Kelas Jauh... ternyata lebih jauh dari apa yang kupikirkan...

Ahmad Reza Fakhruroji 21 Januari 2013

"Ahmad Reza Fakhruroji ditempatkan di Muara Enim, Desa Pagar Dewa, Dusun Satu R, SDN 30 Lubai (KELAS JAUH) ....."

Itulah pertama kalinya aku mendengar SD penempatanku, sama sekali aku belum pernah mendengar daerahnya baik kelurahannya ataupun kecamatannya, kutanyakan pada Mbah Google pun tidak ada artikel atau tautan yang menjelaskan atau menceritakan  tentang daerah yang bernama LUBAI ini secara rinci. Namun, itu tak menjadi soal buatku toh buat kami para Pengajar Muda kami siap ditempatkan dimana saja, yang menarik perhatian ku adalah kata-kata “KELAS JAUH” yang menempel pada pada nama sekolahku itu... Setelah kuusut dan kutanyakan sana sini, kelas jauh disini artinya SD ini belum bisa berdiri sendiri karena jumlah muridnya belum mencukupi untuk menjadi SD Mandiri sehingga harus menginduk pada SD lain yang jumlah muridnya sudah mencukupi syarat pendirian SD. Tiba-tiba aku teringat pada SD Muhammadiah Gantong dalam film Laskar Pelangi dimana muridnya hanya 10 orang sehingga saat ujian harus ikut di SD lain. Pikirku mungkin seperti itulah SD ku itu nanti, akan kubuktikan sendiri kebenarannya disana.

“Perjalanan ke dusun sungguh menyenangkan.....”

Siang itu hari Sabtu 16 Juni 2012 aku menginjakkan kaki kembali Bumi Sriwijaya bersama ke tujuh rekanku yang lain, para Pengajar Muda Sumatera Selatan. Sungguh aku tak menyangka akan kembali ke tanah ini, bukan untuk kunjungan kerja atau liburan untuk beberapa hari saja tapi sekarang untuk menetap selama setahun ke depan. Sehari saja kami di Palembang ibukota Sumsel, esoknya kami langsung berpencar menuju ke desa masing-masing aku bersama tiga orang rekanku dalam satu mobil. Perjalanan ke Lubai, Muara Enim memakan waktu sekitar 4 jam dengan mobil rental, jika memakai angkutan umum memakan waktu sekitar 5-6 jam namun ini baru sampai simpang 4 jalan aspal saja, ingat hanya sampai simpang 4 jalan aspal. Sepanjang perjalanan pemandangan yang tersaji hanya perkampungan-hutan-kebun karet-kebun sawit. Tapi aku tak tidur sedikit pun, aku terlalu curious & excited melihat lingkungan yang akan kutinggali setahun kedepan.

Gedubrak, gedubrak... mobil pun mulai bergoyang, bukan karena gempa namun karena sudah masuk ke jalan berbatu. Yap... inilah permulaan jalan tanah berbatu menuju ke dusunku, pemandangan yang tersaji masih sama seperti tadi hanya saja dikurangi perkampungan. Hamparan hijau di sisi kanan dan kiri dan garis coklat ditengah, bau tak sedap pun mulai tercium ketika kubuka kaca jendela mobilku. Inilah bau getah karet yang cukup busuk dan awalnya sangat mengganggu hidungku. Jarak dari simpang 4 jalan aspal hingga dusun sekitar 12 KM waktu tempu tercepat 40 menit dengan mobil atau 20 menit jika menggunakan motor dalam keadaan jalan kering dan cuaca mendukung, siap terima debu yang beterbangan saja dan paling lama bisa sampai 2 jam apa bila jalan JAHAT (istilah jelek atau hancur disini) itupun dengan resiko bermandi lumpur apabila keadaan sedang hujan atau jalan berlumpur habis hujan.

Dan tak disangka hujan pun turun ketika mobil kami berada di tengah hutan...... Pak Supir masih berusaha menjalankan mobilnya mengikuti jalan. Namun, apa daya jalan lumpur sangat licin sehingga mobil pun berseluncur diatas tanah. Semakin mobil berusaha untuk keluar dari lumpur semakin terjerembab ke dalam lumpur dan akhirnya mobil kami pun tersungkur di parit tanah yang ada di tepi jalan lumpur. Kepater (istilah sini untuk mobil yang tak bisa bergerak karena lumpur) di tengah hutan dan tidak tahu meminta bantuan siapa ditambah tak ada sinyal HP sebatang pun, lengkaplah sudah penderitaan kami saat itu. Ditengah hujan rintik-rintik dan langit sore yang mulai gelap pak supir pun keluar melihat ban mobil yang terselip, akupun keluar membantunya. Ban mobil tak bisa mencengkram tanah karena pijakannya lumpur semua. Kami pun mencari batu-besar dan batang kayu untuk pijakan dengan bertelanjang kaki karna sepatu kami telah ditelan lumpur. Beberapa kali kucoba mendorong mobil namun usaha kami tidak berhasil dan hanya cipratan lumpur yang kudapat. Di tengah kecapaian dan keputus-asaan ternyata beruntung ada warga yang lewat naik motor, dia pun mencoba membantu kami. Ternyata tetap masih kurang tenaga, beliau memanggil warga lain di dusun untuk datang membantu. Untunglah rasa kekeluargaan dan gotong royong  disini masih sangat dijunjung. Dengan bantuan beberapa warga lagi akhirnya mobil bisa keluar dari parit. Langit sudah gelap ketika mobil bisa jalan kembali, aku berjalan bersama warga di belakang mobil. Beberapa warga mengiringi mobil dengan motor dan siap mendorong ketika mobil mulai terjerembab lagi. Setelah sekitar 2 km berjalan akhirnya aku sampai di dusunku, dusun Satu R. Sungguh sambutan yang sempurna untuk petualanganku setahun ke depan.

“Bangunan gedung sekolah dari kayu dan papan.....”

Hmmmmmm......., hanya ini yang terucap olehku ketika melihat SD ku, tempatku mengajar, Kelas Jauh ku. Bangunan semi permanen yang ada diujung dusun dengan ukuran sekitar 6 m x 11 m untuk 6 ruang kelas mungil untuk 13-20 siswa per kelasnya dan satu ruang gudang yang sebagian penuh dengan kursi dan bangku yang sudah rusak berantakan. Bangunannya terbuat dari dari susunan balok kayu dan papan keropos yang sudah dimakan usia dengan cat warna kuning pucat dan beralaskan lantai semen yang sudah pecah sana-sini serta bertabur debu kecoklatan. Beratapkan seng besi berkarat tapi untunglah atap kelas sudah dilapisi plafon kayu yang bergelombang, sehingga kelas tidak terasa panas ketika cuaca begitu terik. Berpintukan rangka kayu dilapisi tripleks yang sudah berlubang dengan engsel pintu yang berdecit ketika pintu dibuka atau ditutup. Tak ada knop pembuka pintu, hanya kaitan kunci gembok yang dipaku seadanya. Berjendela kawat ram yang sebagian berkarat dan penuh debu. Jika kalian lihat langsung mungkin akan muncul pertanyaan “Memang ada yang mau bersekolah disini??” dan pasti akan langsung kujawab dengan lantang “Anak-anak senang bersekolah disini dan aku bangga bisa mengajar disini.”

“Suasana sekolah yang penuh Tawa, Tangis, Ejekan dan Aduan....”

Pertama kali aku aku mengajar di kelas, aku mencium bau tak sedap. Awalnya tak kuhiraukan namun lama kelamaan bau itu makin menyengat. Akhirnya akupun berkata pada kelas “kalo yang mau buang angin izin keluar dulu yaa....”, anak-anak pun seketika langsung saling tuding menuding namun semuanya mengelak dan mereka berkata “ngate yang buang angin pak, bapak kali??”. “idak ay, lah trus ini bau apo?” sautku, beberapa menjawab serentak “Compo Paak...”, “Oooohhhh..., Bapak kira ada yang mising di celana” timpal ku lagi, “Hahahahahahaha” dan seketika kami pun tertawa bersama. Yah begitulah, SD ku ini bersebelahan dengan gudang pengumpul karet. Compo adalah getah karet beku yang biasanya dikumpulkan dan dicetak hingga menjadi kubus berukuran setengah meter barulah dijual. Asal tau saja getah karet dipohon pun kadang bau tak sedapnya tercium ketika kita lewat hutan karet, apalagi ini getahnya sengaja banyak dikumpulkan pastilah baunya pun terakumulasi juga. Sebenarnya letak gudang ini cukup jauh dari SD ku namun saluran pembuangannya masuk ke selokan besar di dekat sekolah, sehingga apabila air cucian compo lewat maka seketika akan tercium wangi tak sedap di hidung. Apalagi aktifiitas pengumpulan dilakukan dua kali seminggu dan pas pula ketika pagi saat jam sekolah oleh karenanya hidungku harus mulai di kalibrasi ulang.

“Paaakkkk, Hera nangis diejek Jaya!!!” Teriak gerombolan anak di depan ruang guru. Hampir setiap hari ada saja murid-murid yang mengadu ke ruang guru jika ada yang nangis, luka atau berkelahi. Untuk beberapa kasus cukup kujawab “sudah maafan sana kata pa guru” dan merekapun pergi dan keadaan damai seperti sediakala. Namun kadang kala tangisan tak kunjung usai dan malah semakin kencang, ini artinya aku harus segera menuju sumber suara. Aku memang tak berniat memarahi mereka hanya ingin mengajarkan mereka untuk bermaafan, namun lucunya adalah biasanya mereka takut duluan dan malah anak yang mengejek malah ikut-ikutan nangis karena takut dimarahi juga. Melihat kejadian ini akupun tertawa dan tak jarang merekapun ikut tertawa bahkan yang tadinya menangispun ikut tertawa, sungguh anak-anak polos.

“Semangat anak-anak pedalaman hutan karet....”

Teng, teng, teng, bel sekolah di SD ku ini baru dibunyikan pukul 8 pagi.... siang betul ya??? Pada awalnya akupun bertanya-tanya kenapa begitu siang?, apakah tidak bisa lebih pagi?, apakah anak-anak akan ketinggalan pelajaran karena waktu belajar yang terpotong? Itulah pikiran awalku yang masih sangat idealis. Namun setelah kuperhatikan memang sangat tidak memungkinkan untuk memulai kelas lebih pagi dikarenakan banyak alasan diantaranya adalah menunggu anak yang rumahnya di dusun tetangga yang jaraknya cukup jauh ke sekolah, menunggu anak murid yang rumahnya di dalam kebon (hutan yang lebih dalam lagi), dan menunggu bapak-bapak mengantar mereka setelah menderes getah karet yang biasanya baru beres jam setengah delapan pagi (mulai deresnya pagi buta loh, takjub mereka kuat menjalaninya tiap hari). Jadi ya harap maklum saja kalau aku belum bisa membetulkan aturan ini karena “its not about me, its about them” bukan kita guru yang harus selalu memaksakan kehendak tapi juga harus memaklumi keadaan anak murid. Mungkin kalau di kota itu hal yang tak bisa ditolerir, namun disini adanya semangat mereka untuk selalu pergi sekolah adalah hal yang luar biasa jangan sampai semangat itu padam karna hanya aturan saja...

Tapi jangan salah walaupun mungkin jam pelajaran di SD ku ini masih kurang, namun guru-guru disini pandai mengatur waktu pelajaran sehingga semua materi bisa tersampaikan dengan baik. Banyak yang meremehkan SD ku ini, sehingga kadang beberapa orang tua calon siswa tak jadi mendaftarkan anaknya disini karena melihat bangunan SD ku. Tapi buktinya adalah lulusan SD ini pintargale’, sebagian besar lulusan SD ku ini bisa masuk rangking kelas di SMP nya. Ini membuktikan bahwa infrastruktur atau bangunan tidak berbanding lurus dengan pengajaran dan kecerdasan siswa.

 

Itulah perkenalan pertama dengan Kelas Jauhku yang ternyata keadaannya lebih jauh dari apa yang kubayangkan sebelumnya, namun aku senang karena ditengah segala keterbatasan ini anak-anak nyaman, senang dan selalu semangat untuk bersekolah.

 

5 Juli 2012,

di dusun yang sunyi sambil menunggu listrik padam.......


Cerita Lainnya

Lihat Semua