Katong Dua yang Salah

R. Dhimas Utomo 23 September 2012

Menjadi wali kelas satu memang cukup menantang. Siang itu terasa lebih panas dari biasanya. Aku setengah mati mencoba menenangkan kelas. Siswa kelas satu tumpah berhamburan di kelas. Ada yang berdiri di meja, lalu melompat ke meja yang lain. Ada yang berlari kian kemari berkejaran. Ada juga yang lari keluar. Ada yang saling menendang dan memukul, lalu tidak lama terdengar suara tangisan. Ada yang keluar kelas dengan cara melompat dari jendela. Tetapi ada juga yang duduk diam menyendiri di pojok kelas.

Setelah badai kelas berlalu, aku  mulai bercerita dengan gambar. Tiba-tiba dua orang siswa menarik lenganku, sambil merengek-rengek minta diperhatikan. Dua orang siswa ini kemudian memelopori kegiatan keluar kelas dengan cara melompat dari jendela.  Setelah keluar kelas, siswa tersebut masuk lagi lewat pintu, lalu lompat lagi, lalu masuk lagi, begitu seterusnya. Sebelum atraksi lompat dimulai, mereka biasanya memanggil-manggil namaku berharap mendapat perhatian dariku. Proses negosiasi yang cukup alot tidak membuahkan hasil. Karena cukup mengganggu, aku memutuskan untuk menutup dan mengunci pintu kelas dari dalam. Lalu anak-anak tadi berteriak minta dibukakan pintu. Begitu pintu dibuka dan mereka masuk, mereka melompat lagi. Akhirnya, pintu tetap aku kunci meskipun anak-anak tadi berteriak dari luar minta dibukakan pintu.  

Kedua anak tadi kemudian berkata seperti ini: "Pak Dhimas seng sayang beta. Bet sayang Pak Dedi. Bet seng sayang Pak Dhimas. " (Pak Dhimas tidak sayang saya. Saya sayang Pak Dedi. Saya tidak sayang Pak Dhimas). Kali ini aku tidak mau mengalah. Aku merasa apa yang aku lakukan ini benar. Aku tidak bergeming dan tetap melanjutkan kegiatan belajar mengajar.  Aku tidak mau mengorbankan sebagian besar siswa demi meladeni beberapa siswa yang memang sangat aktif ini. The show must go on.

Lonceng sekolah berdentang panjang tanda pulang sekolah. Siswa-siswi keluar kelas dan bergegas mengikuti apel siang. Setelah mendengar arahan singkat dari guru piket, kemudian siswa berhamburan pulang. Dalam perjalanan menuju kantor guru, aku melihat dua siswa pelopor lompat jendela tadi masih ada di halaman sekolah, menatap ke arahku. Mereka tiba-tiba berlari ke arahku dan memeluk pahaku, kanan dan kiri, karena badannya melum cukup tinggi untuk memeluk tubuhku. Mereka berkata; "Katong dua yang salah Pak. Katong minta maaf." (Kami berdua yang salah Pak. Kami minta maaf). Aku mengangguk dan tersenyum.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku berpikir. Menjadi yang kedua memang akan selalu dibandingkan. Dan terkadang, bahkan sering kali, melakukan hal yang benar berisiko menjadi tidak populer. Its fine with me. The show must go on!

Wadankou 7/9/12

-USD-


Cerita Lainnya

Lihat Semua