info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Aku ini guru

Billy David Nerotumilena 23 September 2012

“Seorang guru bukan saja menjadi guru untuk murid, tapi juga menjadi guru untuk guru.”

-Bitzael S. Temmar- 2012

Sudah genap tiga bulan masa pengabdian sebagai Pengajar Muda. Empat bidang tugas yang diemban, telah dijalankan dengan proporsi pelaksanaan yang pastinya tidak merata. Dalam angan yang tertuang dalam Rencana Tindak Lanjut, sebelum berada di lokasi penempatan, proporsi kurikuler adalah bidang tugas yang memiliki proporsi pelaksanaan paling besar. Tapi, ketika sudah berada di lapangan semua berubah. Proporsi pelaksanaan bidang kurikuler justru paling kecil. Jadwal transportasi ferry yang tidak menentu, menjadi pelaksana teknis kompetisi pendidikan memperingati HUT RI ke-67, menjadi fasilitator KKG-MGMP, menjadi assesor supervisi penyelenggaraan pendidikan di Kecamatan, berurusan dengan birokrasi di tingkat Kabupaten, merupakan beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Menjadi guru untuk siswa

Sebagai seorang guru prematur, kepercayaan besar telah saya emban sejak pertama kali bertugas. Mengajar manusia bebas menjadi manusia teratur. Metafora dari Molu Maru adalah mengubah batu menjadi manusia. Sedikit hiperbola, namun memang demikian, karena sebagai wali kelas 1 SD, anak-anak yang baru mengenal interaksi bangku sekolah, baru mengenal sosialisasi dengan sesama, dan pastinya pertama kali tersentuh oleh kebiasaan afektif positif. Sebagai seorang Pengajar Muda yang mengajar kelas rendah, kesulitan hari-hari pertama adalah manajemen kelas, membiasakan kebiasaan positif dan eksplorasi individu anak. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, peribahasa ini bukan hanya berlaku untuk aspek budaya, tapi juga berlaku untuk pendidikan, khususnya lokasi mengajar. Tanpa mendiskreditkan yang merambah ranah SARA, letak geografis Indonesia, Indonesia bagian timur memiliki keterbatasan yang kompleks, dibanding dengan Indonesia bagian barat, termasuk kualitas Sumber Daya Manusia, khususnya peserta didik. Lingkungan disini sangat terbiasa dengan kekerasan verbal apalagi kekerasan fisik. Pengkondisian dengan memaki, memukul dan melempar merupakan hal lazim yang dilakukan guru terhadap peserta didik. Sehingga pengajaran metode Batutis, multiple intelligences, student centre, perlu kajian mendalam sebelum diaplikasikan disini. Kemampuan calistung yang sangat rendah, kesadaran belajar yang sangat kurang, anak yang memiliki kelainan mental dan sikap hiperaktif merupakan beberapa indikator yang menjadi pembeda kontekstual yang ditemui.

Hingga akhirnya saya lakukan sebuah remidial target capaian, yang perlu diambil. Semester ganjil akan saya gunakan untuk penanaman sikap afektif, pembiasaan hidup yang positif dan tentunya pembiasaan hidup sehat. Mencium tangan orang tua sebelum berangkat sekolah, mandi sebelum berangkat ke sekolah, tidak makan dan menguap dalam kelas, tidak memberikan barang dengan melempar, adalah beberapa contoh upaya yang ditanamkan pada anak-anak. Poin yang menurut saya penting, seseorang yang memiliki kompetensi kognitif tinggi, namun memiliki kompetensi afektif rendah, dianalogikan durian yang harum dan ranum warnanya, tapi busuk dagingnya. Semua harus seimbang, dan semua harus dibiasakan dari usia dini. Dalam konsultasi saya dengan ibu Wei Lin Han, sebagai salah seorang expert dunia pendidikan, beliau mengatakan “Lebih baik kehilangan dua bulan untuk manajemen kelas, daripada anak kehilangan setahun belajar karena menajemen kelas yang tidak baik.” Tepat sekali, manajemen kelas penekanannya adalah pada afektif postif dari peserta didik. Tiga bulan pengabdian di lokasi penempatan ini, perubahan dan kebiasaan positif dari peserta didik sudah mulai terlihat, pekerjaan rumah bagi saya adalah bagaimana konsistensi ini tetap terjaga, dan nantinya akan bertahan dalam perkembangan usia anak. Saya tidak akan menuntut, namun saya tetap berharap dan membiasakan pada peserta didik, agar satu tahun ini menjadi bekal yang baik untuk menjalani tahapan selanjutnya.

Menjadi guru untuk guru

Dalam bidang tugas yang diemban sebagai Pengajar Muda, ini bukan merupakan salah satu dari antara bidang tugas yang diemban. Namun ini adalah sebuah kewajiban eksplisit yang dimiliki ketika berada di lokasi penempatan. Berangkat dari sebuah cita mulia, mengisi kekurangan guru di daerah, pada awalnya eksistensi hanya dilihat dari segi kuantitas, namun setelah benar-benar berada di lapangan segi kualitas juga menjadi ranah kerja. Kekurangan guru yang berkualitas. Resilensi yang hanya bervisi pada upah, etos kerja sebagai sebuah sidejob, belum lagi ditambah dengan jam kerja yag seenak perut. Pada semua lokasi penempatan Pengajar Muda, pasti akan ditemukan banyak permasalahan yag serupa tapi tidak sama, ataupun sama tapi tidak serupa. Belum lagi, pelosok negeri yang masih belum tersentuh gerakan penyadaran pendidikan.

Pernyataan kedua setelah pernyataan pertama sebagai pembuka tulisan ini Bitzael S. Temmar, Bupati Maluku Tenggara Barat dalam perbincangan ringan di ruang kerjanya, adalah demikian, “Guru Indonesia Mengajar, sebenarnya Mengajar Indonesia, mengajar bukan hanya secara verbal dan mengajar guru.” Seketika itu saya terhenyak, ini sebuah pernyataan yang menjadi retorika bagi diri saya sendiri, sudahkah berbuat demikian? Hadir lebih awal, untuk sekedar membunyikan lonceng menjadi sebuah indikasi nyata. Belum lagi kedisiplinan dalam menyusun dan melaksanakan perangkat pembelajaran, serta integritas dalam melaksanakan tugas sebagai Pengajar Muda, masih nol besar. Di saat berbangga dengan pencapaian di bidang advokasi pendidikan dan pembelajaran masyarakat, saya terlupa ada bidang kurikuler dan ekstrakurikuler, yang memiliki porsi kerja yang sama. Sebuah friksi yang akhirnya berujung pada refleksi, menghasilkan justifikasi pribadi, ya, saya belum menjadi guru. Saya masih belum layak digugu dan ditiru, digugu dan ditiru oleh guru yang lain. Sikap saya masih belum menjadi teladan, saya hanya berucap. Dalam berbagai aspek, sudah berintegritas, namun dalam hal yang lebih banyak pula, integritas itu belum ada.

Mungkin bagi mereka di pesisir Laut Banda, Pengajar Muda adalah dewa yang membawa pencerahan pendidikan. Sang serba bisa, penjawab semua tanya. Dalam mitologi Yunani, Zeus yang agung pun pernah berbuat kesalahan. Apalagi dewa abal-abal seperti Pengajar Muda, seperti saya. Saya terbatas. Terima kasih Bapak Bupati sudah memberikan evaluasi yang mungkin bagi Anda tidak pernah terpikirkan sedikitpun. Saya tidak hanya mengajar, saya juga belajar. Sesuatu yang terpikirkan berat untuk dilaksanakan, tapi di kesunyian Pulau ini, saya berbisik pada hati, berjanji dengan apa yang saya bisa, saya akan berusaha menjadi guru yang baik untuk peserta didik, guru, masyarakat dan birokrasi.

Saya mulai mengerti bahwa teladan adalah ketika integritas berelaborasi dengan konsistensi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua