info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ini Hanya Butuh Pembiasaan

Oktavina Qurrota Ayun 23 September 2012

Dosen saya pernah bercerita, membutuhkan waktu dua generasi untuk ‘membentuk’ kultur disiplin warga Singapura. Beberapa dekade lalu, negara itu sama semrawutnya dengan Jakarta. Lalu ditempatkanlah queue barrier atau pagar antrean seperti yang kita lihat di antrean Dufan pada halte-halte bus di Singapura. Warga generasi pertama yang merasakan peraturan baru tersebut harus membiasakan diri pada hal baru itu hari demi hari. Rutinitas menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi budaya. Mereka lalu mengajarkan anak-anak mereka budaya antre tersebut. Hingga suatu hari pagar pembatas itu pun dilepas, dan budaya antre sudah melekat menjadi keseharian dan pribadi setiap orang.

Ini adalah cerita mengenai konsistensi.

Seperti bagaimana anak TK di Jepang dididik secara konsisten untuk melakukan rutinitas sehari-hari secara runut dan mandiri, dari bangun pagi hingga tidur di malam hari. Daily routines diajarkan secara konsisten sebagai bagian dari pelajaran sekolah, sehingga di kemudian hari seorang warga Jepang nyaris tak pernah terlambat untuk kereta cepat yang membawanya ke sekolah atau ke tempat kerjanya; atau sekedar mengelola sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan sesuai jadwal.

Dari ibu saya belajar konsistensi. Beliau selalu menekankannya dalam perbuatan, dan mengingatkan dengan perkataan. Mungkin ia mendengarkan kata psikolog yang membimbing adik saya. Mungkin juga ia pelajari dari buku-buku dan majalah yang rajin dibacanya. Ibu memang ‘hanya’ ibu rumah tangga berpendidikan SMA, namun pengetahuan dan pergaulannya sangat luas. Dulu saya hanya mendengar kata-katanya sambil lalu. Setelah menjadi Pengajar Muda, saya baru menyadari pentingnya konsistensi dalam mendidik anak, dan pada gambaran besar tentunya, mendidik suatu bangsa.

Apakah kita bertanya-tanya, bilakah Indonesia menjadi negara yang warganya disiplin, tertib, teratur, dan mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi?

Sementara pertanyaan yang seharusnya kita tanyakan adalah, sudahkah kita secara konsisten mencontohkannya kepada anak-anak kita?

Ketika saya tiba di sekolah ini, saya sering dibuat bingung dengan jadwal KBM. Terkadang anak-anak sudah istirahat sebelum waktu yang ditentukan. Kadang siswa masih asyik belajar dan tiba-tiba bel berdering, setengah jam dari waktu yang seharusnya. Seringkali saya abaikan bel-bel ajaib itu, karena anak-anak juga masih terlihat asyik dengan pekerjaannya, atau masih gemas dengan soal-soal matematika yang saya berikan.

Mengapa saya sewot? Ini kan hanya sekedar jadwal pelajaran?

Katakanlah kita sudah berkomitmen bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah diawali pukul 08.00 dan berakhir pukul 12.00, dengan jam istirahat pada pukul 09.30, maka berlakukanlah jadwal itu dengan benar. Beri penghargaan pada diri kita dengan menyelaraskan ucapan dan perbuatan. Ketika kita menyudahi pelajaran sebelum pukul 09.30, anak tidak sekedar senang karena waktu bermainnya bertambah, namun ia juga belajar bahwa jadwal dan peraturan itu omong kosong, karena tak apa bila dilanggar sewaktu-waktu.

Mari berbicara dalam skala bangsa. Fleksibilitas penegakan hukum serta rendahnya penerapan kebijakan yang kita rasakan di negara ini, menurut hemat saya, merupakan buah dari budaya ‘maklum’ terhadap peraturan karena rendahnya konsistensi.

Inkonsistensi menjadi salah satu missing link dari pertanyaan ‘Apa yang salah dengan pendidikan kita saat ini?’ Entah itu berupa kebijakan yang kerap berubah seiring bergantinya tampuk kekuasaan, atau dalam implementasi kurikulum ‘pendidikan karakter’ yang masih pada tahap permukaan dan belum pada pembentukan karakter yang sebenar-benarnya.

Sederhana saja. Dulu saya juga tidak mengerti, mengapa sebelum masuk kelas harus berbaris rapi, mengapa setiap Senin ada upacara, dan setiap Jumat SKJ? Mengapa upacara tidak dilaksanakan hari Selasa saja minggu depan? Mengapa pelajaran menggambar tidak bisa dilakukan sewaktu-waktu? Seiring bertambah dewasa, saya menyadari bahwa hal-hal tersebut, pada titik paling sederhana, merupakan pengenalan terhadap manajemen waktu. Pada rutinitas yang menjadi bagian dari hidup. Semakin hari, rutinitas semakin bertambah, dan tiba-tiba kita tidak lagi dikendalikan oleh jadwal yang diatur oleh guru kita. Kita-lah yang menentukan jadwal tersebut. Pada rutinitas yang dijalankan secara konsisten inilah letak pendidikan karakter yang sebenarnya.

Manajemen kelas yang baik adalah cara lain untuk memperkenalkan konsistensi pada siswa. Jika guru ingin siswa mengangkat tangan sebelum berbicara, maka angkatlah tangan tinggi-tinggi ketika anak riuh ribut, menandakan kita ingin bicara. Menandakan kita konsisten terhadap peraturan yang sudah ditetapkan. Sekarang, murid-murid saya tahu bahwa ketika saya mengangkat tangan tinggi-tinggi, mereka harus memberikan saya kesempatan untuk berbicara. Atau ketika kelas tidak dapat dikendalikan, selalu berdirilah di bagian samping kelas untuk menandakan bahwa kita kecewa. Dengan demikian, setiap kali kita berdiri di titik tersebut siswa tahu bahwa kita tengah kecewa terhadap mereka. Sekarang murid saya tahu, jika bel berbunyi pukul delapan pagi mereka harus berbaris rapi, lalu boleh masuk kelas jika bisa menjawab tebak-tebakan perkalian. Sebetulnya ini adalah upaya membentuk pola.

Otak manusia dapat mengenali pola dengan mudah, asalkan pola tersebut konsisten dan terus menerus. Jika kita mengubah pola tersebut, maka otak tak merekognisinya sebagai ‘pola’. Menekankan konsistensi pada siswa sesungguhnya merupakan upaya membentuk pola perilaku.

Katakanlah kita ingin membentuk generasi yang disiplin, berempati, dan berakhlaq, maka konsisten lah dengan visi tersebut, dan berikan teladan alih-alih berkata-kata belaka. Jangan terburu marah jika mereka tak mengikuti peraturan yang berlaku, mungkin kita memang tak pernah ciptakan polanya pada otak mereka.

Konsistensi adalah hal yang sederhana namun tak mudah dijalankan. Namun seperti halnya warga Singapura dengan pagar pembatas antrean, ini hanya butuh pembiasaan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua