Jelajah Wuar Labobar (Bagian Pertama)

Maridha Normawati 13 Januari 2015

Rabu, 15 Oktober 2014 menjadi salah satu hari keberuntungan bagi saya. Keberuntungan tersebut bermula dari kesempatan bertemu dengan Pak Poli, Sekretaris Camat yang baru. Kami bertemu dalam perjalanan pulang dari Larat menuju Wunlah. Sore itu, saya tak sengaja bertemu dan berkenalan dengan beliau di Kapal Motor Bapak Kembar. Bapak Sekcam lalu menawarkan saya untuk ikut dengan Beliau berkeliling ke desa-desa di Kecamatan Wuar Labobar pada keesokan harinya, saya pun mengangguk dengan cepat. Inilah kesempatan saya berkunjung ke desa-desa dan bertemu guru-guru serta melihat langsung kondisi sekolah. Berkeliling ke desa-desa di Kecamatan Wuar Labobar memang menjadi salah satu rencana saya selama setahun masa penugasan dan syukur alhamdulillah impian itu dapat segera terwujud.

Keesokan siangnya tanggal 16 Oktober 2014, salah satu anak memanggil saya dengan napas terengah-engah memberitahukan bahwa Bapak Sekcam bersama dengan Bapak Wekam, Bendahara Kecamatan, telah bersiap menuju Desa Labobar, desa pertama yang kami kunjungi. Saya pun melangkah dengan cepat setengah berlari menuju dermaga desa. Apa mau dikata saya harus menyeburkan kaki ke laut karena pantai sedang meti atau surut. Celana basah hingga sekitar lutut pun mau tak mau menjadi awal petualangan saya hari itu. Meski setengah basah, senyum tetap saja terkembang karena tak sabar melihat keunikan desa-desa sekitar. Saya, Bapak Sekcam, Bapak Bendahara, Bapak Heri, dan Bapak Eki pun berangkat sekitar pukul 11.30 WIT. Bapak Eki dengan cakap mengemudikan speed menuju Desa Labobar. Beruntungnya siang itu cuaca cukup bersahabat dan ombak tak tampak bergejolak sehingga kami hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk menempuh perjalanan dari Desa Wunlah ke Desa Labobar.

Labobar sebenarnya merupakan desa penempatan awal Pengajar Muda di Kecamatan Wuar Labobar. Kak Sandra Prasetyo, Pengajar Muda angkatan II yang bertugas pertama kali di Labobar, kemudian dipindahkan tugasnya ke Desa Wunlah. Desa Labobar adalah salah satu desa bermayoritaskan penduduk muslim asli Tanimbar. Salah satu gunung termahsyur di Kabupaten MTB berada di Desa Labobar. Nama gunung tersebut akhirnya menjadi simbol Kecamatan Wuar Labobar. Wuar dalam bahasa lokal Tanimbar berarti gunung. Mungkin mengapa Wuar Labobar terpilih sebagai nama kecamatan, karena di setiap desa di kecamatan ini kita dapat memandang keelokan pesona gunung Labobar.  Saya juga sempat berkenalan dengan orang yang memiliki marga Labobar, tetapi uniknya masyarakat asli yang tinggal di sana tidak memiliki marga yang sama dengan nama desa tersebut.

Saya kemudian turun ke dasar pantai  dan tetap berjalan dengan celana basah menuju SDN Labobar. Kondisi SDN Labobar sudah sepi saat kami datang, anak-anak sudah pulang sekolah. Saya berjumpa untuk kedua kalinya dengan Bapak Andre. Bapak Sekcam yang baru bertugas mulai mengajak Bapak Andre berbicara tentang kondisi dan aktivitas belajar mengajar di SDN Labobar. Administrasi sekolah yang biasanya harus diurus langsung di Saumlaki membuat aktivitas belajar mengajar terhambat, karena guru atau kepala sekolah harus berpergian dalam waktu yang cukup lama. Saya pun merasakan sulitnya akses transportasi di MTB. Transportasi tidak setiap hari ada, kapal sebagai transportasi termurah juga tak tentu ada. Akses komunikasi juga masih terasa sulit. Namun, pemerintah sudah mulai banyak berbenah. Beberapa menara BTS sudah dibangun dan diperbaiki, jalan lintas Pulau Yamdena dari Saumlaki menuju Larat sudah dapat dilewati meskipun ada sedikit titik yang masih dalam proses perbaikan.  

Saat kunjungan, Bapak Bendahara juga sekalian memberikan gaji guru secara tunai. Biasanya perwakilan sekolah yang harus mengambil di kecamatan setiap bulan. Saya membayangkan bagaimana repotnya hanya untuk mengambil hak mengajarnya, guru-guru harus menempuh perjalanan laut. Apabila cuaca sedang buruk maka terlambatlah gaji diterima. Pernah sesekali saya bertanya, kenapa tidak melalui bank saja gaji dibayarkan. Namun, ada guru yang menyebutkan jika hal tersebut dilakukan terasa tidak adil bagi guru yang lalai bertugas tapi masih menerima gaji. Bapak Sekcam dan Bapak Bendahara pun menanyakan alasan ketidakhadiran guru dari data absensi, sehingga guru yang lalai bertugas tidak langsung menerima gajinya.

Matahari telah berada tepat di atas kepala, waktunya shalat Dzuhur. Saya pun meminta izin untuk pergi sembahyang di Masjid Al-Mawaro di Desa Labobar. Saya selalu antusias beribadah di tempat yang baru, apalagi di Kabupaten MTB tidak banyak ditemukan masjid. Masjid Al-Munawaro ini adalah masjid ketiga yang saya pernah saya singgahi di Kecamatan Wuar Labobar. Sayangnya aktivitas masjid yang sepi membuat saya bersedih. Mungkin ibadah Shalat Dzuhur berjamaah sudah dilaksanakan lebih awal sehingga jamaah Shalat Dzuhur sudah pulang ke rumah masing-masing.

Selepas shalat dan makan siang, saya dan rombongan menuju desa selanjutnya yaitu Teineman. Bapak Holmes, Kepala Dinas Pendidikan pernah merekomendasikan saya untuk singgah di desa Teineman. Setelah saya sampai, memang ternyata Teineman merupakan desa yang sangat istimewa. Keindahan pantai berpasir putih sungguh membuat saya betah berlama-lama di desa ini. Bentuk rumah yang masih tradisional karena terbuat dari kayu dan daun kelapa menjadi nilai tambah eksotisnya Desa Teineman. Cocok sekali apabila Desa Teineman dibuat menjadi kawasan desa wisata. Apalagi mudah saja masyarakat mendapatkan banyak ikan segar di sekitar pantai.

Setelah mengabadikan gambar, Pak Poli dan Pak Wekam mengajak saya menemui Bapak Kepala Sekolah SMP. Ternyata Bapak Kepala Sekolah merupakan teman lama Pak Poli. Kenangan semasa muda pun menjadi perbincangan utama di sore itu. Bapak Poli juga sangat senang berkunjung di Desa Teineman karena desa ini merupakan tempat bertugas kakeknya ketika muda. Perbincangan pun dilanjutkan dengan kinerja guru di sekolah, ternyata masih ditemukan ada guru yang tidak pernah masuk ke sekolah dalam waktu yang cukup lama. Kunjungan Bapak Sekcam menjadi penting dilakukan agar guru-guru yang belum disiplin bisa diberikan teguran sehingga bisa memperbaiki kinerjanya.

Perjalanan kami pun dilanjutkan ke desa Watmasa. Wat dalam bahasa Fordata memiliki arti yaitu perempuan, sedangkan masa berarti emas. Namun, saya masih belum tahu banyak arti dan sejarah dibalik nama desa Watmasa. Ketika sampai dan berjalan menuju rumah Kepala Sekolah SD, bahu saya ditepuk oleh seorang Ibu. Ibu tersebut memperkenalkan diri sebagai guru angkatan pelopor, yaitu ibu Rovina Tuatfaru. Ibu Rovi sangat antusias menerima saya karena ini adalah perjumpaan pertama kami. Semua guru angkatan pelopor pasti mengenal Pengajar Muda angkatan VI, tetapi mereka masih banyak yang belum mengetahui PM angkatan VIII. Pertemuan langka seperti  ini adalah saat yang tepat bagi kami untuk saling berkenalan dan bertukar informasi. Sayangnya Ibu Rovi tidak dapat mengikuti Temu Akbar angkatan pelopor karena dalam kondisi sedang hamil serta tidak mengetahui adanya kegiatan tersebut karena tidak adanya sinyal di desa Watmasa. Saya pun menjelaskan hasil pertemuan dari kegiatan temu akbar tersebut padanya. Ibu Rovi juga membagikan pengalamannya berupa perubahan-perubahan yang sudah dilakukan di sekolah semenjak beliau menjadi guru Angkatan Pelopor.

Perbedaan paling nyata dan banyak dilakukan oleh guru Angkatan Pelopor adalah menurunnya kekerasan fisik dan mulai digunakannya metode kreatif untuk mengajar. Ibu Rovi pun merasakan perbedaan suasana belajar, yang sebelumnya menjemukan, setelah menggunakan metode kreatif seperti permainan dan lagu, suasana belajar di kelas menjadi lebih hidup. Anak-anak pun semakin antusias dalam belajar di kelas.  Perubahan yang telah ada meskipun sedikit tapi membawa dampak yang berarti bagi kemajuan pendidikan di bumi Duan Lolat ini. Tanah Tanimbar sedari dulu selalu menomorsatukan penggunaan rotan dalam menertibkan anak. Walaupun sampai saat ini masih ditemukan guru yang merotani siswa, tetapi jumlahnya sudah mulai berkurang. Guru-guru semakin menyadari bahwa kekerasan tidak baik dilakukan dalam mendisiplinkan siswa. Apalagi sekarang sudah ada undang-undang yang mengatur kekerasan anak sehingga membuat guru berpikir ulang ketika hendak memukul siswa.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Desa Awear, sebenarnya saya sudah pernah datang sekali bersama Kak Amri untuk menemui Ibu Bat, Koordinator Angkatan Pelopor. Kunjungan kedua kalinya ini terasa istimewa karena saya singgah di dermaga kayu yang masih baru dibangun. Desainnya yang artistik membuat saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan mengabadikan gambar. Sepanjang perjalanan saya bercerita pada Bapak Poli bahwa kondisi air di Desa Awear sangat memprihatinkan. Apabila musim kemarau datang, banyak penduduk yang harus mengambil air di desa lain, seperti Desa Labobar atau Desa Wunlah. Masyarakat harus rela mengambil air di desa lainnya dengan menggunakan perahu. Pak Poli ternyata baru mengetahui kondisi tersebut dan segera mencatat hal tersebut sebagai tugas yang harus segera dibenahi. Saya belajar dari sosok Bapak Poli yang langsung cepat tanggap terhadap kondisi yang dialami masyarakatnya. Kunjungan yang terkesan mendadak dan tidak diketahui oleh masyarakat juga menjadi alasan tersendiri bagi Pak Poli. Pak Poli tidak ingin kunjungannya membuat masyarakat menjadi repot karena harus menyuguhkan berbagai makanan atau memberikan pelayanan terbaik selama beliau datang. Tindakannya tersebut membuat saya semakin hormat terhadap sosok Sekretaris Camat yang baru ini.

Senja pun memaksa kami untuk segera pulang kembali ke Wunlah. Perjumpaan yang singkat dengan Ibu Bat membuat saya bersedih, masih banyak rasanya yang ingin kami bicarakan, apalagi ketiadaan sinyal di Awear membuat komunikasi kami terhambat. Setelah semua informasi penting saya sampaikan, saya pun pamit pulang. Pesona matahari terbenam dengan latar belakang Gunung Labobar menjadi pelengkap indahnya perjalanan saya hari itu. Tenangnya riak ombak membuat perjalanan menuju Wunlah terasa mendamaikan hati. Setelah speed menepi ke daratan, saya pamit  pulang pada Bapak Poli, Bapak Wekam, Bapak Heri, dan Bapak Eki. Bapak Poli menjelaskan bahwa besok pagi saya harus bersiap karena kami akan melanjutkan perjalanan ke desa-desa lainnya yang belum sempat disinggahi. Saya pun mengangguk cepat dan berjalan pulang.


Cerita Lainnya

Lihat Semua