Entropi
R. Dhimas Utomo 25 Januari 2013Dalam termodinamika klasik, entropi diartikan sebagai energi dalam sistem per satuan temperatur yang tidak dapat digunakan untuk melakukan usaha, sekaligus menjadi ukuran kecenderungan suatu proses. Entropi juga diterjemahkan sebagai ukuran ketidakpastian suatu sistem. "The most general interpretation of entropy is as a measure of our uncertainty about a system. In statistical mechanics, entropy is a measure of the number of ways in which a system may be arranged, often taken to be a measure of disorder or randomness. The higher the entropy, the higher the disorder." Secara matematis, entropi dapat dihitung dengan persamaan dS = δQ/T, dan dinyatakan dalam satuan Joule per Kelvin (J/K).*
Ternyata, dalam perjalanan hidup ini juga sama, hukum termodinamika di atas berlaku. Hanya saja, seberapa besar ukuran ketidakpastian itu kita belum mampu (dan mungkin tidak akan mampu) untuk menghitungnya. Sebagai contoh, kita benar-benar tidak tahu persis apa yang akan terjadi esok hari, bahkan satu menit ke depan pun kita tidak tahu. Yang bisa kita lakukan hanya memprediksi, tetapi tidak ada jaminan bahwa prediksi kita itu akan sama persis dengan apa yang akan datang.
Hidup ini memang serba tidak pasti. Tapi di sini, di Tanimbar, aku merasa seolah-olah entropi kehidupan itu lebih besar dari sebelumnya, ketika aku masih bekerja di Jakarta. Bahkan, sebelum berangkat ke Tanimbar pun sudah terasa. Jadwal deployment yang seharusnya tanggal 16 Juni, tiba-tiba dimajukan satu hari menjadi 15 Juni karena satu dan lain hal. Perubahan mendadak waktu itu cukup merepotkan karena packing ternyata juga menyita banyak waktu sehingga akhirnya aku begadang semalaman.
Kejadian waktu itu ternyata hanya kulitnya saja. Setelah tiba di Tanimbar, hidup menjadi lebih tidak pasti, terutama masalah transportasi. Serba acak, random. Jadwal feri ke Molu Maru yang dua kali sebulan itu, bisa berkurang frekuensinya sewaktu-waktu, dipengaruhi oleh variabel kecepatan angin dan ketinggian gelombang. Bulan Juli tahun lalu, aku harus menunggu feri hampir satu bulan di Saumlaki hingga cuaca membaik. Di desa, motor laut juga begitu. Bilang berangkat, tiba-tiba batal. Bilang tidak berangkat, mendadak berangkat, apalagi sekarang angin barat sedang bertiup. Ciri khas musim angin barat ini adalah cuaca yang bisa berubah dengan sangat cepat secara drastis. Misalnya beberapa minggu lalu ketika kami masyarakat Wadankou akan berangkat ke Larat untuk membeli kebutuhan pokok. Di pagi hari yang sangat cerah, aku sudah selesai mengemas barang-barang yang akan kubawa. ABK pun lalu memanggilku untuk turun ke laut. Tiba-tiba, angin bertiup dan mendorong awan hitam mendekat hingga ke muka kampung. Seketika itu juga hujan lebat turun disertai angin kencang. Kami mengurungkan niat pergi ke Larat.
Begitu juga ketika aku akan berangkat ke Saumlaki selepas tahun baru. Karena kapal mendapat larangan berlayar dari Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan, maka aku ke Larat dengan motor laut, kemudian mencari perhubungan dari Larat ke Saumlaki. Ketika aku bertanya kepada tuan motor kapan akan berangkat, jawaban yang aku dapat adalah; "Pak Guru, sabar dulu e, katong tunggu sampai dapat lihat bintang, baru katong pigi. Awan masih pele bintang jadi katong seng berani berangkat. Mangkali jam-jam dua hampir siang kah apa baru katong pigi." (Pak Guru, sabar dulu ya, kita tunggu sampai bintangnya kelihatan, baru kita pergi. Bintangnya masih tertutup awan jadi kita tidak berani berangkat. Mungkin sekitar jam dua dini hari baru kita bisa berangkat). Waktu itu masih jam sembilan malam. Belajar dari pengalaman, aku sudah mengemas barang-barangku, siapa tahu kejadian "tiba-tiba berangkat" terulang lagi. Dan benar, kira-kira jam sebelas ketika aku sudah berbaring di kasur mau tidur, tiba-tiba salah satu penduduk desa datang ke rumah dan bilang bahwa motor laut akan segera berangkat. Setelah semua penumpang naik, tepat pukul 23.30 motor laut berangkat menuju Larat. Di tengah perjalanan, meleset dari prediksi, tiba-tiba hujan turun. Karena motor laut tidak ada atapnya, terpaksa aku masuk ke bawah anjungan di depan yang tingginya tidak sampai satu meter. Di sana aku tidur meringkuk bersama-sama dengan ayam (dan kotorannya yang berwarna kombinasi hijau-putih), serta tumpukan ikan asin, kopra, kelapa, rumput laut, pisang, dan jerigen minyak tanah. Aroma benda-benda itu tadi, ditambah ayunan gelombang laut yang naik-turun-kiri-kanan malam itu, merupakan perpaduan yang sangat pas untuk membuat perut mual dan kepala pusing.
Pukul 04.00 pagi kami tiba di Larat. Tidak seperti biasanya, hari itu pelabuhan sangat sepi. Tidak ada satu kapal pun yang bersandar. Ada dua opsi menuju Saumlaki dari Larat. Pertama jalur darat dengan menumpang truk, oto, atau ojek. Opsi darat langsung tereliminasi karena musim hujan seperti sekarang ini jalanan sangat becek dan sulit dilalui. Opsi kedua menjadi pilihan, yaitu dengan speed boat. Aku sudah sumringah karena menurut informasi ada speed boat yang akan berangkat ke Saumlaki. Tapi karena jumlah penumpang tidak memenuhi kuota, keberangkatan dibatalkan, dan aku harus bermalam di Larat. Keesokan harinya baru akhirnya speed berangkat, itu pun ditunda dua setengah jam dari jadwal yang seharusnya karena harus menunggu air laut pasang naik. Pasang naik/surut air laut pun ternyata juga menjadi variabel ketidakpastian suatu perjalanan.
Terakhir, ketika aku mau pulang dari Saumlaki ke Molu Maru, hal yang sama juga terjadi, yaitu ketidakpastian. Aku tiba di Saumlaki tanggal 10 Januari. Karena gelombang sedang tinggi, larangan berlayar berlaku hingga tanggal 5 Februari. Lagi-lagi, hampir satu bulan aku di Saumlaki. Memang ada agenda yang dikerjakan, tapi aku tidak menyangka akan selama itu. Untuk mengisi waktu, aku mengunjungi daerah penempatan lain di Desa Adaut selama dua hari. Karena jangkauan sinyal yang minim, aku ketinggalan info bahwa ternyata keberangkatan feri dimajukan menjadi tanggal 22 Januari, tetapi hanya sampai Larat. Padahal, menurut jadwal seharusnya feri tersebut ke Molu Maru. Sebenarnya bisa saja naik feri ke Larat, tapi yang repot adalah mencari transportasi dari Larat ke Molu Maru. Ya sudah, akhirnya harus menunggu lagi.
Ketidakpastian terkadang membuat kita capek. Seringkali kita membayangkan seandainya kita bisa merumuskan model matematika untuk memprediksi kehidupan ke depan sehingga tidak salah melangkah, tapi mustahil. Dari situ, kita semakin mengerti bahwa satu-satunya yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian itu sendiri. Hal itu juga yang mengajari kita untuk berserah pada Tuhan dalam setiap langkah hidup. Bisa jadi, model matematika yang cocok untuk menjalani hidup yang degree of randomness-nya sangat tinggi ini adalah sebagai berikut; L = S + E + T, di mana L: life, S: surrender, E: exertion, dan T: thankfulness. Mungkin, kita perlu mencoba menjalani hidup yang diserahkan kepada Tuhan, sambil tetap berusaha dan bersyukur dalam segala hal. :D
Saumlaki, 24/1/13
-USD-
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda