Satu Pilar MBS Mulai Dibangun di Wadankou

R. Dhimas Utomo 18 Januari 2013

Awalnya, guru-guru sering mengeluh karena siswa yang suka lari pulang pada jam sekolah. Keluhan yang sama juga dilontarkan oleh orang tua murid. Hal ini kemudian menjadi salah satu topik pembicaraan dalam pertemuan dewan guru dengan orang tua murid di sekolah. Orang tua murid yang hampir seluruhnya adalah nelayan dan petani, setiap hari pergi melaut atau ke kebun seharian penuh, tidak jarang harus bermalam. Mereka juga resah karena tidak punya cukup banyak waktu untuk memantau perkembangan anaknya, terutama dalam hal pendidikan.

Akhirnya, semua pemangku kepentingan pendidikan di desa -dewan guru, komite sekolah, pemerintah desa, dan pihak gereja selaku pengurus yayasan- sepakat untuk duduk bersama memikirkan hal tersebut. Menciptakan suasana belajar yang persuasif di sekolah sehingga meningkatkan gairah belajar siswa dinilai mampu menjadi solusi jangka panjang. Kemudian, solusi yang bersifat "emergency, real time, dan feasible" untuk mengurangi prevalensi siswa lari pulang adalah pembuatan pagar sekolah. Sekolah kami memang belum punya pagar.

Pertemuan selanjutnya adalah pembahasan kebutuhan bahan dan persiapan teknis pembuatan pagar. Dari pihak pemerintah desa, bersedia menggerakkan masyarakat untuk menyiapkan material berupa kayu dan bambu. Setiap keluarga berkewajiban menyediakan minimal 10  bilah bambu dan 1 buah kayu tiang, masing-masing tingginya 1,5 meter. Sedangkan pihak sekolah, kebagian jatah paku dan cat. Selanjutnya, bapak Kaur Pembangunan Desa yang berprofesi sebagai tukang kayu di desa, ditunjuk sebagai pimpinan proyeknya.  

Dari pihak sekolah sendiri, sebenarnya juga menghadapi kendala keuangan karena harga cat dan paku ternyata tidak murah. Bendahara komite kemudian melihat kondisi kas komite. Ternyata, jumlah siswa yang belum membayar uang komite dari bulan-bulan sebelumnya cukup banyak. Lalu, komite beserta bendahara mengadakan kunjungan ke rumah orang tua murid, menjelaskan bahwa uang komite ini penting untuk mendukung kemajuan sekolah. Hasil kunjungan menunjukkan bahwa sebenarnya orang tua murid bukannya tidak mampu membayar, tapi seringkali lupa bayar. Dari sini pihak sekolah justru mendapat masukan yang berharga untuk mengembangkan sistem pembayaran yang rapi dan terkontrol. Dulu, uang komite ini besarnya Rp 2.500,00/bulan, tetapi justru dari hasil pertemuan dengan orang tua murid, mereka menghendaki nilainya dinaikkan menjadi Rp 5.000,00/bulan untuk mencukupi kebutuhan sekolah yang tidak ter-cover dana BOS. Ada juga, orang tua murid yang karena tidak memiliki uang cash, memilih membayar uang komite dengan ikan dan tikar pandan laut. Kami gembira melihat masyarakat mulai menempatkan pendidikan sebagai prioritas pertama dalam keluarga.    

Singkat cerita, awal November semuanya telah siap; kayu, bambu, paku, cat, dan tentunya tenaga masyarakat yang akan mengerjakan pagar tersebut. Kini, sekolah kami telah memiliki pagar dan akan segera memiliki pintu gerbang. 

Sebenarnya yang ingin kami ceritakan bukanlah soal pagar. Yang sebenarnya dilakukan guru-guru dan masyarakat Wadankou adalah apa yang disahkan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri, presiden RI waktu itu, pada tanggal 8 Juli 2003, yaitu UU Sisdiknas. Salah satu pasalnya berbunyi seperti ini; "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah." Sedangkan menurut PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dikatakan bahwa "Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas." Jadi, memang idealnya sekolah dikelola dengan prinsip MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang ditopang tiga pilar utama; 1). Pengelolaan sekolah yang transparan dan akuntabel, 2). Kegiatan belajar mengajar yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan, 3). Peran serta masyarakat.

Kami mengamati, pilar yang ketiga ini, meskipun belum terlalu kokoh, sudah mulai terbangun di Wadankou. Selain masalah pagar, dalam beberapa kesempatan lain seluruh pemangku kepentingan di desa juga hadir ketika dilakukan penyusunan rencana kerja jangka menengah (RKJM) di sekolah. Contoh lain lagi misalnya, warga masyarakat sekarang tidak canggung untuk mengritik penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang dirasa kurang optimal, atau performa guru yang kurang memuaskan. Hal tersebut merupakan indikator positif bahwa masyarakat sudah mulai peduli dengan pendidikan di desanya. Mereka mulai percaya bahwa pendidikan yang "slow but powerful" itu mampu menghantarkan anak-anak mereka menuju masa depan yang penuh harapan. 

Dari pengalaman tersebut, kami telah belajar dan akan terus belajar, bahwa tidak ada yang terlalu sulit jika dikerjakan bersama-sama. :D

Wadankou, November 2012

-USD-


Cerita Lainnya

Lihat Semua