info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Catatan Perjalanan Siswa no. 58

R. Dhimas Utomo 10 Juli 2012

Cukup mengejutkan, rencana keberangkatan dimajukan satu hari demi mengejar Sabuk Nusantara. Premature deployment! Upacara pelepasan pun dimajukan dan dilakukan secara sederhana, tetapi tetap penuh makna. Sekitar pukul 21.00 upacara selesai, sementara pukul 01.30 dini hari aku harus meninggalkan Handayani menuju Soekarno-Hatta. “Empat setengah jam lagi aku tidak akan melihat sahabat-sahabat tercinta pengajar muda”, pikirku. Penuh dilema, inginku menghabiskan sisa waktu yang ada bersama sahabat-sahabat tercinta, hanya untuk bercengkerama hangat. Tapi situasinya berbeda. Aku harus memastikan bahwa barang-barang yang akan kubawa ke daerah penugasan tidak ada yang tertinggal. Malam itu sangat melelahkan, bahkan aku tidak tidur sama sekali hingga menjelang keberangkatan. Sebenarnya, itu tidak terlalu menjadi soal bagiku. Satu hal yang menguras energi justru masalah hati. Aku tidak sempat berjumpa dengan ibu yang baru akan terbang dari Solo esok paginya pukul 07.00, sementara pukul 05.30 aku sudah terbang ke Ambon. Aku berharap pesawatku delayed sehingga bisa jumpa ibu di bandara barang beberapa menit. Tapi ya sudahlah. Demi mengejar Sabuk Nusantara.

Ambon manise! Pukul 13.00 WIT pesawatku mendarat di bandara Pattimura setelah transit di bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Sriwijaya, lambang kejayaan nusantara di masa lampau, telah menghampiri empat pahlawan besar; Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sultan Hasanuddin, dan Kapitan Pattimura. “Mereka itu sudah selesai dengan dirinya sendiri”, mengutip kata-kata Pak Anis. Jadi, di depan aku terinspirasi oleh duet Soekarno-Hatta, di tengah diteguhkan oleh Sultan Hasanuddin, dan akhirnya disambut oleh Kapitan Pattimura untuk siap berjuang di tanah Maluku. “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Perjalanan masih panjang. Esok paginya aku melanjutkan perjalanan ke Pulau Yamdena, di mana kota Saumlaki berada. Penerbangan ke Saumlaki dapat ditempuh sekitar dua jam dari Ambon dengan transit di Langgur. Langit dan laut biru, awan-awan putih berkejaran, dan gugusan pulau kelapa yang kulihat dari jendela, merupakan paduan pesona alam yang sangat mendamaikan hati.

Begitu pesawat mendarat di Saumlaki, pengajar muda angkatan dua segera menyambut kedatanganku. Seharusnya, di sore hari aku melanjutkan perjalanan ke Molu Maru dengan kapal perintis Sabuk Nusantara. Namun, kapal belum kunjung tiba. Aku sedikit kecewa. Jika demikian ceritanya, sebenarnya aku masih sempat bertemu ibu di Jakarta karena keberangkatanku tidak perlu dimajukan satu hari demi mengejar Sabuk Nusantara, toh tetap aku harus transit satu malam di Saumlaki. Tapi ya sudahlah, mungkin Tuhan bermaksud baik padaku untuk sejenak melepas lelah di kota. Di malam hari aku menyempatkan diri untuk mencicipi kuliner khas pesisir, lalu segera beristirahat di penginapan. Pagi hari sekitar pukul 09.00, Sabuk Nusantara merapat ke dermaga Saumlaki. Jadwalnya memang satu bulan sekali tiba di Saumlaki. Itulah sebabnya tim operasi memutuskan untuk memberangkatkan tim MTB lebih awal. Demi mengejar Sabuk Nusantara.

Menjelang senja, Sabuk Nusantara meninggalkan Pulau Yamdena menuju Molu Maru. Beberapa saat kemudian, sinyal ponsel hilang di Laut Arafura. Kondisi kapal saat itu cukup mengejutkan bagiku. Kondisi kapal amat sangat padat, bukan hanya penuh sesak dengan penumpang, tetapi juga dengan berbagai barang bawaan seperti buah, sayuran, dan barang dagangan lainnya. Orang lokal sering menyebut kapal ini dengan sebutan kapal kambing!

Pagi hari sekitar pukul 07.00 kapal singgah di Pulau Larat. Aku menyempatkan diri turun dari kapal untuk sarapan dan jalan-jalan berkenalan dengan Larat, karena kapal baru diberangkatkan kembali tengah hari. Larat adalah tempat terdekat bagi penduduk Molu Maru untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Ada insiden kecil di sini. Aku terpisah dengan Billy, rekan pengajar muda yang lain. Mungkin karena terlalu asik jalan-jalan, lupa prinsip buddy system. Hingga kapal akan berangkat, aku belum juga menemukan Billy. Aku putuskan untuk naik saja ke kapal, dan pintu segera di tutup. “Mungkin Billy perlu waktu untuk sendiri”, pikirku waktu itu. Tapi aku yakin Billy pasti sudah di dalam kapal, karena aku tahu persis bahwa dia tidak mungkin berenang dari Larat ke Molu Maru. Singkat cerita, aku bertemu Billy di kapal, bagian paling atas. Dia sedang melamun dengan pandangan kosong ke laut lepas, melepas semua kerinduan yang terpendam.

Tepat 24 jam aku berada di lautan lepas, dari senja ke senja. Kapal akhirnya tiba di Molu Maru, kecamatan bungsu di Maluku Tenggara Barat. Karena belum ada dermaga, kapal tidak dapat merapat ke Pulau Molu, sehingga dilanjutkan dengan perahu yang lebih kecil.

Sudah terlalu larut untuk melanjutkan perjalanan ke Wadankou, tempatku nanti bertugas. Jadi, aku putuskan untuk bermalam di Adodo Molu, desa tempat Billy bertugas. Selain itu, bulan-bulan ini adalah musim angin timur sehingga gelombang cukup tinggi di Wadankou karena terletak di sisi timur pulau Molu. Esok harinya aku kembali melanjutkan perjalanan dengan motor laut.

Selasa, 19 Juni 2012, tepat tengah hari aku menginjakkan kakiku untuk pertama kalinya di Wadankou setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dengan selamat. Aku bersyukur.

Itulah catatan perjalananku, siswa no. 58 Pusdikpassus Batujajar.

Laporan selesai.

 

Saumlaki, 10/7/12

-USD-


Cerita Lainnya

Lihat Semua