info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bukit yang mengaduk-aduk rasa (Bukit Rasa), di Kampung Lebuh-Indonesia.

Fandy Ahmad 10 Juli 2012

 

...kampung Lebuh-Indonesia. Kampungku yang aku cinta. Dari gemas menjadi cinta. Gemas karena perkenalanku dengan kampung Lebuh awalnya menguras emosi dan rasa. Lalu jadi cinta...

 

Perlahan tapi kena. Saya jatuh cinta pada pagi yang indah ini. Setiap pagi yang merubah perspektifku soal warga kampung Lebuh. Pada alam yang suka bermalas-malasan saat ayam berkokok, memberi tanda sang surya perlahan menyongsong. Pada rumput-rumput yang mengantuk saat embun menari-nari di atasnya. Perspektifku soal orang Indonesia di mana banyak di antara mereka yang telah kehilangan keramah tamahan, kebersamaan, kedamaian. Ah, lagi-lagi ekspektasi itu teka-teka tidak pasti bukan? Di tempat kecil ini (Navitel; S 6o28.966’-E 106o17.541’) narasi kecil soal Indonesia yang damai masiha ada.

Setelah Adji (PM II yang saya lanjutkan) meninggalkan Lebak, saya sendiri. Mematung, bingung, melamun tidak jelas. Pertanyaan-pertanyaa yang muncul di kepala saya selanjutnnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang (sebenarnya) tidak perlu. Seperti; apa yang selanjutnya akan saya lakukan? Siapa yang akan mengantar saya berkenalan dengan warga Kampung Lebuh lebih jauh? Bagaimana jika warga Kampung Lebuh tidak menerima saya? Bagaimana kalau saya tidak kerasan? Langkah pertamaku akan ke mana? Lalu kaki saya bergetar, kepala pusing-hampir rubuh, saya ketakutan.

Itu terjadi saat kami tim Lebak ‘minta permisi-silahturahmi’ ke Ciboleger. Tempat di mana Suku Baduy tinggal. Kami juga menunjuk Irma Latifah Sihite sebagai Koordinator Tim Lebak. Tentu saja dengan logika matang-komunikasi setara di sini. Rumah salah satu Suku Baduy. Setelah kami kembali dari kunjungan ke Baduy, dari Ciboleger kami menuju Rangkasbitung untuk kembali ke kampung masing-masing. Ini pertama kali kami kebingungan mencari alternatif transportasi yang aman, sendirian! Ini pertama kali saya naik ojek sendirian masuk ke Kampung Lebuh dari Kecamatan Sajira. Mula-mula jalannya mulus, tapi selanjutnya jalannya menggemaskan.

Saya harus melewati gundukan-lubang-tanjakan-turuan terjal sekira 45 menit di jalan yang bukan main. Sesekali tukang ojek berhenti untuk me-refresh pergelangan dan jari tangannya. Dan saya memijat-mijat tulang ekor sekalian melonggarkan celana jeans saya yang sangat menyiksa. Memukul-mukul manja punggung saya yang kaku karena beratnya tas ransel. Dalam hati saya bilang “masih ada jalan yang seperti ini ya? Jalan yang waktu tempuhnya sekira 5 jam dari Kota Jakarta yang angkuh” saya tersenyum gemas.

Saya coba menikmati perjalanan sambil mendengarkan lagu lama milik Ebiet G. Ade-Berita Kepada Kawan; “...perjalanan ini terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan. Banyak cerita yang mestinya kau saksikan. Di tanah kering berbatuan...”. Ya Tuhan, tabahkan hatiku, kuatkan imanku, beugh...! Leburkan situasi ini dalam diriku.

Tibalah saya di gerbang masuk Kampung Lebuh, kampung kecil yang kata pemuda-pemuda di sini adalah Ibu Kota Desa Sangiang Jaya. Gerbang masuk menuju kampung ini adalah bukit, di sebelah kanannya lapangan sepak bola yang selalu ramai di sore hari. Sebelah kirinya semacam pos ronda, tempat biasa saya dan pemuda-pemuda Kampung ini ngobrol santai minum kopi sesekali bercanda banyak soal. Belakangan gerbang masuk ini aku sebut ‘Bukit Rasa’. Turun ke kanan sekira 800 meter adalah rumah Pak Misra orang tua angkat saya. Kalau lurus turun menuju ke sekolah tempat saya mengajar.

“...Pak P(F)andiiiii, minum kopi dulu paaaak!” teriakan khas Emak saya tiap pagi pukul 05.30 setelah saya membuka jendela, membiarkan udara segar masuk di kamar saya. Wah, saya heran tumben saya bisa bangun pagi. Rutin. Setelah menyeruput kopi bikinan Emak saya tersayang, saya selalu bergegas menuju bukit rasa.

Bukit Rasa ini nih, mak comblang yang bikin saya jatuh cinta sama Kampung Lebuh. Perlahan tapi kena. Bukit yang mendeskripsikan betapa indahnya Indonesia. Bukit yang mengajak saya merefleksikan bayak soal. Bukit yang situasinya selalu sayang kalau tidak saya bekukan dalam gambar dan tulisan. Bukit di mana warga melewatinya saat mereka berbondong-bondong ke sawah, menuju hutan untuk mengambil kayu. Mungkin di antara mereka yang berpipi kering berwajah polos adalah Saijah mengembala kerbau dan kambing. Diantara gadis-gadis desa yang membawa lauk daun singkong dan ikan asin untuk orang tuanya di sawah mungkin juga Adinda. Tokoh yang dituliskan Eduard Dowes Dekker (Multatuli) dalam bukunya yang terkenal Max Haveelar. Karya soal Lebak.

Saat sinar matahari menembus dedaunan yang membentuk garis-garis oranye 15 derajat di sekitar Bukit Rasa, anak-anak didik saya akan bolak-balik lewat sini. Mereka memikul kayu untuk di bawa pulang. Anak-anak didikku kecil-kecil tapi ototnya kuat. Mereka memikul kayu yang sepanjang 2 meter, diameternya 5-10 cm ditambah tumpukan kayu yang diikat di kedua ujungnya. Melihat mereka memikul kayu-kayu itu, seperti kayu-kayu itu berjalan sendiri. Sesekali mereka akan menyapa saya dengan senyum mereka yang selalu saya rindukan. Orang-orang tua yang selalu bersemangat akan saya salami jika mereka lewat.

Jika sore menjelang, bukit rasa ini adalah tempat pemuda-pemuda dan beberapa warga berkumpul. Saya juga, untuk menunggu sinyal yang lewat seperti abang bakso. Kadang ada, kadang tidak. “Yah, kadang-kadanglah!” celetuk Ibu Haji pemilik warung di dekat lapangan yang kopinya juga nikmat. Mengaduk-aduk rasa saya memang, juga rasa semua orang yang ada di bukit rasa ini. Saat pemuda-pemuda di sini sedang mesra-mesranya bersms atau bertelefon ria, sinyal hilang-timbul tenggelam, dan nada kecewa dari semua orang di sini bersahut-sahutan. Termasuk saya, yang kadang jengkel tak dapat sinyal internet (terbatas). Karena di rumah saya di bawah, no signal! Yang lebih mengaduk rasa saat saya dapat sms dari teman-teman Lebak lainnya; “...baseline lo udah belum? Tanggal 10 dikumpulkan ya!” saya hanya mematung.

Bukit Rasa, aku sungguh mencintaimu. Aku sungguh merindukanmu, seperti merindukan pacar pertama. Perlahan tapi kena. Kau yang membantu aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang (sebenarnya) tidak perlu. Seperti; apa yang selanjutnya akan saya lakukan? Siapa yang akan mengantar saya berkenalan dengan warga Kampung Lebuh lebih jauh? Bagaimana jika warga Kampung Lebuh tidak menerima saya? Bagaimana kalau saya tidak kerasan? Langkah pertamaku akan ke mana? Kau buat aku kepalkan tangan sekeras-kerasnya. Kau tempat aku mengumpulkan keberanian untuk ‘mengalami’!


Cerita Lainnya

Lihat Semua