info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Jelajah Wuar Labobar (Bagian Kedua)

Maridha Normawati 13 Januari 2015

Jumat, 17 Oktober 2014. 

Arloji hijau army di tangan telah menunjukkan pukul 08.00 WIT, Saya pun bergegas siap berangkat melanjutkan perjalanan menjelajahi Wuar Labobar dengan tak lupa berbekal sedikit jajanan dan air minum. Persediaan makanan seringkali saya butuhkan untuk meredamkan kelaparan karena mungkin saja di tengah perjalanan perut saya merontak minta diisi. Daripada senandung orkes perut berbunyi di saat bertemu petinggi stakeholder, lebih baik saya sudah bersiap membawa amunisi. Perbekalan sudah siap di tas, saya kemudian berjalan dengan semangat empat lima menuju tempat speed berlabuh. Karena rombongan Bapak Sekcam belum terlihat, Saya memutuskan untuk duduk di pinggir laut sembari memandang pantai di pagi yang cerah. Ketika itu, sinyal telepon masih baru selesai diperbaiki, ide cemerlang tiba-tiba datang. Telepon genggam memanggil pemilik nomor yang baru saja saya hubungi. Suara merdu di balik ujung telpon pun menyapa, orang yang paling dirindukan pun menanyakan kabar anak perempuannya yang terdampar di Bumi Tanimbar.

“Alhamdulillah Mama sehat mbak.” begitu ucapnya setelah saya balik bertanya kabar. Kabar Mama sehat sudah cukup membuat hati menjadi tenang. Kalau melihat hubungan kami yang sangat baik, orang-orang pasti tak menyangka kami pernah berselisih beberapa waktu yang lalu sebelum saya memutuskan menjadi Pengajar Muda. Mama dahulu menentang keras keinginan putrinya untuk menjadi Pengajar Muda. Tak tanggung-tanggung dua tahun lamanya waktu yang harus saya perjuangkan untuk meminta restunya hingga akhirnya kini Mama mendukung keputusan anaknya untuk merantau. Dengan antusias, saya selalu menceritakan pengalaman-pengalaman terbaik yang saya alami, termasuk pengalaman mengunjungi desa-desa di Kecamatan Wuar Labobar. Tak lupa sebelum menyudahi pembicaraan, saya meminta doa dari Mama agar penjelajahan di hari kedua ini berjalan dengan lancar.

Rombongan Bapak Sekcam pun telah tiba ketika saya selesai menghubungi mama, kami masuk ke dalam speed dan siap berangkat menuju desa Lingada. Perjalanan di hari kedua sedikit berbeda dengan hari pertama. Meskipun matahari terik bersinar, ombak di lautan membuat kepala menjadi lumayan pening. Desa Lingada adalah desa yang ditempati oleh penduduk yang bermigrasi dari Selaru. Nama desanya mirip seperti Desa Lingad di Kecamatan Selaru. Konon katanya, banyak desa di Kecamatan Wuar Labobar merupakan desa-desa baru tempat migrasi penduduk dari kecamatan lain. Kecamatan Wuar Labobar sendiri merupakan kecamatan baru di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Sesampainya di Desa Lingada kami berjalan menuju SD Kristen Lingada. Dua orang anak berseragam olahraga pun saya dekati, mereka dengan senang hati mengantar saya menuju sekolah. Saya melihat jejeran batu berbentuk tebing di sepanjang perjalanan. Pemandangan yang sedikit berbeda dengan desa-desa lainnya. Jalanan menanjak membuat napas saya sedikit terengah ketika sampai di muka sekolah.

Saya disambut oleh Ibu Bat yang ternyata sendirian mengajar di sekolah. Dua guru PNS lainnya (termasuk Kepala Sekolah) sedang melanjutkan kuliah dan mengurus administrasi di Saumlaki, sedangkan guru honor izin tidak masuk sekolah. Kondisi seperti ini masih banyak ditemui di Kecamatan Wuar Labobar. Waktu belajar siswa menjadi lebih sedikit karena jumlah guru yang mengajar tidak memadai. Bagaimana caranya satu guru dapat mengajar enam kelas? Tentunya melelahkan dan kurang efektif. Permasalahan tidak meratanya distribusi guru di ibukota kabupaten dengan desa-desa lainnya memang menjadi permasalahan utama. Kebanyakan guru yang bertumpuk di ibukota kabupaten memiliki suami atau istri yang bekerja di institusi lain di Saumlaki. Maka perkara mutasi menjadi masalah yang pelik. Memang lebih mudah apabila pasangan suami istri bekerja sebagai guru sehingga dapat dipindahkan bersama ke desa yang masih terpencil.

Saya dan Ibu Bat berbincang cukup lama tentang kondisi sekolah, hingga rombongan Pak Sekcam bersiap melanjutkan ke desa lain. Saya pamit pada Ibu Bat dan berharap supaya kami dapat bertemu kembali. Ibu Bat mengantar saya dan rombongan hingga muka sekolah. Ternyata air sedang surut saat saya tiba di tempat speed berada, saya kemudian menunggu di dermaga sambil menikmati pemandangan laut yang luas membentang. Desa Lingada memiliki penahan ombak alami dengan adanya jejeran batu-batu karang yang memanjang. Burung-burung Australia yang terbang berkoloni juga menghiasi pemandangan langit biru yang cerah pagi itu. Banyaknya burung Australia yang melewati Desa Lingada pasti akan menjadi pemandangan menarik bagi para pecinta burung untuk melakukan pengamatan. Sayangnya meski kuliah di Biologi, saya tidak tahu jenis apakah burung tersebut. Ketika speed mulai jalan menuju Desa Romnus, saya melihat ratusan burung Australia sedang bercengkrama di suatu pulau kecil dekat Desa Lingada. Pemandangan yang mengesankan, tetapi sayang potensi ekowisata di Kecamatan Wuar Labobar yang sangat besar belum dioptimalkan sebagai sumber pendapatan daerah.

Perjalanan menuju Desa Romnus membuat speed yang kami tumpangi terlonjak oleh ombak yang bergejolak. Meskipun begitu, saya tetap bersemangat menuju Desa Romnus. Tepi pantai Desa Romnus berombak sangat kuat dan berbeda dengan desa-desa lainnya yang relatif tenang. Ombak yang kuat membuat saya harus mencemplungkan kaki ke pantai, celana saya basah hingga sepaha. Desa Romnus memiliki satu dusun kecil yang bernama Namralan. Namralan merupakan dusun dengan berpenduduk mayoritas muslim. Dusun namralan juga disebut sebagai Labobar kecil. Sayangnya saya tidak sempat mengunjungi Namralan dan tidak sempat singgah di mushola kecil yang terlihat dari bibir pantai dusun. Saya mengikuti rombongan menuju SD Kristen Romnus dan bertemu dengan tiga orang guru, satu di antaranya adalah Bapak Deki Masela, guru angkatan pelopor. Saya kemudian langsung memberikan informasi seputar kegiatan temu akbar Angkatan Pelopor. Sayangnya karena akses komunikasi tidak lancar, informasi kegiatan tersebut tidak diketahui oleh Bapak Masela.

Sekolah dasar yang terdapat di Romnus dan Namralan hanya satu yaitu SDK Romnus, sehingga guru-guru menyampaikan bahwa anak-anak Muslim yang bersekolah di sana tidak mendapatkan pelajaran agama. Padahal jumlah total siswa muslim sekitar 40 orang. Selama ini, pihak sekolah meminta bantuan Imam yang mengajar mengaji di mushola. Imam tersebut yang memberikan nilai pada setiap anak muslim yang bersekolah di SDK Romnus. Walaupun demikian, pihak sekolah tetap berharap agar anak-anak mendapatkan pelajaran Agama Islam dari seorang guru. Saya salut terhadap guru-guru di SDK Romnus yang memikirkan nasib akidah anak-anak muslim, meskipun mereka berbeda kepercayaan. Toleransi seperti inilah yang kerap saya acungi jempol di daerah penempatan saya bertugas. Kebanyakan masyarakat Tanimbar sangat toleransi terhadap perbedaan.

Setelah puas berbincang dengan guru-guru, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju Desa Kilon. Kunjungan ke Desa Kilon merupakan kunjungan kedua setelah pada Hari Raya Idul Adha lalu saya melaksanakan ibadah shalat Ied di sana. Saya pun melangkahkan kaki ke masjid dan melaksanakan sembahyang Dzuhur. Setelah selesai saya langsung ke rumah Kepala Desa untuk menemui rombongan Bapak Sekcam yang menunggu di sana. Pembicaraan diisi seputar administrasi desa, sesekali saya menanyakan kondisi SDN Kilon dan Madrasah Tsanawiyah di sana. Setelah selesai, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Desa Abat, desa terakhir salam petualangan saya kali ini.

Kondisi meti atau surutnya air laut memaksa saya berjalan di pantai yang airnya hangat. Air laut yang jernih membuat saya ingin berlama-lama mencemplungkan kaki di air dan enggan beranjak pergi. Namun, apa boleh dikata saya harus mengikuti rombongan. Saya mengunjungi rumah adiknya Bapak Wekam, di sana kami mengisi perut dengan hidangan petatas (ubi-ubian) rebus ditambah dengan ikan asin dan colo-colo (sambal) yang sungguh nikmat. Saya beserta rombongan diajak mengunjungi SMK Abat oleh Bapak Masela, Kepala SMK Abat. Ternyata guru-guru sudah dikumpulkan dari guru SD, SMP, dan SMK. Pertemuan tersebut menjadi ajang perkenalan antara Sekretaris Camat yang baru dengan guru-guru yang ada di Abat. Saya juga mendapat giliran untuk memperkenalkan diri dengan para guru yang ada di Abat. Perbincangan dilanjutkan dengan cerita dari setiap Kepala Sekolah tentang kondisi sekolahnya masing-masing pada Bapak Sekcam. Abat memiliki satu-satunya SMK di wilayah Wuar Labobar. Sekolah SMK Abat memfokuskan pengajarannya di bidang pertanian dan kelautan. Dua jurusan yang memang sangat dibutuhkan bagi masyarakat Wuar Labobar. Sayangnya masih terdapat kekurangan guru perikanan dan pertanian. Semoga masalah ketiadaan guru dapat segera ditemukan jalan keluarnya, karena memang hampir di setiap sekolah di Kecamatan Wuar Labobar mengalami hal serupa.

Saya juga bertemu dengan Ibu Masombe, Kepala Sekolah SDK Abat sekaligus guru angkatan pelopor. Sebelumnya, saya sempat bertemu beliau saat perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia di Wunlah. Saat itu, SDK Abat terpilih menjadi juara ketiga dalam Lomba Baris Berbaris tingkat kecamatan. Saya pun menjelaskan pada Ibu Masombe tentang kegiatan Temu Akbar yang lalu. Setelah selesai mengadakan pertemuan di SMK Abat, rombongan menuju rumah Kepala Desa. Saya pun beristirahat sejenak sembari menikmati teh dan kue yang dihidangkan tuan rumah. Ibu Masombe menemani saya dan bercerita banyak hal tentang kegiatannya di sekolah. Beliau juga bercerita dan mengajak saya untuk ikut menghadiri peringatan 100 tahun Injil masuk Desa Abat yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Sayangnya karena alasan transportasi, saya meminta maaf tidak dapat hadir pada acara tersebut.

Setelah berpamitan pulang, saya dan rombongan melihat anak-anak sedang berlatih menari adat untuk acara peringatan 100 tahun Injil masuk Desa Abat. Mereka membuat lingkaran besar dan bergoyang diiringi alunan tifa yang ditepuk oleh beberapa orang anak. Gerakan anak-anak maju mundur, ke kiri dan kanan, membuat ramai masyarakat yang menonton. Guru-guru melatih dengan semangat karena hari pelaksanaan acara semakin dekat. Sayangnya karena kami harus segera kembali ke Wunlah, saya tidak sempat melihat latihan tersebut sampai selesai. Lima belas menit kemudian, saya sudah sampai di Wunlah dan disambut dengan teriakan anak-anak yang memanggil nama saya. Saya pun membalas dengan senyuman dan lambaian tangan. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua