Pukulan Pertama

Putri Rizki Dian Lestari 23 September 2011

Teman, ini cerita yang ku buat sebelum bulan puasa, sayangnya baru ingat untuk di posting sekarang.

Teman, hari ini aku mendapat pukulan hebat dari murid ku. Aku masuk ke kelas, semuanya diam membisu tak ada semangat, tak ada senyum, murid-muridku kelas 6 tak ada yang menatapku, bahkan Nain, siswi termanis dan terbaik di kelas. Aku bingung luar biasa. Ada apa ini?

Hari ini adalah pelajaran Bahasa Inggris, jam pertama sampai istirahat aku mengajar di kelas 4 dan 5, setelah istirahat aku mengajar di kelas 6. Pengalaman pertama mengajar di kelas 4 dan 5 sangat menarik, semua bersemangat dan gembira. Murid-muridku kelas 6 belajar Agama Islam dengan Pak Ainun. 

Aku mereka-reka kejadian hari ini, sampai tadi pagi semua terasa baik-baik saja, sebelum aku masuk ke kelas 6, mereka bilang “Bu jangan lama-lama ya bu...” maksudnya jangan lama-lama ngajar kelas 4 dan 5. Tidak ada, tidak satu pun perkara yang bisa ku temukan. Analisa ku mati di tengah jalan.

Aku coba bertanya pada mereka, semua serempak menjawab “tidak ada apa-apa bu” jawaban tidak ada apa-apa langsung ku artikan ada apa-apa. Tapi apa??? Aku coba mengajar, tapi semua menjawab datar, aku coba keluarkan boneka yang membuat kelas 4 dan 5 tertawa terbahak-bahak seharian. Boneka tangan ku tidak laku. Aku badut yang diabaikan. Sungguh mati gaya, teman.

Aku berhenti dan mencoba berbicara pada mereka heart to heart. Aku bilang aku tidak bisa mengajarkan anak-anak yang belum siap belajar, aku tidak mau mengajarkan anak-anak yang tidak mau tersenyum dan mulutnya manyun. Ku katakan pada mereka kalau marah, harus dijelaskan, karena aku bukan Mama Lorens yang bisa baca pikiran orang (semoga mereka tahu siapa Mama Lorens). Ku tanya sekali lagi “Ibu tahu kalian kesal, tapi kenapa? ada apa? Ada yang mau cerita?” Nain kecil menjawab “tanya saja sama Linda bu?” aku bilang, “Ibu tahu, jawaban Linda pasti suruh tanya Sulis, nanti Sulis bilang Ibu suruh tanya Irfan, dan akhirnya ibu Cuma di lempar-lempar kayak bola kan? Ibu kecewa, ini bukan murid-murid kesayangan Ibu” dan mereka semua menundukkan kepala di meja lalu nangis. Teman, di Minggu kedua, aku buat satu kelas nangis.

Nain tak tahan akhirnya dia bilang “Kita kesal ibu lebih manjain kelas 4 dan 5” jeng...jeng... aku cukup terpukul dengan pernyataan itu. Aku terdiam, mereka masih menundukkan kepala. Aku memutar otak, mencari penjelasan yang pas, mencari kalimat pembuka yang tepat.

Ku mulai dengan bertanya “Dalam satu minggu, berapa hari ibu ada di kelas 6?” tidak ada yang menjawab. Berapa hari ibu ada di kelas 5?” tetap manyun semuanya. “Ada lagu yang tidak ibu ajarkan ke kelas 6 tapi ibu ajarkan ke kelas 5?” Mereka menggeleng, “selama ini apa kita hanya belajar? Dan tidak pernah bermain?” Ibu cuma beberapa jam saja ada di kelas 5 dan kalian langsung marah. Apa selama ini ada anak kelas 4 dan 5 yang protes saat ibu mengajarkan Origami ke kalian atau mengajarkan lagu ke kalian padahal ibu tidak pernah ajarkan ke mereka”

Raut wajah anak-anakku sudah mulai berganti, “Nain, Linda, Sulis, Irfan, Uul” ku sebut semua yang ada “Kalian akan ujian Nasional, Ibu kepingin sekali melihat kalian dapat nilai yang tinggi, makanya kelas 6 lebih banyak belajar dari pada bermain. Masih mau iri pada kelas 5?” mereka semua menggeleng dan mulai buka buku. Tapi terus terang mood mengajarku sudah hilang, mungkin begitu juga dengan mood belajar mereka. Akhirnya ku habiskan sisa waktu dengan bermain Binggo. Dasar anak-anak, seketika mereka ceria kembali. Tapi hati dan kepala ku masih gelisah.

Apakah aku mulai membosankan? Rasanya sudah waktunya mengevaluasi cara mengajarku. Aku berharap hari ini ada Bu wei untuk bercerita.


Cerita Lainnya

Lihat Semua