Harapan Baru Di Gedung Biru

Hanif Azhar 8 Mei 2015

Tak terasa, sudah tiga bulan kami melakukan kegiatan pembelajaran di gedung sekolah baru. Anak-anak masih belum terbiasa dengan gedung bagus. Mereka juga belum merasa nyaman berada di dalam ruang kelas yang luas. Hening. Sepi. Itulah yang kami rasa.

Selama tiga bulan itu juga selalu terjadi hal-hal konyol. Mulai dari rebutan sapu sampai kain pel. Setiap hari, mereka berlomba-lomba untuk membersihkan kelas. Tanpa perintah, tanpa pamrih. Bahkan pernah juga mereka sampai bertengkar memperebutkan alat kebersihan. Saling pukul, saling lempar, dengan sapu, kain pel, dan tempat sampah. “Kalu kami rajin bersih-bersih, mangke sekolah kami jadi ringkeh Pak. Kami hendak pule ngasoh sekolah tiap ahi.” Ujar mereka.

Pernah terjadi insiden jari kelingking seorang anak didik terjepit di pintu gudang sampai memar, kukunya terlepas. Hal ini diawali dari ke-hyperaktif-an si anak didik untuk membersihkan halaman kelas. Ketika membersihkan debu di sela-sela pintu, ia tidak sadar bahwa ada anak lain yang sedang membereskan rak buku di sana. Tanpa sengaja, pintu ditutup dari dalam. Suasana pecah seketika, mendengar teriakan tangis histeris kesakitan.

Semua orang panik. Namun bidan desa jaraknya lumayan jauh. Sesegera mungkin saya meminta bantuan keluarga angkat saya untuk mengambilkan kotak Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di rumah. Jujur, itu kali pertama saya merawat luka orang lain. Memang tidak ada pilihan, Pengajar Muda dituntut seperti dewa, serba bisa. “Oi, sesok pedengan dekde jadi lagi behusik di pintu,” Nasihat saya. “Au, Pak!” Jawab mereka serempak.

Kejadian paling konyol terjadi ketika mereka bermain di jendela. Dibuka, kemudian ditutup kembali. Hal itu dilakukan berulang kali. Sampai suatu hari jendela itu jatuh, hampir menimpa kepala seorang anak didik. Beruntung, salah satu rekan guru saya dengan cekatan menahan daun pintu jendela tersebut.

Saya tidak dapat menyalahkan anak-anak sepenuhnya. Gedung sekolah ini merupakan bangunan termegah di talang kami. Semua rumah kecil dan tersusun dari papan kayu. Tidak ada lantai keramik, atau jendela kaca indah seperti di sekolah. Ini hal baru. Mereka ingin mengeksplorasi, tanpa henti.

Tidak hanya anak-anak, masyarakat pun seringkali menggunakan gedung sekolah baru sebagai tempat pertemuan berbagai kegiatan, seperti penyuluhan kesehatan dan pengobatan gratis. Beberapa relawan yang datang ke Airguci juga menggunakan gedung kami, tak terkecuali.

Sebelumnya, gedung sekolah kami hanya sebuah bangunan semi permanen berkuruan 4x9 meter persegi, dengan atap seng, dan hampir rubuh. Ruang kecil itu masih harus disekat menjadi tiga bagian, dengan kayu tripleks yang berlubang. Setiap sekat, diisi oleh dua kelas sekaligus. Kami berbagi satu papan tulis untuk dua kelas. Dapat dibayangkan betapa ricuhnya suasana itu. Namun kami sudah terbiasa [1].

Anak kelas satu dapat menyapa kelas dua. Anak kelas tiga dengan bebas meminjam pena ke kelas lima. Anak kelas empat bebas berlarian dan saling lempar biji karet dengan kelas sebelah. Namun, kami, para dewan guru sudah terbiasa dan punya formula untuk menertibkannya. Jumlah 40-an peserta didik di dalam satu ruang mungil dengan tiga guru, itu sangat cukup bagi kami.

Sekarang, gedung baru sekolah kami tidak diimbangi dengan jumlah guru. Tiga dewan guru yang selama ini menjadi partner saya di kelas jauh, semua ditarik ke sekolah induk. Alasan Kepala Sekolah adalah untuk mempermudah administrasi mereka sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Saya senang karena pada akhirnya dua guru kelas jauh masuk K2 CPNS tahun ini, walaupun saya kurang sepakat dengan penarikan mereka ke kelas induk. Karena pada dasarnya pengangkatan K2 CPNS adalah supaya mereka lebih baik lagi di kelas yang mereka ajar, kelas jauh. Setidaknya itulah info yang saya dapat dari Kepala Dinas Pendidikan & Kebudayaan Kabupaten Muara Enim. Satu lagi guru lainnya, ditarik sebagai operator sekolah.

Saya tahu, mereka bertiga berat meninggalkan kelas jauh. Namun perintah kepala sekolah ibarat titah raja, harus terlaksana. Pada akhirnya, mereka menyerah terhadap keadaan. Tiga guru kelas jauh ditarik ke kelas induk, kemudian dua guru dari kelas induk ditransfer ke kelas jauh. Sebagai Pengajar Muda, harus mulai dari awal lagi untuk mentransfer motivasi dan energi positif kepada mereka.

Alhamdulillah, Saya bersyukur. Satu dari dua guru itu sangat aktif dan rajin mengajar. Iya, standar guru baik bagi saya cukup satu, rajin pergi ke sekolah untuk mengajar. Pada akhirnya, di sekolah kami setiap hari hanya ada dua guru, termasuk saya. Dengan gedung sekolah baru dan tantangan-tantangan baru.

Terkadang saya sangat khawatir dengan keadaan sekolah apabila ada agenda di kabupaten. Saya harus meninggalkan sekolah beberapa hari. Saya tidak dapat membayangkan beliau mengurus semuanya di sekolah kelas jauh, seorang diri. Saya bersyukur, mendapat partner baru dan banyak belajar keteladanan. Terimakasih Ibu Tiya. Semoga amal ibadahmu menjadi amal jariyah yang terus mengalir sampai kapanpun.

Kesimpulannya ; Pada akhirnya pembelajaran itu tidak hanya sekedar fasilitas dan sarana-prasarana yang mencukupi. Bagi saya, guru yang baik lebih berharga dari apapun. Role model itu akan melahirkan pribadi-pribadi yang menyenangkan dan bermanfaat bagi sesama. Terimakasih untuk guru-guru inspiratif Airguci.

 

[1] baca selengkapnya tentang kelas darurat di SDN 10 Rambang kelas jauh, di Talang Airguci : http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/kreativitas-melesat-di-kelas-super-darurat


Cerita Lainnya

Lihat Semua