Kepincut

Putri Rizki Dian Lestari 22 Oktober 2011

Kepincut

Teman, kali ini aku akan bercerita tentang satu anakku yang luar biasa bukan karena kecerdasannya atau kenakalannya. Konon, yang paling diingat sama guru-guru adalah yang paling pintar, yang paling bodoh atau yang paling nakal. Tapi teori ini tidak berlaku di kelas ku karena murid ku hanya 7 orang. Aku hafal setiap detil mereka. Dan jagoanku yang satu ini tidak termasuk kedalam golongan-golongan itu. 

Namanya Ulil Absar, tapi Uul panggilannya. Ketika pertama mengajar dahulu, aku ingat benar, dia duduk di bangku paling pojok belakang. Diam tak bergeming. Tak mau dipindah, bahkan bergeser saja tidak. Kalau aku pindahkan mejanya, dia rela belajar tanpa meja. Tak ada perlawanan tapi juga tak ada kepatuhan.

Setengah mati aku putar otak menghadapi dia. Kalau disuruh cuma bilang “Nyok” atau “elah” yang artinya tidak mau. Lama-lama aku tahu bahwa Ulil tak lancar membaca, menulis apalagi berhitung, pernah aku tes, membaca angka puluhan saja terbalik-balik, dua belas dibaca dua satu.

Situasi ini menjadi dilematis buatku. Kalau aku terlalu banyak mengurusi Ulil, anak-anak ku yang lain terbengkalai, apalagi di kelasku ada anak yang pintar. Cepat menangkap pelajaran jadi keadaan sedikit jomplang.

Akhirnya, aku datangi orang tuanya. Keluarga Ulil cukup mampu, ayahnya, satu-satunya pemilik mobil di dusun kami. Mobil yang digunakan untuk transportasi ke pasar, atau membawa barang bangunan. Kami disini menyebutnya “ekol”

Ayah dan ibunya Uul pernah meminta satu-satunya warga dusun kami yang duduk dibangku kuliah untuk membantunya belajar setiap malam, Uul diantar ke rumahnya dan ditunggui dari luar oleh ayahnya supaya tidak kabur, tapi pada akhirnya sang mahasiswa menyerah. Menyatakan mengundurkan diri menjadi guru les.

Di sekolah, guru-gurunya dari kelas 1 sampai kelas 5 mengadu hal yang sama Ulil tak pernah mau belajar, duduk selalu paling belakang, walau dipindah kedepan dalam waktu 5 menit pasti akan balik lagi mejanya. Mereka masa bodo, tak tau harus berbuat apa.

Begitu juga saat mengaji, susah sekali Ulil disuruh mengaji, kalau ayahnya meleng sedikit, Ulil sudah hilang dari langgar. Konon hanya ada satu Ustad yang ditakuti, Ulil akan belajar tanpa kabur bersama Ustad tersebut karena beliau galak dan pasti dipukul kalau tidak benar belajar, apalagi coba-coba kabur. Tapi aku tidak mau jadi ustad tersebut tentunya walau Ibunya Uul berulang kali bilang “Pukul aja bu kalau nakal!”

Akhirnya aku berjanji pada orang tua Uul untuk datang setiap jam 8 malam untuk memberinya pelajaran tambahan. Aku menyiapkan strategi untuk menhadapinya malam ini, kubayangkan dia akan kesal sekali tiba-tiba harus belajar malam-malam. Aku siapkan kertas warna-warni, spidol dan crayon, aku tidak paham soal psikologi anak tapi menurutku setiap anak suka warna-warni ketimbang kertas putih polos dan pulpen hitam atau biru saja. Malam ini aku siapakan mengajar matematika. Membilang, itu kompetensi dasarnya, bukan membilang sampai sejuta seperti yang ada di Kompetensi Dasar kelas 6, tapi membilang 2 angka atau puluhan, seperti kompetensi dasar kelas 1.

Aku datang disambut wajah cemberut dan kesal, ayahnya langsung membentaknya, menyuruhnya cepat mengambil buku. Aku bilang padanya kita hanya akan main-main saja. Ya, lama kelamaan wajah kesal itu berubah, kita tertawa-tawa, menggambar angka-angka dan malam itu Uul bisa membilang sampai puluhan ribu. Anak ini sama sekali tidak bodoh. Kami belajar sampai jam 10 malam.

Besok malamnya aku datang lagi, kita membilang dan memberinya pelajaran pengurangan, awalnya belajar dengan lidi seperti di laskar pelangi. Lagi-lagi dia cepat menguasai, hari itu dia bisa menguasai perngurangan sampai 6 angka. Dan belakangan aku ketahui pengurangan adalah favoritnya, dia mengurangi apa saja. Dan minta terus-terusan diberi soal. Ketika aku akhiri, sebelum aku pulang Uul bilang “Ibu datang besok kesini?” aku jawab tidak karena yang lain juga mau les di langgar, lalu dia bilang “kalau begitu besok saya juga ke langgar” aku tersenyum dan pulang.

Rasanya ingin cepat masuk kamar dan loncat-loncat kegirangan. Ingin berteriak-teriak kesenangan. Aaaah dia sudah kepincut dan aku lebih terpincut kagi.

Satu lagi masalah ku dengan Uul, dia tak mau menggunakan bahasa Indonesia sama sekali. Padahal aku tahu dia mampu. Dia selalu minta orang lain menterjemahkan kata-katanya untukku. Kembali aku berpikir keras, sampai suatu hari yang tak terduga, aku mambawa laptop ke dalam kelas dan menceritakan memutar video-video pendek yang lucu dan seru, aku meminta mereka menonton dan memberikan pendapat akan apa yang baru mereka lihat.

Ternyata Uul bersemangat sekali, “eshon halu bu, eshon halu” artinya “saya duluan bu” ku berikan ia kesempatan sambil ku tambahkan “Tapi harus pakai Bahasa Indonesia ya... kan kita lagi belajar Bahasa Indonesia” dia terdiam sejenak aku menebak-nebak reaksinya apakah ia mundur atau lanjut, tak kusangka dia tersenyum dan bilang “berema bu?” (bagaimana bu?) aku beritahu dia “Awali dengan kata menurut saya....” eh dia maju terus dan bilang “menurut saya Video bayi berjoget sangat lucu”

Aku girang bukan kepalang, sejak saat itu Ulil selalu menggunakan Bahasa Indonesia, walau kadang masih bercampur-campur Bahasa Bawean. 

Sekarang, Uul datang tiap malam ke langgar, aku lebih rajin dari pada siapa pun. Sekarang Uul sudah mau duduk dibangku mana saja yang aku perintahkan. Suatu hari dia bilang “Ibu cepat di Bel biar kita cepat belajar” pernah juga dalam kelas dia bilang “Ibu nanti malam kita les yaa.., tapi semuanya juga diajak”

Aaah yang begini rupanya yang bikin ketagihan mengajar.


Cerita Lainnya

Lihat Semua