling-balingnya, atau efek samping tertawa dan menjerit tanpa henti.

Namun jauh dari semua itu, aku sudah merasakan keseruannya bahkan sebelum teran-teran terpasang di ujung tiang bambu. Aku menikmati perjalanan yang aku lalui untuk menuju puncak. Iya, teran-teran dimainkan di puncak gunung. Butuh waktu hampir satu jam untuk mencapainya. Hal ini tidak mudah untukku yang tidak terbiasa dengan aktifitas outdoor. Aku selalu kesulitan untuk menyamakan langkahku dengan anak-anak. Tanjakan yang hampir membentuk sudut 90o di lewati anak-anak dengan ringan, sementara aku harus berjalan merangkak. Namun, setiap aku hampir terjatuh selalu ada tangan-tangan mungil yang terulur. Saat aku terengah-engah kehabisan nafas, mereka meringankan bebanku dengan membawakan sandal dan barang-barangku. Sering aku dengar mereka meledekku “Kalempoan bekna Bu!” (Terlalu gemuk kamu Bu!) Dan kami semua akan tertawa, aku semakin menjadikan itu alasan untuk bermanja-manja dengan mereka. Saat aku kesulitan melewati jalan yang dikelilingi pohon berduri mereka berkata “Duuh, nyerserna jadi oreng kota” (Duh, kasiannya jadi orang kota) sambil menebas ranting-ranting untuk memudahkan aku berjalan. Mereka menolong aku dengan cara mereka. Tidak membiarkan Ibu Gurunya ketinggalan atau kelelahan. Mereka mengenalkan aku dengan berbagai macam tanaman dan buah yang kami lewati di hutan. Lalu saat tiba di puncak gunung dan bermain teran-teran lengkaplah kebahagiaanku. Iya kebahagiaan yang anak-anakku ciptakan untukku. Bagiku, teran-teran bukan hanya permainan membunyikan baling-baling, lebih dari itu, proses sejak awal untuk memainkan teran-teran selalu aku maknai sebagai proses aku melihat seorang gentleman sejati pada diri anak-anak kecil itu. Mereka gentleman yang sesungguhnya. Yang melindungi dan menghibur orang yang disayanginya.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua