info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kinasih - Tanimbar

R. Dhimas Utomo 10 Juli 2012

Perjalanan ini berawal dari Wisma Kinasih, Sukabumi, ketika Kamp Nasional Alumni berlangsung, kira-kira akhir Oktober 2011. Waktu itu aku masih berstatus sebagai karyawan swasta di Jakarta. Dalam kamp tersebut, dibahas berbagai persoalan bangsa. Aku memutuskan untuk bergabung di kapita selekta bidang pendidikan. Di situ, akar persoalan pendidikan di bangsa ini dibahas dengan cermat dan tajam. Forum itu terasa aneh bagiku, karena hanya aku satu-satunya peserta dengan latar belakang industri, sedangkan yang lain berlatar belakang pendidikan, seperti guru, calon dosen, maupun dosen. Aku masih ingat betul, adalah Ibu Weilin Han sebagai salah satu narasumber dalam forum itu, yang tanpa kuduga kemudian bertemu dengannya di pelatihan calon pengajar muda angkatan IV. Aku juga masih ingat betul, nama ruangan yang dipakai adalah Tanimbar, dan waktu itu aku tidak tahu apakah gerangan Tanimbar itu. Aku menduga itu nama pohon. Pohon/kayu Tanimbar, terdengar pas di telinga

Sepulang dari kamp tersebut, aku berpikir tentang langkah nyata apa yang bisa kukerjakan terkait pendidikan. Bulan November, aku iseng membuka laman Indonesia Mengajar. Kali ini benar-benar iseng. Ternyata, Indonesia Mengajar sedang membuka pendaftaran untuk calon pengajar muda angkatan IV. Lalu aku membuat akun dan mendapat nomor registrasi IV-01689. Yang aku lakukan waktu itu baru sebatas membuat akun saja karena mengisi formulir pendaftaran dan menulis esai cukup menyita waktu di tengah-tengah kesibukan bekerja. Selain itu, aku juga masih mencari info lebih dalam tentang Indonesia Mengajar dengan cara berdiskusi dengan Bagus melalui telepon ketika ia berada di kota. Bagus, teman kuliahku, sudah lebih dulu mengabdi sebagai pengajar muda di Maluku Tenggara Barat. Aku mendapat gambaran yang gamblang tentang Indonesia Mengajar, dan bukan hanya itu saja, tetapi juga gambaran tentang tugas pengajar muda secara aktual di daerah penempatan, khususnya di Maluku Tenggara Barat. 

Awal Desember aku ditugaskan oleh perusahaan untuk berkunjung ke pabrik selama kurang lebih dua minggu di daerah Tulang Bawang, Lampung. Di sela-sela waktu bekerja, aku menulis esaiku untuk Indonesia Mengajar. Namun naas, laptopku basah kuyup kehujanan. Aku sempat putus asa. Tapi ada sebuah tulisan di dinding salah satu ruangan di pabrik yang begini bunyinya; "Dari pada bersibuk mengutuk kegelapan, mending langsung saja nyalakan dirimu dan jadilah penerang."  Aku bangkit lagi dan mulai menulis esai dari awal, dengan tulisan tangan tentunya karena laptoku rusak.  Waktu itu aku gelisah karena belum ada kepastian kapan akan pulang ke Jakarta. Hal ini terkait tugas kantor yang belum selesai dan kendala transportasi dari Tulang Bawang ke Bandar Lampung lalu ke Jakarta. Batas akhir pendaftaran Indonesia Mengajar adalah 17 Desember. Jika aku gagal tiba di Jakarta sebelum tanggal itu, artinya aku gagal mendaftar program tersebut, karena pengisian formulir dan esai dilakukan secara online, sementara akses internet di Tulang Bawang sangat sulit waktu itu. Aku sedikit lega, tanggal 15 malam aku tiba di Jakarta, lalu bergegas mengisi formulir pendaftaran dan melanjutkan menulis esai, tanggal 16 aplikasi terkirim. Done!

Aku lolos seleksi tahap I. Kabar buruknya adalah aku dijadwalkan untuk mengikuti direct assesment hari Kamis tanggal 9 Februari. Itu adalah hari kerja dan karena belum genap satu tahun bekerja maka aku belum bisa ambil cuti. Karena itu, aku minta jadwal direct assesment dipindah ke hari Sabtu tanggal 29 Januari. Dan ternyata benar, selain belum bisa cuti, tidak lama kemudian aku mendapat info bahwa tanggal 7-16 Februari ada tugas kunjungan ke pabrik kembali di Tulang Bawang.

Tanggal 6 Februari, malam hari sekitar pukul delapan, aku mendapat email pemberitahuan bahwasanya aku lolos tahap direct assesment, untuk kemudian mengikuti medical check up (MCU).  Waktu itu aku masih di kantor. Aku sangat gembira membaca email itu. Aku tidak dapat membayangkan seandainya aku tidak membaca email malam itu, dan besok paginya aku sudah berangkat ke Tulang Bawang yang sangat sulit akses internetnya. Segera aku membalas email pemberitahuan tersebut untuk menunda jadwal MCU menjadi tanggal 18 Februari ketika aku sudah kembali ke Jakarta.

Ada sebuah kisah menarik di sini. Kira-kira tanggal 14 Februari, aku mendapat kabar dari Jakarta bahwa mulai akhir Maret aku akan terlibat dalam proyek yang cukup panjang, dan aku harus memberi jawaban dalam waktu dekat. Waktu itu aku bingung bukan kepalang. Pilihannya hanya dua. Pertama, bergabung dengan proyek yang menjanjikan karir tetapi mundur dari tahap seleksi IM. Kedua, mengajukan pengunduran diri saat itu juga dan bergabung dengan Indonesia Mengajar, yang sebenarnya belum pasti diterima karena belum melalui tahap MCU. Banyak orang bilang MCU hanyalah formalitas belaka, tapi bagiku tidak, karena aku pernah mengidap penyakit bronkitis, dan terbukti beberapa calon pengajar muda juga tidak lolos karena kendala di MCU. Malam itu aku berdoa, mohon petunjuk Yang Kuasa.  Pagi harinya, dengan mantap aku memutuskan untuk menghubungi atasanku di Jakarta melalui telepon, dan menyampaikan permohonan maaf bahwa aku tidak dapat bergabung dalam proyek tersebut, sekaligus menyampaikan pengunduran diriku dari perusahaan. Lalu tanggal 18 Februari aku mengikuti MCU di Jakarta, dan tanggal 24 menandatangani kontrak di Jl. Galuh II no. 4, itupun aku lakukan di sela-sela jam kerja yang kebetulan tidak terlalu jauh dari kantor tempatku bekerja.

Tanggal 23 April menjadi penanda dimulainya pelatihan calon pengajar muda angkatan IV. Minggu ke-4 pelatihan adalah saat yang cukup menguras emosi bagi semua calon pengajar muda, yaitu ketika lokasi penugasan diumumkan. Aku di tempatkan di Maluku Tenggara Barat, bersama dengan Prita, Hanan, Uun, Billy, Sandra, dan Savira. Waktu itu aku tidak melihat sendiri namaku ada tertulis di daftar MTB karena kerumunan manusia yang sangat padat tidak sabar melihat lokasi penugasan. Aku memilih menunggu di luar. Sandra yang justru kemudian berteriak memanggil namaku dan mengatakan bahwa kami satu penempatan. Suasana haru sore itu ditutup dengan lagu Bagimu Negeri yang dikumandangkan oleh seluruh pengajar muda, diiringi irama rintik air hujan.

Tidak lama berselang, aku masuk ke barak dan melihat atlas untuk memastikan dimanakah Kabupaten Maluku Tenggara Barat terletak. Aku dapati bahwa Maluku Tenggara Barat merupakan gugusan kepulauan di ujung tenggara nusantara, berbatasan langsung dengan wilayah teritorial Australia di laut Arafura. Aku terdiam sejenak, dan berpikir, tapi bukan karena letak geografisnya yang cukup menantang. Nama dari gugusan kepulauan itulah yang justru kemudian membuatku tercengang. Di peta ada tertulis; "Kepulauan Tanimbar". Secepat kilat ingatanku melayang kembali ke ruang Tanimbar, ruangan di mana Kamp Nasional Alumni tahun lalu berlangsung, tempat di mana aku dihadapkan dengan peliknya persoalan pendidikan di Indonesia untuk pertama kalinya.

Lalu aku bersyukur, terpesona melihat bagaimana Tuhan telah mempersiapkan semuanya itu, bahkan mengatur sedemikian rinci rute perjalananku menuju Indonesia Mengajar. Janji Tuhan itulah yang membawaku kepada Indonesia Mengajar, dan janji itu juga yang menjadi dasar yang kokoh bagiku selama mengikuti rangkaian pelatihan, sehingga aku melangkah pasti penuh sukacita. Dan lebih lagi, itu semua memberikan damai sejahtera yang melampaui segala akal ketika aku menjalani tugas di Tanimbar, bahkan ketika aku dan Billy sudah hampir tenggelam ditelan gulungan ombak dalam perjalanan dari Molu Maru ke Pulau Larat. `

Karena ku yakin yang kupercaya. Di tengah gelombang dan badai sekalipun, Tuhan ada. Aku tidak takut bahaya, sebab Tuhan besertaku. Itulah jaminanku, seumur hidupku.

Akhirnya, aku menemukan benang merah dari Kinasih hingga Tanimbar.

 

Saumlaki, 10/7/12

-USD-


Cerita Lainnya

Lihat Semua