info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mengajar di Gang Senggol

Putri Rizki Dian Lestari 3 Agustus 2011
Teman, akhirnya hari yang paling dinanti selama beberapa minggu aku di Pulau ini tiba juga. Hari pertama masuk sekolah.  Ku persiapkan segala sesuatunya, yah, sedikit nervous Teman, mulai dari memilih baju, tak semudah biasanya. Teringat kata-kata sahabatku Furiyani, “Lo pakai baju jangan yang norak Put kalau di Bawean, jangan yang aneh-aneh” nasehat ini tentu aku pikirkan serius. Bukan tanpa alasan Dia asli Jawa Timur dan pernah ke Pulau Bawean. Akhirnya ku pilih sebuah baju yang paling sederhana dan paling biasa-biasa saja. Persiapan ku lanjutkan dengan mengelap sepatu, haha kegiatan ini, entah kapan terakhir kali ku lakukan. Hari pertama, aku lebih banyak mempersiapkan penampilan daripada pengajaran. Alasannya, karena sampai hari ini, belum ada rapat Dewan Guru, untuk menentukan aku mengajar apa atau menjadi wali kelas berapa. Jadi dugaanku, hari ini akan rapat dengan kepala sekolah. Tepat jam 12.30 WIB atau jam 13.00 WIS aku melangkah menuju sekolah, keluar dari rumah, anak-anak langsung mengikuti ku, yang sedang manjat pohon jambu, turun dan berjalan bersamaku. Beberapa anak sudah berkumpul di Durung (balé Bambu) depan sekolah. Apa yang sedang mereka lakukan? Bermain bersama Sapi, tepatnya bermain dengan tanduk sapi. Ngeri bukan? Apalagi setelah kemarin aku mendapat cerita orang yang robek perutnya diseruduk sapi. Sapi disini rata-rata adalah sapi besar untuk aduan, bukan sapi imut-imut yang sering dijual versi bonekanya. Aku duduk di Durung bersama mereka, belum ada satu guru pun yang datang, ruang guru masih terkunci, akhirnya mereka bermain Do Mi Ka Do bersamaku, permainan ini sering sekali kami mainkan saat liburan sampai Pak Ainun sang juru kunci datang. Pak Ainun meminta anak membersihkan kelas dan kami membereskan ruang Guru. Sekolah kami masuk jam 12.30 WIB teman, tapi baru jam 14.00 Guru-guru berkumpul semua. Pak Ainun mengabarkan, Kepala Sekolahku ada rapat di Tambak, jadi tidak bisa naik. Naik, adalah istilah datang ke Tanah Rata, karena rumah kepala Sekolahku ada di Dusun Kepu, di bawah. Di luar dugaan, Pak Ainun memintaku mengajar kelas 6, sementara, sampai ada rapat Dewan Guru. Boom, aku harus berfikir cepat, “What am I going to do?” aku berlari ke rumah, mengambil kertas origami, meta plan dan crayon. Memasuki ruang kelas, aku baru sadar bahwa ternyata aku salah menghitung, ruang di SD ini hanya dua, bukan tiga, dan disekat menjadi 6 kelas. Di Ruang pertama, Kelas 1 bergabung dengan kelas 2 tanpa sekat, kelas 3 mendapat jatah lebar 1,5 meter. Di ruang ke dua kelas 4 dan 5 bergabung tanpa sekat, dan kelas enam, lalu ruang disekat kecil ukuran lebar kurang dari 2 meter. Teman kelas ini persis seperti gang Senggol, dalam waktu 2 jam aku mengajar, aku sudah 5 kali kepentok ujung meja. Rasanya sulit sekali bergerak, belum lagi suara bising 1 sekolah terdengar sampai kelasku. Teman, yang dimaksud sekat disini adalah papan triplek tipis seperti pembatas Saff Laki-laki dan perempuan di Mesjid. Tantangan terberat adalah membuat anak-anakku tetap fokus dengan pelajaran ditengah keributan kelas lain. Kelas 4 dan 5 disebah kelas kami, sering membaca bersama-sama dengan suara keras, disaat seperti itu, aku memilih diam sejenak dan mendengarkan, karena sulit sekali untuk bersaing teriak-teriak, bahkan terkadang, anak-anakku ikutan membaca dengan suara keras. Nah kalau pelajaran sedang ku selingi bernyanyi, tiba-tiba anak-anak kelas 1, 2 dan 3 berdatangan ikut melihat dan bernyanyi. Yah, itulah kelas Gang Senggolku, semoga anak-anak kelas 6 dan aku bisa tetap semangat belajar dan mengajar. Dibalik itu semua aku berharap kami bisa menemukan kelas baru yang lebih kondusif.

Cerita Lainnya

Lihat Semua