Selamat Jalan, Bapak

Savira Mega Putri 18 Januari 2013

10 Januari 2013

Masih tergambar dengan jelas senyumnya yang merekah, meski untuk menarik ujung bibirnya itu ia membutuhkan banyak tenaga. Bapak Kepala Sekolahku sedang terbaring lemah tak berdaya. Sudah beberapa hari tak bisa makan, tak bisa minum obat, dan bahkan jarum infus sudah tak sanggup menemukan urat nadinya. Lengkap sudah. Tak ada supplai sumber energi apapun yang masuk. Hanya tinggal tulang dan kulit yang membungkusnya. Kurus sekali. Jauh berbeda saat terakhir aku temui beliau waktu masih dirawat di Ambon, sebelum cuti. Saat itu bahkan beliau sudah bisa berjalan di luar ruang rawat, tak lagi berbaring di kasur rumah sakit. Dan saat itu aku bisa bernafas lega. Ada harapan untuk kesembuhan beliau sebelum aku pulang ke Jawa 2 minggu ke depan. Namun kenyataan di depan mata sungguh tak bisa terelakkan lagi. Seolah sudah tak ada harapan lagi untuk beliau. Bahkan untuk membuka mata saja hampir-hampir tak sanggup.

Aku menjenguk beliau bersama mas Ade waktu itu, (mantan) trustee MTB yang sedang supervisi ke desa. Dan yang membuat kita merasa haru adalah, ketika salah satu keluarga beliau membisikkan, “Ada tamu dari Indonesia Mengajar, sama Ibu Vira juga disini,” bapak langsung berusaha membuka mata. Berusaha untuk mengucapkan kata-kata, namun sayangnya tak ada satupun dari kita mengerti apa yang diucapkan, termasuk keluarganya. Setidaknya satu yang tak terlihat jelas. Senyum beliau saat mendengar “Indonesia Mengajar”. Kemudian kupegang tangan beliau yang panas, dan terbuka lagi mata beliau. “Vira sudah kawin?” tanya beliau pelan, hampir kalah oleh suara angin. Pikiranku langsung menangkap, ‘Oh, mungkin maksudnya mbak Ratih, PM 2 yang aku gantikan. Karena waktu di Ambon itu aku pernah menyampaikan rencana pernikahan mbak Ratih.’ Ku jawab, “Insya Allah akan Bapak, 2 minggu lagi.” Tersenyum lagi, dan terpejam lagi. Sungguh terenyuh aku melihatnya. Di antara sadar dan tidak, beliau masih ingat anak piaranya itu.

14 Januari 2013

Di tengah makan siang bersama Mb Uun dan Prita, ada sms masuk. Dari Hanan. “Vir, kepala sekolahmu meninggal.” Sontak membuatku kaget. “Tau dari manaaaa??” balasku, tak sabar. “Dari Ibu Kabid.” ‘Well, i’m going home.’ Sehabis makan langsung aku meluncur ke pelabuhan setelah sebelumnya berpamitan dengan teman-teman yang sedang urus OSK di Dinas Pendidikan. Selama perjalanan pulang, di atas motor laut, bayanganku tentang Bapak Kepala Sekolah langsung bermunculan. Mulai dari awal pertemuan saat beliau menjemput di pelabuhan, jalan-jalan sedikit keliling desa, percakapan-percakapan yang membahas tentang perkembangan sekolah selama beliau tinggal karena sakit, dukungan penuh saat aku melontarkan ide untuk acara Sumpah Pemuda, perhatian untuk siswa yang mengikuti lomba-lomba, dan berbagai kenangan lain. Satu mimpi beliau yang belum terwujud: membuat perpustakaan sekolah. “Ruangan yang baru itu akan Bapak jadikan kantor baru, Nona. Terus kantor lama bisa kita jadikan perpustakaan. Bapak sudah beli kayu tripleks untuk rak. Nanti buku-buku yang dititipka di SDN 1 langsung kita ambil, ditambah buku-buku baru yang Nona bawa itu, kita susun di perpustakaan,” penjelasan beliau suatu kali setelah aku mengambil buku bantuan dari Telkom. Mimpi itu harus segera terwujud, tekadku.

15 Januari 2013

Upacara pemakaman Bapak Kepala Sekolah akan dilangsungkan hari ini. Menurut adat dan kebiasaan orang Adaut, upacara pemakaman dilaksanakan di rumah untuk melepaskan jenazah oleh pihak keluarga. Beliau meninggalkan 4 orang anak yang sekarang telah menjadi yatm piatu setelah mama mereka juga telah meninggal 4 bulan lalu. Setelah itu dibawa ke sekolah untuk pelepasan dari pihak sekolah. Baru setelah selesai upacara pemakaman jenazah dikebumikan dengan diiringi Majelis Jema’at, Ketua dan Staf PGRI, UPTD, Kepala Sekolah dan guru-gur SD lain, serta seluruh lapisan masyarakat yang ingin menyaksikan prosesi pemakaman.

Air mata sungguh tak mampu dibendung lagi saat anak-anak memberi hormat ke peti jenazah, diiringi tangisan para guru dan siswa. Diiringi paduan suara siswa menyanyikan “Hymne Guru”, kembali semua memori, kenangan, dan perjuangan Bapak selama menjabat sebagai Kepala Sekolah. Terucap janji dari para guru untuk meneruskan perjuangan di SD Inpres 2 Adaut ini tanpa kenal henti. The show must go on!

Selamat jalan, Bapak. Semua jasamu kan kami kenang selalu. Walau engkau tak lagi dapat membersamai kami, tekad dan perjuangan kan tetap terpatri di hati.


Cerita Lainnya

Lihat Semua