Ana
Ratna Galih Puspita Rahayu 17 Mei 2015Nama lengkapnya Riyana. Tapi cukup ia dipanggil Ana. Ia tidak sama seperti anak lainnya. Ia terlahir spesial. Tidak bisa mendengar ataupun berbicara sejak lahir. Tetapi bukan karena itu ia jadi spesial di mataku, justru karena ia tak pernah kehilangan senyum di bibirnya dan karena suara renyah tawanya selalu berhasil mencuri perhatianku.
Saat pertama kali datang kesini aku menjadi pusat perhatian anak-anak. Kemana pun aku pergi selalu ada anak-anak yang mengelilingi aku. Aku terlalu sibuk menerima perhatian-perhatian itu hingga aku tidak menyadari bahwa di tengah kehingar-bingaran itu ada Ana yang tidak pernah ikut bergabung bersama anak-anak lain yang merubungiku. Sesekali aku melihatnya, lalu merasa asing dengan wajahnya. Aku tidak bisa mengingat wajahnya, namun setiap kali mata kami bertemu ia akan tersenyum, lalu bersembunyi. Kembali ke balik pintu. Saat itu aku tidak begitu menggubrisnya, karena dengan segera anak-anak lain akan menarik perhatianku kembali. Dari anak-anak, aku tahu namanya Ana. Sesekali saat aku sedang tidak dikelilingi anak-anak dan aku melihat Ana, aku hampiri ia, tetapi ia akan berlari menjauh sambil tetap dengan senyum di wajahnya. Ah, segera anak itu menjadi misteri yang ingin aku pecahkan. Ia seperti bintang di angkasa yang nampak dekat, tapi nyatanya tak mampu aku jangkau. Ana membuat aku penasaran.
Ana masih duduk di kelas dua. Ia terpaksa harus belajar bersama dengan anak-anak lainnya. Tidak ada fasilitas untuk siswa inklusif. Tetapi aku tidak pernah menyadari kelebihan Ana bahkan hingga bulan ke enamku di sini. Ana bermain bersama anak-anak lainnya, ia berlari kesana-kemari, ia melompat, dan ia tertawa, tidak ada yang berbeda. Senyum dan tawa seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari Ana. Sekalipun aku tidak pernah melihat wajah manis itu luput dari senyuman.
Suatu ketika, aku sweeping kelas untuk memastikan semua anak sudah pergi kelanggar untuk sholat berjamaah. Aku melihat hanya ada seorang anak yang tetap diam di kelas. Sedang asik menggambar ia adalah Ana. Aku panggil namanya, ”Ana!”, ia tetap asik dengan pekerjaannya. Aku semakin mendekat, kuulang memanggil namanya, “Ana!”, ia tetap tidak bergeming. Hingga saat aku berdiri di depan mejanya, baru ia bersedia mengalihkan perhatiannya dari gambar yang sedang ia buat. Ia menatap aku dengan senyum di bibirnya. “Tak sembahyang?” Dia masih tersenyum sambil menatapku. Namun kali ini dia tidak berlari. “Kamu suka gambar?” Tanyaku. Tak berjawab. Ana kembali menekuni gambarnya. Yang bisa aku lakukan hanya duduk di sampingnya, padahal keberadaanku di sana pun hampir tidak dianggapnya. Namun entah apa yang membuatku tetap bertahan duduk disana. Memperhatikan dia. Lalu tiba-tiba seorang anak masuk, “Bu Guru, sedang apa?” Tanyanya lantang. “Nih, liatin yang asik gambar” Jawabku. “Ooh, Ana kan bisu Bu Guru. Tak tau bicara. Tak tau dengar.” Lanjutnya polos. Lalu seperti tersengat listrik, aku hanya bisa diam. Aku perhatikan kembali anak yang sedang asik menggambar itu. Sama sekali tidak nampak bahwa ia adalah anak berkebutuhan khusus. Ia balik menatap aku dengan senyumannya. Senyum tulus yang terpancar di matanya. Saat temannya mencoleknya untuk mengajak bermain, ia pun menyambut temannya tetap dengan senyum di wajahnya. Tetap dengan tawa renyahnya. Kembali aku melihat bukti keadilan Tuhan. Tuhan mungkin menciptakan Ana tanpa suara, untuk menjaga agar Ana tidak mengatakan hal-hal kotor, lalu Tuhan juga menciptakan Ana tanpa kemampuan untuk mendengar, agar Ana tidak perlu mendengar hal-hal buruk. Namun Tuhan ciptakan Ana dengan senyum yang tiada pernah habisnya. Dengan tawa yang menarik perhatian orang di sekitarnya. Demikianlah Tuhan menjaga Ana dan orang-orang disekitarnya tetap bahagia.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda