info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

"Dou Mbojo Taho-Taho"

Metias Kurnia Dita 10 Juli 2012

“Selamat datang di Bima, tanah air Indonesia”, itulah kata sambutan Bapak wakil Bupati Bima saat menerima kedatangan kami di bandara Sultan Shalahuddin, Bima. Seketika itu rasa haru memenuhi ruang hatiku. Ya, inilah tanah Bima, Dana Mbojo, tanah tempat aku setahun ke depan mengajar sekaligus belajar tentang banyak hal.

Tiba-tiba aku teringat dengan kekhawatiranku beberapa hari sebelum aku berangkat ke Bima. Akhir-akhir ini aku mendengar pemberitaan di media nasional yang cenderung bernada negatif tentang Bima seperti kerusuhan, bentrokan massa, perseteruan antar kampung, demonstrasi dan lain-lain. Aku semakin khawatir karena kecamatan penempatanku terkenal sebagai salah satu titik kerusuhan.

            Pemberitaan yang cenderung negatif itu secara tidak langsung membentuk opini publik bahwa orang Bima itu keras, sulit diatur dan tidak cinta damai. Apakah opini itu benar? Sampai pertama kali hidungku menghirup udara Bima, pandangan itu masih bercokol di kepalaku. Akan tetapi, aku berusaha menepis pandangan itu. Tidak lain hanya untuk menguatkan tekadku, tetapi juga untuk mengumpulkan keberanian dan menepis semua kekhawatiran.

            Hari ini, seminggu sudah aku minum air Bima, makan dari hasil bumi tanah Bima, dan mendengar semua orang bercakap dengan Bahasa Bima. Seminggu ini pula aku mendapat kejutan-kejutan luar biasa dari masyarakat Bima, terlebih dari keluarga angkatku dan guru-guru di sekolah tempat aku mengajar. Satu hal yang paling tidak aku lupakan adalah ketika hari ke-4 aku tinggal bersama keluarga angkatku. Saat itu Kak Mutia, Pengajar Muda yang aku gantikan masih bersamaku di desa penempatan untuk transisi program. Malam itu kak Mutia datang ke rumah keluarga angkatku (keluarga angkat kak Mutia berbeda dengan keluarga angkatku). Saat itu kami akan pergi ke rumah Abdullah, seorang siswa cerdas yang mendapat beasiswa SMART EKSELESIA Dompet Dhuafa untuk disekolahkan SMP-SMA di Bogor. Kami pergi dengan mengendarai motor karena letak rumah Abdullah berada di desa yang berbeda dengan kami.

            Di rumah Abdullah kami mencoba memberi semangat padanya karena dia masih takut harus berpisah dengan Ibu dan saudara-saudaranya. Saat kami datang, Dula, begita ia dipanggil, menangis. Oleh karena itu, butuh waktu yang cukup lama dan cara yang bermacam-macam untuk membuatnya tersenyum dan berani untuk bersekolah di Bogor.

            Kami terus memotivasi Dula. Tak terasa waktu pun terus berjalan. Kami tidak tahu jam berapa saat itu karena kami sedang tidak membawa HP (biasanya kami melihat jam dari HP) dan di rumah Dula yang sangat sederhana itu tidak ada satu pun jam dinding. Setelah Dula mulai mau tersenyum terlihat bersemangat, kami segera pamit dan menuruni tangga  rumah panggung keluarga Dula. Jalan desa yang sempit itu tampak gelap dan sepi, tanda kampung sudah tidur.  Setelah keluar dari jalanan sempit, kami melewati sebuah jalan beraspal yang cukup lebar. Jalan itu pun juga sudah sepi. Tiba-tiba, kami didahului oleh sebuah motor yang dikendarai oleh 2 orang. Si penegendara lalu memanggil-manggil kami. Kami cukup kaget karena tidak mengenali suara itu. Siapa mereka?

            Ternyata, oh ternyata, mereka adalah Ibu angkatku yang dibonceng oleh Kokoh, temanku sesama PM yang ditempatkan sekecamatan denganku. Aku dan kak mutia munguntil di depan motor mereka. Dari mana mereka? Apakah mereka sedang mencari kami?

            Sesampai di rumah, Kokoh menjelaskan bahwa kerena khawatir, ibu memintanya untuk menyusul kami ke rumah Dula. Padahal, baik ibu maupun Kokoh tidak tau persisnya letak rumah Dula. Maka, mereka pun mencari kami di sekitar Desa Rupe, desa Dula. Ya Allah, aku menjadi merasa sangat bersalah. “Sudah, tidak apa-apa. Ayo sekarang makan dulu”, seru ibu sambil menaiki tangga rumah kami. Aku dan kak Mutia saling berpandangan. Kami pun bergegas naik dan masuk. Saat itulah kami tahu jam sudah menunjukkan pukul 22.30 dan makanan masih utuh terhidang di atas tikar.

            Jadi, ternyata sekeluarga tidak akan makan sebelum kami datang. Aku semakin merasa sangat bersalah di satu sisi. Tapi disisi lain, aku menangkap sebuah nilai yang luar biasa dari keluarga Bima ini. Inilah potret keluarga Bima yang sesungguhnya! Mereka sangat-sangat-sangat baik! Dou Mbojo Taho-Taho (Orang Bima Baik-baik)

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua