Nekad Bersama Sepeda 1-2

Putri Rizki Dian Lestari 5 Juli 2011
Hari ini Wintang tiba di Bawean, ia bertugas di sebuah SD Negeri di Gili, sebuah pulau kecil di dekat Pulau Bawean. Kalau orang Gili pergi ke Pulau utama, mereka akan bilang “pergi ke Bawean” dan kalau orang Bawean akan ke Pulau Jawa, maka mereka akan bilang “Pergi ke Daratan”. Kehadiran Wintang di Bawean, tentu kami manfaatkan untuk rapat koordinasi pertama. Kami berkumpul di Rumah kepala sekolah Wintang, Ibu Maria Ulfa. Disana kami akan menginap satu malam. Pagi-pagi, Tidar menjemputku dengan sebuah motor yang dipinjamkan oleh salah satu guru di SD tempatnya mengajar. Motor apa pun tak jadi masalah sebenarnya bagi ku, justru aku lebih menghawatirkan dan sedikit agak meragukan kemampuan Tidar mengendarai motor. Aku bertaruh pada diriku sendiri bahwa Tidar tidak pernah mengendarai motor dengan jarak yang jauh. Sesaat sebelum meninggalkan Dusun Tanah Rata, Tidar bertanya sambil melotot, melihat jalan yang terjal berliku “Put, lo yakin kan sama gue?” pertanyaan itu seperti menjelaskan ke khawatiranku. Pertanyaan itu ku jawab dengan membaca basmalah. Pertanyaan Tidar selanjutnya adalah “Put, lo bisa naik motor kan?” aku bilang “bisa, tapi track record gue cuma kompleks cibubur dan sekitarnya”. Rupanya pertanyaan tadi adalah mukadimah untuk bertanya “jadi ini pake gigi berapa ya?” baru lah aku benar-benar sadar perjalanan ini sungguh nekad. Mencoba tenang aku menjawab “kemarin Hety bilang, di turunan dan tanjakan dahsyat kayak gini cuma pake gigi satu dan dua doank”  Hety sahabatku, sesama Pengajar Muda Bawean sangat akrab dengan sepeda. Orang Bawean menyebut sepeda motor adalah sepeda, sedangkan mobil disebut motor, nah, sepeda di sebut besikar. Jadilah sepeda pemberani ini ku beri nama sepeda 1-2. Kawan, satu-satunya akses menuju Dusun Tanah Rata adalah melewati jalan menanjak dan berbatu yang terjal. Kalau malam, jalan ini gelap total. Kanan tebing dan pohon-pohon rimbun sedangkan Kiri jalan adalah jurang. Beberapa kali kamiberhenti karena Tidar tidak bisa mengendalikan sepeda, sehingga kami terlalu kepinggir. Ketika menanjak, doa tak henti kami panjatkan, karena saat itu si Sepeda 1-2 harus membawa ku yang berat ditambah tas Tidar dan aku yang juga berat. Keluar dari Dusun Tanah Rata, kami sedikit santai dengan jalan yang bagus, tantangan berikutnya adalah pemandangan yang luar biasa. Tidar, pengemudi sepeda motor yang masih amatir itu, tak kuasa melewatkan pemandangan sebagus itu. Sesekali kepalanya menengok memandang lautan luas, tentu aku yang gemetar. Ku ingatkan dia berkali-kali untuk tetap fokus pada jalan yang kami lalui. Oh ya Kawan, berkendara sepeda di Pulau ini, tidak mengenal helm bahkan beberapa (kebanyakan) sepeda tidak ada kaca spion. Seorang pendatang pernah bercerita, awalnya dia memakai helm saat berkendara sepeda, tapi ternyata imannya kalah pada keadaan mayoritas. Padahal teman, jalan-jalan di Pulau ini, sangat berbahaya untuk dilalui tanpa helm. Helm seharusnya di gunakan karena resiko kecelakaan yang tinggi, bukan sekedar takut pada Polisi seperti di kota besar. Setelah melalui 150 tanjakan, 100 turunan dan 500 jalan berlubang (lebay), kami mulai menemukan keramaian, kota tambak ada di depan mata. Tinggal mencari lokasi persis rumah Ibu Ulfa. Tak lama, kami mendengar seseorang memanggil kami. Tidar injak rem dan kami sama-sama menjerit “alhamdulilaaaaah, saampeeeee” Rakor Lengkap Bala Bawean, 22/6/2011

Cerita Lainnya

Lihat Semua