Julukannya Si Koptjah Emas, Kehadirannya Selalu Dinanti

adji prakoso 20 Juli 2012

Lucu dan ceria di gambarkan salah satu murid saya di desa Kepayang, pinggir sungai Musi. Anak-anak satu desa memanggilnya si Koptjah (peci) Emas. Nama sebenarnya Ferdi, kelas 2 SDN Kepayang. Namun anak-anak se desa terbiasa memanggilnya dengan Entong atau julukan barunya si Koptjah Emas. Permulaan melekatnya julukan baru itu, ketika setiap hari mengaji Entong selalu menggunakan koptjah emas. Beberapa anak tertarik melihat, meminjam, dan menertawai peci berwarna mentereng tersebut. Sebab biasanya warna koptjah atau peci terbilang membosankan, hanya didominasi dua warna putih dan hitam.  Bukannya marah setelah di tertawakan teman-teman sepermainan perihal keanehan warna Koptjahnya. Entong justr larut dalam julukan baru yang disematkan tunas-tunas kecil desa.

Meski kehadirannya dalam setiap aktivitas di iringi ejekan dan pertanyaan temannya tentang koptjah emasnya. Kedatangannya selalu di nantikan semua anak, tidak terkecuali saya. Bagaikan santapan siang tanpa sambal, jika koptjah emas ini tidak bergabung di kegiatan bersama anak-anak. Sebab senyum lepasnya membuat mulut tidak bisa mengerem tawa. Apalagi melihat tingkah laku dan ucapan yang di uraikannya, rasanya tidak jauh berbeda menonton komedian senior di layar kaca. Setelah tertawa lepas bersama dirinya, saya acapkali berfikir apa seperti inikah perilaku pelawak saat umur belia ? Jika bakat melucunya di kembangkan dan terkelola baik, bukan tidak mungkin di masa depan si Koptjah Emas menjadi komedian terwahid Indonesia.

Ada rantaian kejadian lucu dilakoni Koptjah Emas dan tidak akan terlupakan seumur hidup ini. Ketika bersama tunas-tunas kecil desa pinggir sungai Musi berjalan-jalan pasca sholat Jumat. Kami bersepakat melihat buaya yang baru di tangkap warga desa. Koptjah Emas sejak perjalanan menuju kandang buaya tersebut, sudah terekam panik dan tidak antusias. Namun atas nama kebersamaan dirinya ikut dalam rombongan. Saat teman-temannnya baru menikmati pemandangan buaya yang seluruh tubuhnya terikat. Si koptjah emas justru lari tunggang langgang menjauhi kandang tersebut. Asik berlari, tidak terlihat kondisi tanah berlubang di depannya. Tidak terelakan lagi, dirinya mendarat kasar di tanah. Ketika Ferdi ( nama aslinya ) terjatuh, koptjah kebanggannya pun setia menemani tuannya. Koptjah emas ikut terlempar, namun letak jatuhnya berbeda. Simbol keceriaan jatuh ke kubangan air di sebelah tempat mendarat tuannya. Kubangan air tersebut, sedalam 1 meter dan di penuhi sampah.

Wajah Si Koptjah Emas serentak di kelilingi kebingungngan dan keheranan. Bingung melihat peci kebanggannya langsung menghilang menuju dasar kubangan. Herannya tidak biasanya simbol kebesaran Entong terlepas cepat tanpa perintah. Beberapa temannya berinisiatif mengambil patahan dahan dan potongan kayu untuk menarik koptjah emas dari dasar kubangan. Namun sekitar setengah jam pencaharian, tidak ada kayu mampu mengait koptjah emas tersebut. Wajah Entong semakin memancarkan kebingungan. Saya berinisiatif menawarkan kopiah pribadi agar dibawanya pulang, sebagai pengganti koptjah kebanggaannya. Namun Entong menolak, alasannya takut di marahi oleh orang tuanya. Kemudian saya berujar, “yasudah Entong masuk saja kedalam lubang air tersebut, pakaiannya dilepas nanti bapak yang pegang”. Ekspresinya berubah serius, berfikir mengambil atau tidak koptjah emas yang terkubur dalam kubangan kotor tersebut ? Namun akhirnya tunas lucu itu menekatkan diri mengambil koptjah kebanggaannya, daripada pulang terkena marah karena tidak membawah koptjah.

Menyeburkan diri penuh keraguan, namun ekspresi suramnya tidak berlangsung lama. Hanya membutuhkan waktu dua menit Entong mampu menemukan Koptjah Emasnya. Seyum sumringahnya langsung terpancar, membuat tunas-tunas kecil di tempat tersebut spontan tertawa terbahak-bahak. Saya langsung memberikan dua jempol kepadanya, Entong membalasnya dengan kedua jempol di iringi senyum manis. Senyumnya bagaikan guyuran es kelapa yang mendinginkan dahaga.

Kami langsung menyambung kegiatan siang itu, dengan bercerita dan bercengkrama di dermaga belakang rumah. Saya menuturkan beberapa cerita rakyat dan sejarah kerajaan Nusantara. Saat bercerita kehebatan panglima armada laut Hang Tuah, Entong serentak menirukan gaya panglima angkatan laut yang memberikan komando kepada rekan-rekannya. Sembari menggunakan koptjah hitam saya, menunjuk ke arah  sungai dan berteriak “ayo kita gempur musuh”. Serentak semua yang hadir tertawa.

Setelah cerita selesai disampaikan, kami memindahkan wahana bermain ke Sungai Musi. Bermandikan air dipayungi langit biru yang menawan. Si Koptjah emas dan tunas kecil desa kepayang lainnya, menunjukan kelihaian bersalto, berenang dan mendayung sampan. Tingkah lucu Entong “Koptjah Emas” tetap mewarnai permainan air ini. Koptjah emas jadi pemeran utama di hari ini. Senyumnya bagai emas seperti warna koptjah dan julukannya.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua