Maaf
Ratna Galih Puspita Rahayu 17 Mei 2015
Ibu Mila minta maaf kalau selama ini Mila hanya membuat Ibu marah dan kecewa. Ibu, Mila sungguh-sungguh minta maaf. Sebentar lagi Mila ujian. Mila ingin do’a dari Ibu biar Mila lulus dan nilai Mila bagus-bagus. Mila janji akan jadi yang terbaik.
Sudah hampir seminggu hujan turun dipulauku tanpa henti. Pun pagi itu. Membuat aku datang terlambat ke sekolah. Pukul 07.10 WIB saat aku tiba dan langsung membunyikan lonceng. Anak-anak yang sudah menunggu langsung berhamburan memasuki kelas. Kami tidak berbaris pagi itu.
Hari kemarin, aku tidak masuk sekolah karena ada kegiatan yang harus aku lakukan di kota kecamatan. Lalu saat memasuki kelas, anak-anak sedang asik dengan dunianya, iya anak-anak memang memiliki dunianya sendiri. Mereka sedang mengobrol seru tentang permainan bola tadi malam juga tentang rencana berburu burung nanti sore. Namun kelas sudah seperti kapal pecah. Meja dan kursi letaknya tak beraturan, papan tulis telah berpindah posisi, buku-buku di rak terbang mencari kebebasan, taplak meja tergeletak di lantai dan sampah berserakan di mana-mana.
“Hey, kita beresin kelasnya dulu yuk!” Ajakku. Aku tak mendapat jawaban, mereka tetap sibuk dengan aktifitasnya. Aku ulang ajakanku, “Ayo kita beresin kelasnya dulu yuk!” Tetap tak mendapat sambutan. Hingga untuk ketiga kalinya, aku mengeraskan suaraku, “Dengar tidak? Sekarang kalian beresin kelasnya. Ibu gak mau mengajar kalau kelasnya berantakan!” Kataku dengan nada tinggi. Mereka terkejut. Beberapa anak terlonjak dari kursinya. Dan semuanya dengan segera berlarian mencari sapu dan alat-alat kebersihan. Aku berdiri sambil melipat tangan di depan kelas, tak henti mengucapkan instruksi-instruksi pada anak-anak yang sedang kalang kabut karena bu gurunya marah.
Lepas setengah jam kelas kembali rapi. Dan aku menghabiskan setengah jam berikutnya menceramahi mereka tenatang betapa pentingnya kebersihan, tentang betapa mereka sangat tidak peduli bahkan pada lingkungannya sendiri dan tentang betapa mereka membuat aku kecewa. Sepanjang ceramah mereka duduk diam, tidak ada suara sedikitpun. Aku tanya pun tidak ada jawaban. Aku kesal, anak-anakku memang berkarakter beda dengan anak-anak teman-temanku. Anak-anakku ini amat introvert dan pemalu. Ini kadang membuat aku kesal sendiri. Karena sering kali saat aku berbicara aku tidak mendapat tanggapan yang aku harapkan dari mereka.
Sisa hari itu berlangsung dengan canggung. Masih terjadi perang dingin antara aku dan anak-anakku. Aku masih kesal dengan mereka karena mereka tidak menyadari kesalahannya dan mengabaikan saat aku berbicara dan mereka mungkin marah karena aku marahi. Di akhir pelajaran, aku berfikir, yang dewasa harusnya lebih berlapang dada, lebih bisa bersabar, akhirnya aku meminta maaf pada mereka walaupun saat itu aku merasa aku tidak sepenuhnya bersalah. Lagi-lagi tidak ada jawaban saat aku meminta maaf. Ya sudah, yang penting aku sudah meminta maaf pikirku. Egois? Iya aku egois dan sombong sebagai seorang yang mengaku dewasa.
Saat aku tiba di rumah, setelah selesai membersihkan diri dan makan siang, aku segera masuk kamar dan menyiapkan pelajaran untuk esok hari. Aku membuka tasku. Tahu apa yang aku dapati? Ada surat-surat disana. Ada banyak, sejumlah anak-anakku. Dilipat alakadarnya dan ditulis di kertas yang alakadarnya pula. Dengan beberapa butir manisan yang aku suka. Aku buka dan kubaca satu persatu surat-surat itu. Semuanya berisi permintaan maaf dan janji bahwa mereka tidak akan mengulangi lagi kesalahnnya dan harapan bahwa aku tidak marah lagi.
Lihat! Siapa yang dewasa disini? Aku merasa diriku dewasa karena meminta maaf duluan pada mereka. Padahal tanpa aku sadari, anak-anak itu justru sudah meminta maaf padaku bahkan sebelum aku berfikir untuk meminta maaf. Mungkin mereka anak-anak yang pemalu, terlalu pemalu untuk mengucapkan satu kata sakti saja, “maaf”. Lalu jika tulisan mereka sudah cukup mewakili, untuk apa lagi satu kata itu terucap? Toh yang ini terasa lebih tulus dan apa adanya. Pada akhirnya aku berharap mereka belajar bahwa dengan meminta maaf selalu membuat perasaan lebih baik. Hari itu juga aku belajar, bahwa dewasa bukanlah tentang banyaknya usia. Dan semoga aku bisa lebih merendahkan hatiku untuk tidak menganggap bahwa orang dewasa selalu benar. Yup, itulah anak-anakku dan keunikan mereka. Love you kiddos. :*
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda