Rumput Kuku-kuku

Pritania Savitri 12 September 2017

Rumput kuku-kuku mungkin hanya perdu biasa yang bisa tumbuh di sudut manapun di kawasan Hutan Lindung Latoma. Namun, bagi anak-anak desa Lalowata dan Titiowa, perdu yang memiliki tinggi sekitar 1-2 meter dengan mahkota bunga berwarna merah berbentuk seperti kuku ini, memiliki makna yang cukup special.

Sore itu, dalam perjalanan pulang dari sungai bersama anak-anak, salah seorang dari mereka berlari menuju deretan pohon-pohon besar di pinggir hutan. “Bu guru, ada rumput kuku-kuku!”. Sontak, semua anak berlarian ke titik yang sama. Saya menghampiri mereka yang sedang berkerumun, beberapa mengamati dengan serius, yang lain berebutan untuk menyentuh bunganya.

“Kalian sedang cari apa?”

“Rumput kuku-kuku bu guru. Ada nenekku mungkin disitu”

“Bapakku juga ada”

“Kata nenekku, bu guru, orang yang sudah mati nanti tumbuh jadi rumput kuku-kuku”

“Mungkin Ina Piku juga ada disini, bu guru”. Ina Piku adalah nenek angkat saya di desa yang baru meninggal sebulan yang lalu.

“Kalau begitu, sekalian saja kita doakan yuk keluarga kita yang sudah meninggal”

Anak-anak berdoa dalam diam, sesekali jari-jari kecil mereka mencuri kesempatan untuk menyentuh bunga merah perdu tersebut. Melihat mereka begitu khusyuk memanjatkan doa, menyadarkan saya bahwa dari zaman ke zaman, berbagai peradaban memiliki caranya sendiri dalam memaknai kematian. Ribuan konsep dan persepsi mengenai kehidupan setelah mati, masih jadi misteri hingga kini. Dan manusia selalu berusaha mengisi kekosongan setelah kematian dengan berbagai upaya. Doa, pesta, ritual, atau mungkin sesederhana percaya.

Tidak sedikit anak-anak desa yang ditinggal mati orang tuanya. Tak jarang pula saya melihat antusiasme di wajah mereka ketika mereka mencari dan melihat rumput kuku-kuku yang tumbuh sembarang di sekitar kebun dan hutan.Mereka akan berlari-lari, menyongsong sang perdu, dan mengagumi bunganya. Hanya untuk sekedar yakin bahwa mereka tidak ditinggal sendiri, yakin bahwa yang mati tidak begitu saja pergi.

Mungkin saat mereka beranjak dewasa nanti, saat dunia jadi semakin sempit, saat tanggung jawab mulai naik bertahap, dan mungkin saat keyakinan mereka sendiri mulai dipertanyakan. Ada sebuah kearifan lokal tertinggal, menunggu untuk dijenguk. Rumput-rumput kuku-kuku di tengah kawasan hutan Latoma ini akan tetap berdiri, menunggu anak-anaknya kembali.

“Bu guru, ayok mi kita pulang, sudah sore”


Cerita Lainnya

Lihat Semua