Berita dalam Dunia Bhuppak*
Ratna Galih Puspita Rahayu 12 Januari 2015
“Bu Guru, apa itu mengkonversi?” Mendapat pertanyaan yang tiba-tiba, saya, yang saat itu sedang menjahit flanel sontak menegakan kepala dan berusaha mengumpulkan ingatan mengenai jawaban atas pertanyaan yang diajukan Bhuppak. “Eeee, anu Pak mengkonversi itu .....” Rupanya butuh waktu cukup lama agar aku bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan hati Bhuppak. Belum genap dua bulan kami mempunyai televisi, tetapi suasana rumah terasa jelas berbeda. Sebelumnya, Bhuppak tidak membeli televisi karena belum ada listrik masuk ke dusun kami. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, kami mengambil dari dusun tetangga yang berjarak sekitar dua kilometer. Itupun tidak bisa banyak, hanya cukup untuk menyalakan beberapa lampu saja. Belum lagi kabel listrik yang melintang memanjang dan melewati hutan serta bukit ini rentan putus karena berbagai sebab, misal kejatuhan batang pohon, sampai digigiti monyet yang iseng, belum lagi jika terjadi konslet, sehingga sering kali kami di dusun harus gelap-gelapan. Suatu hari, Bhuppak menjual sapinya untuk memperbaiki lantai rumah. Dari hasil penjualan sapi dan setelah dikurangi biaya perbaikan, masih tersisa cukup uang untuk membeli televisi. “Biar Bu Guru kalau malam ada hiburan, tidak baca buku terus.” katanya. Memang rumah kami terletak di tengah ladang yang kalau malam hari hanya nampak kegelapan sejauh mata memandang, tidak ada tetangga kanan-kiri yang bisa diajak bercengkrama. Sore itu, lepas sembahyang maghrib, kami berkumpul di ruang tengah untuk menonton televisi. Sekian lama tidak menatap layar kotak itu ternyata membuat saya rindu beberapa program yang dulu jadi favorit saya. Kami menanti hiburan yang disuguhkan televisi baru kami dengan tidak sabar. Bhuppak menghubungkan televisi ke soket listrik, kemudian menekan tombol power. Lalu PPPPPTTTTTTTTTT. Langsung gelap gulita. Ternyata listrik kami tidak sanggup menanggung beban tambahan sebuah televisi. Kami mematikan semua lampu yang ada di rumah. Lalu kembali mencoba menyalakan televisi. Hasilnya lebih baik. Televisi kami bisa bertahan hidup selama beberapa detik untuk kemudian mati lalu hidup lagi dan mati lagi. Begitu seterusnya. Memang jam-jam tersebut merupakan puncak beban penggunaan listrik. Karena daya listrik yang tidak kuat, kami hanya bisa menonton televisi pada siang hari atau malam lewat dari pukul 21.00. Saat orang lain sudah pergi ke peraduan atau tidak sedang menggunakan listrik. Tak jadi soal sebenarnya, karena dengan begini kami tidak usah menyaksikan tontonan tidak mendidik yang justru banyak disiarkan pada jam belajar anak-anak. “Aksi demo berjalan dibawah pengawalan polisi yang dikerahkan oleh Polres Kota Bandung agar menjamin kelancaran dan memastikan tidak ada tindakan anarkis dalam aksi tersebut.” “Mungkin fraksi-fraksi lain juga menolak. Yang jelas, kami masih menggalang kekuatan, menurut kami ....... “ Sayup-sayup potongan-potongan berita yang sedang ditonton Bhuppak terbawa angin hingga ke kamar saya. Sudah pukul 21.30. Semakin lama televisi ini hadir ditengah-tengah kami, saya semakin menyadari bahwa Bhuppak sangat menyukai program berita. Maka ia tidak berkeberatan meski televisi hanya bisa dinyalakan lepas dari pukul sembilan malam. Bhuppak akan menonton berita. Lalu biasanya, jika saya belum tidur, selagi menonton, Bhuppak akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti diatas. Pertanyaan sederhana saja sebenarnya, bukan mengenai masalah pelik politik yang ramai diperbincangkan orang, bukan juga masalah kenapa BBM harus naik, hanya tentang arti kata-kata yang tidak ia pahami, semisal transaksi, koalisi, birokrasi, oposisi. Hanya kosakata biasa yang jarang didengar Bhuppak. Siang hari sepulang sekolah, saya mendapati Bhuppak tersenyum-senyum menyaksikan seorang politikus yang sedang diwawancarai di televisi. Sama sekali tidak ada yang lucu padahal. Ia hanya sedang ditanya pendapatnya mengenai keputusan pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak. Tapi Bhuppak tersenyum. “Kenapa Bhuppak tersenyum?” Tanya saya. “Itu Bu, orang pandai, Bhuppak suka lihat orang pandai sedang berbicara. Kata-katanya sukar dimengerti.” Ia menjawab sambil matanya tetap mengarah kepada layar televisi. “Memang orang pandai kalau berbicara bahasanya selalu sukar dimengerti. Bahasa orang pandai.” Lanjutnya. Hanya sebaris kalimat sederhana yang keluar dari mulut seorang pria sederhana, namun memiliki makna yang tidak biasa. Saya tertegun dibuatnya. Itukah yang Bhuppak pikirkan? Bisa menggunakan kata-kata yang tidak ia pahami maka ia menganggap orang tersebut pandai. “Tidak Bhuppak. Tak ada yang namanya bahasa orang pandai Pak. Sama saja, orang itu pakai Bahasa Indonesia.” Bhuppak hanya tersenyum simpul mendengar jawaban saya. Sejak saat itu kami jadi punya kebiasaan baru. Setiap pagi atau malam hari saya akan menemani Bhuppak menonton berita dan menyederhanakan kata-kata yang belum Bhuppak mengerti. Tidak lama, sekitar 10 hingga 30 menit saja. Suatu hari, saya pergi ke kota Kabupaten, tak lama setelah itu, terjadi sebuah kecelakaan peswat di Selat Karimata yang menjadi headline semua berita. Tentu saja hal ini pun menarik perhatian Bhuppak. Saat saya menelponya, bukan bertanya mengenai kabar saya atau cerita lainnya, ia langsung membuka percakapan kami dengan berita mengenai kecelakaan pesawat tersebut, “Ada kapal terbang jatuh di laut. Penumpangnya 150 orang. Semua meninggal. Yang ditemukan baru dua orang.” Katanya dengan bersemangat. Saya jadi amat takjub, kembali teringat bagaimana ketertarikan Bhuppak terhadap berita. Akhirnya, sekitar setengah jam percakapan telepon itu kami habiskan dengan membahas berita kecelakaan pesawat. Seminggu kemudian, saya pulang dan mendapati Bhuppak berwajah murung, sudah beberapa hari listrik mati di Dusun kami. Hanya menyala selama beberapa jam saja setiap harinya. Dan Bhuppak berkata ke setiap orang bahwa ia jadi tidak bersemangat karena listrik terus menerus mati sehingga ia tidak dapat memantau perkembangan berita kecelakaan pesawat. Ah Bhuppak, ia membuat saya turun gunung setiap sore untuk medapatkan akses internet dan mencari berita terbaru mengenai kecelakaan tersebut. Bhuppak betul-betul memanfaatkan televisi dengan baik. Bhuppak selalu menyetel televisinya pada channel berita. Tanpa pilih-pilih, ia melahap berita mengenai politik, curanmor, perampokan, penyalahgunaan narkoba, hingga kejadian pembunuhan, semua berita yang ditanyangkan televisi. Ia menjadi seperti kamus berita berjalan. Coba saja tanya Bhuppak mengenai berita terbaru. Bhuppak pasti tahu. Bhuppak sangat menggilai berita. Menjadi menarik karena disela kehidupannya yang keras, ditengah segala keterbatasan yang menghimpitnya, ia masih memikirkan hal-hal yang terjadi diluar sana. Ia amat haus akan informasi, meski terkadang ia kesulitan memahami beberapa kosakata, ia tetap melahapnya. Sementara banyak dari kita yang justru memindahkan channel saat siaran berita dimulai. Kemudian, saya belajar untuk lebih menyukai program berita dibandingkan program musik dari Bhuppak. Walaupun tidak bisa dipungkiri, program musik selalu lebih menarik. Tetapi bersama Bhuppak, menonton berita pun bisa asik. Ya, itulah Bhuppak. 38 tahun. Tidak lagi tamat Sekolah Dasar, tapi sangat gemar menonton berita. Note: *Bhuppak = Ayah dalam Bahasa Bawean
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda