Secuplik Kisah Manis di Bawean

Tidar Rachmadi 27 September 2011

Saya mengajar di SDN Kebun Teluk Dalam II, sebuah SD di salah satu puncak gunung di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Hmm, Gresik... Masih di Jawa Timur, tapi sungguh tidak seperti berada di Jawa. Pulau Bawean (150 km dari daratan Jawa) dengan segala keindahannya belum memiliki kondisi pendidikan layaknya Jawa. Fasilitas dan infrastrukturnya bisa dibilang kurang memadai, kalau tidak mau dibilang memprihatinkan.

Mengajar di sebuah puncak gunung tentu memiliki keasikan tersendiri. Setiap hari, mata ini dihadiahi pemandangan aduhai. Hijau berseri dengan deret gunung yang di pulau ini berjumlah 99 buah.

Mengajar di sebuah puncak gunung juga tentu memiliki ceritanya tersendiri. Anak-anak gunung berbeda dengan anak-anak pantai. Anak gunung cenderung lebih tertutup dan pemalu. Mereka jarang melihat kehadiran sosok asing di lingkungannya. Tidak seperti kultur anak pantai yang sering melihat orang lalu lalang dan cenderung bersifat riang.

3 bulan yang lalu saya datang ke puncak gunung ini, di Dusun Serambah. Berbekal amunisi sederhana, semangat mengajar. Rupanya, kondisinya mengejutkan. Anak-anak (dan para orang tuanya) tidak menjadikan sekolah (baca: SD) sebagai sebuah kebutuhan. Sekolah SD hanya sebagai kegiatan yang mereka lakukan apabila tidak ikut ayah-ibu ke hutan atau ke sawah. Sekolah SD mereka datangi apabila mereka sedang tidak malas. Sekolah SD mereka datangi apabila malamnya tidur cepat karena absen nonton sinetron. Dan sekolah SD hanya mereka datangi apabila... hmm... ada guru.

Sekolah SD tidak populer lantaran mereka sudah terlalu lelah bermain di alam. Sekolah SD yang gratis ini justru disepelekan akibat kegratisannya. Berbeda dengan sekolah madrasah yang mereka datangi siang hari, dimana orang tua mereka membayar Rp 3.000/bulan.

Guru di SD Kebun Teluk Dalam II ada 5 orang, 3 PNS, 2 Sukuwan. Tetapi dalam sehari, kadang hanya 2, kadang 1, dan lebih sering tidak ada guru. Bahkan ada seorang guru yang berasal dari Jawa yang sejak 12 tahun lalu bertugas di SD ini, namun menurut warga keberadaannya di Bawean apabila ditotal tidak lebih dari 2 tahun.

Jangan salahkan apabila kemudian anak-anak jarang datang ke SD. Mereka yang sebenarnya bersemangat tidak terfasilitasi dengan semangat dari guru-gurunya. Tantangannya kemudian, bagaimana meyakinkan anak-anak bahwa kedatanganku membawa semangat mengajar.

Berusaha mendekati anak-anak yang pemalu ini membutuhkan perjuangan lebih gigih. Di awal kedatanganku, anak-anak masih sangat malu. Sebenarnya tidak semuanya, ada beberapa anak yang langsung 'nempel' dan mengikuti kemana saja aku pergi. Namun jumlahnya hanya beberapa. Ada lebih banyak anak yang masih malu dan mungkin dalam benaknya mempertanyakan kehadiranku. "Orang apa ini suka nyanyi-nyanyi? Orang apa ini suka main-main ke sawah bapakku? Orang apa ini nyuruh-nyuruh aku sekolah?" Entahlah. Kita tidak pernah tahu apa yang dipikirkan oleh seorang anak.

Butuh strategi untuk membuat mereka menyenangi sekolah SD. Beruntung aku datang ketika sekolah sedang libur. Akupun dengan inisiatif sendiri menggelar TK untuk anak mengajar baca-tulis-hitung, dengan bumbu nyanyian, mewarnai, bermain, dan senam. Hal-hal yang asing bagi anak-anak di sini. Apabila ditarik benang merah, hal-hal tersebut ialah hal-hal yang membutuhkan EKSPRESI. Ya, anak-anak ini tidak memiliki wadah berekspresi. Aku yakin, semalu-malunya mereka dan sesusah-susahnya mereka untuk mengeluarkan ekspresinya, mereka tetap anak-anak yang bisa (butuh) berekspresi. Hanya selama ini tidak terfasilitasi.

Terbukti, mereka tampak senang gembira. Mereka cepat menghapal lagu. Dalam mewarnai pun cukup baik. Kegembiraan dari anak-anak usia 4-7 tahun di TK ini rupanya menulari kakak-kakanya yang duduk di SD. TK-ku semakin hari ramai. Bukan hanya oleh anak usia TK, tetapi oleh anak SD kelas 1 sampai 6.

Ketika hari masuk sekolah tiba, yang datang tidak sebanyak TK. Mereka tampak lebih menyukai TK di sore hari dibanding SD di pagi hari. Tetapi, kata warga, jumlah anak yang datang ke SD di hari pertama itu sebenarnya sudah cukup banyak, mengingat kegembiraan mereka atas kehadiran guru baru ini.

Ketika sorenya TK, seperti biasa, jumlahnya membludak. Di kelas aku tanya, kenapa paginya tidak datang ke SD? Jawabannya mengejutkan, "Kalau di TK pasti diajar Bapak, tapi kalau di SD belum tentu."

Disatu sisi, ada rasa senang berarti kehadiranku sudah mulai diterima. Disisi lain, kekhawatiran mengemuka lantaran mereka jadi lebih suka masuk TK dibanding SD. Aku bilang kalau di SD ialah saat dimana kita belajar mengejar cita-cita, untuk membangun dusun ini, membanggakan orang tua. Di TK ini sebenarnya untuk adik-adik mereka belajar dan bermain. Kemudian kutegaskan, "Kalau kalian mau ikut TK syaratnya paginya belajar di SD." Jarangnya kehadiran guru-guru lain mendatangkan hikmah tersendiri. Anak-anak jadi semakin dekat. Di SD aku mengajar dengan pendekatan personal, berusaha memahami masing-masing siswa. Mendekati orangtuanya. Menggali potensinya. Mengasah keunikannya. Mengetahui keinginannya.

Syukurlah, tanggapan positif yang aku dapat. Suatu hari ketika aku sedang bermain di rumah kepala dusun, beliau berkata, "Anak-anak suka sekolah baru-baru ini saja sejak ada Pak Guru Tidar, sebelumnya songkan (malas) sekali," Alhamdulillah, anak-anak menyenangi sekolah. Rupanya, TK-ku dapat menjadi pemancing untuk mereka rajin datang SD. Meski masih ada beberapa anak yang suka malu-malu, tetapi tak apa. Biarlah mereka menjadi PR-ku. Menurutku, anak di sini sebenarnya tidak malas. Mereka hanya tidak mendapat fasilitas terpenting dari sebuah sekolah, yaitu kehadiran pengajar. Sebagai guru, aku berjanji bahwa jangan sampai aku menghalangi niat mereka untuk berekspresi dan bertumbuh. Sebagai pengajar kita harus memfasilitasi mereka supaya suka belajar. Karena belajar adalah bertumbuh, dan ketika mereka tertahan proses pembelajarannya, mereka akan layu. Ketika mereka belajar, mereka memperluas pemahaman akan kehidupan, dan itulah arti bertumbuh.


Cerita Lainnya

Lihat Semua