Aku dan Jawaban-Jawaban Dari Semesta

PratiwiHamdhana AM 22 Oktober 2015

 

[photo by : Riko SW]

 

14 Oktober 2015

Memasuki bulan kelima di penempatan sebagai Pengajar Muda angkatan X.

 

Tidak pernah ada penyesalan dan pertanyaan kenapa saya ditempatkan di Fakfak, Papua Barat. Boro-boro menyesal atau bertanya, saya sudah diliputi kebahagian dan kesenangan kala pengumuman penempatan dilaksanakan sewaktu training beberapa bulan lalu.

Hampir semua orang tahu ( atau mungkin sok tahu ) tentang betapa eksotisnya sudut di timur negeri ini, pun demikian dengan saya. Sedari dulu saya bermimpi untuk bisa menjelajah tanah Papua, well, God is always give what you want, isn’t it?

Memang tak pernah ada penyesalan dan pertanyaan perihal kenapa saya ditempatkan di sini, padahal jelas-jelas saya sendiri berasal dari timur Indonesia, Makassar, just let say it’s mestakung ( semesta mendukung ), namun kealpaan saya dalam bertanya nyatanya tak berhenti membuat semesta untuk memberikan jawaban, jawaban-jawaban atas apa yang tak pernah saya pertanyakan.

Benar adanya saya yang lahir dan besar di budaya dan lingkungan orang timur, namun beberapa tahun terakhir kaki saya lebih banyak menjejak tanah asing, ribuan mil jauhnya dari kampung, berada di Fakfak mungkin adalah cara semesta untuk mengeratkan saya lagi dengan budaya yang mungkin sudah saya lupakan, dengan karakteristik manusia yang mungkin berbeda dengan penduduk-penduduk negara lain yang pernah saya jumpai. Tidak cukup sulit untuk saya beradaptasi dengan masyarakat, mengingat tipikal orang Papua dan orang Makassar tidaklah begitu jauh berbeda, sama-sama lantang dalam berbicara dan terbuka dengan orang baru, membuat saya tidak butuh waktu lama untuk merasa diterima.

Sebagai anak pesisir, anak pecinta laut, mendapatkan lokasi kampung yang merupakan pulau lagi-lagi tak membuat saya bertanya-tanya melainkan hanya bersyukur. Namun, tentu saja semesta hari demi hari, bulan demi bulan, kembali memberikan jawaban atas apa yang tak pernah saya tanyakan. Kampung Arguni, adalah rumah kedua saya, sebuah pulau kecil dengan penduduk yang entah kenapa mengingatkan saya pada kampung halaman. Wajah-wajah ceria, keriuhan menyambut dan selalu senang dengan kedatangan orang baru, warga-warga yang gemar bercerita dan tertawa, dan tentu saja anak-anak dengan suara lantang. Semesta membuat saya pulang meski jauh dari rumah.

Adaptasi adalah hal yang sudah sering saya lakukan bahkan tanpa manual book sekalipun, keseringan traveling membuat saya beradptasi dengan mudahnya, namun juga membuat saya mengerti dan menghargai apa itu privacy bagi masing-masing individu.

As an extremely introvert, privacy for me and for everyone around me are my 1st priority. Saya tidak akan dengan gampangnya menanyakan hal-hal yang menurut saya ada dalam lingkaran privacy seseorang atau dengan mudahnya masuk ke kamar seseorang atau rumah seseorang semata-mata hanya karena kita saling mengenal. Pun sebaliknya, ketika ada orang yang berusaha menembus batas imaji lingkaran privacy saya, rasa-rasanya aneh.

Di sini, empat bulan di sini, membuat batas imaji privacy itu semakin memudar, hari demi hari. Awalnya saya sedikit khawatir dan kagok, but time does makes everything better day by day. Saya yang terbiasa me time demi mengembalikan energy atau menstabilkan emosi, kini harus mengurangi me time dan lebih banyak membuka diri pada masyarakat, khususnya anak-anak. Bagi masyarakat Arguni, saya bukan lagi tamu yang cuman datang setahun lamanya, namun telah menjadi keluarga mereka. For family, they can do whatever it takes to make their family happy. Keluarga angkatku menyiapkan satu kamar khusus untukku, dilengkapi lemari dan kasur lantai, Mama menyiapkan makan 3x sehari, Bapak yang selalu dengan sigap menarik air dari sumur naik ke atas, ke rumah kami di gunung jika air habis dan merasa saya butuh air untuk kebutuhan mck, masyarakat yang selalu tanpa segan menawari bantuan, entah itu sekedar menawari cemilan atau bahkan mengantar jemput dengan Johnson (perahu bermesin). Terbiasa hidup mandiri dan melakukan segala hal sendiri, membuat saya butuh sedikit waktu untuk menerima semua kebaikan mereka dan tentu saja dengan hati yang teramat berat. Ketidakbiasaan saya menerima bantuan orang lain membuat saya merasa sudah merepotkan dan mengganggu hidup mereka. Sungguh, saya merasa tidak enak, maka dari itu 1-2 bulan pertama saya tak banyak bersosialisasi dengan masyarakat. Sepulang mengajar, saya kembali di rumah dan hanya di rumah, jika ada anak-anak yang datang untuk belajar baru saya ajar atau jika mengajak main baru saya ikut. Terbiasa melakukan perjalanan sendiri, membuat saya sudah sangat nyaman dengan kesendirian, hidup dalam lingkar imaji privacy yang saya buat. Namun, kini tanpa diminta akan selalu ada orang yang bersedia menemani saya, entah itu Mama atau anak-anak di desa.

Seiring waktu, saya belajar untuk menerima kebaikan mereka, saya belajar untuk mulai “bergantung” pada mereka, karena pada faktanya manusia senang jika merasa dibutuhkan dan bagi masyarakat Arguni yang entah kenapa sangat gemar menawarkan bantuan, mungkin suatu kehormatan jika bisa membantu orang lain.

Anak-anak akan datang kapan saja di rumah, masuk ke kamar tanpa permisi, dan saya mulai menerima tanpa lagi merasa terganggu (well, kadang-kadang jika benar-benar butuh me time, saya sedikit terganggu sih, hehehe), saya mulai mengakrabkan diri dengan masyarakat, berkunjung sore hari, ikut berbincang-bincang dengan mama-mama dan bapak-bapak di lapangan kampung bahkan pernah menumpang tidur dan mandi di beberapa rumah masyarakat, sebuah prestasi bagi saya, karena di camp pelatihan saja saya hanya 1-2x menumpang tidur-tiduran/duduk di atas tempat tidur teman lainnya, itupun karena tempat tidur saya juga ditiduri oleh teman lainnya.

Saya mulai belajar bahwa apa yang saya anggap mungkin melanggar batas privacy seseorang atau sekelompok orang justru mungkin bagi mereka adalah sebuah kebahagiaan karena saya sudah membuka diri dan berani bergabung dan meminta bantuan mereka.

Saya mulai belajar bahwa menerima kebaikan dan bantuan orang lain tak melulu berarti bahwa saya tidak mandiri atau tidak bisa melakukan semuanya sendiri atau bahkan lebih buruk lagi bahwa saya lemah, melainkan mungkin sebuah kesenangan bagi mereka karena bisa membantu tanpa mengharapkan apapun.

Pernah suatu hari ketika air tak ada di rumah, dan Bapak serta Mama menginap di kota untuk keperluan usaha mereka, anak-anak datang bermain dan menemani di kamar. Ketika saya bercerita kalau saya belum mandi karena tidak ada air, salah satu dari murid saya, Titin, langsung menyambar dan berkata “Ibu, beta angkat air sudah eh, biar ibu mandi”, lainnya menyahut “iyo, Ibu, katong angkat air dari bawah sudah eh, ayo sudah”. Tapi, saya menolak meski berkali-kali mereka memaksa untuk melakukan. Selain karena saya belum terbiasa menerima kebaikan orang lain, saya juga tidak cukup tega untuk membiarkan anak-anak ini mengangkat 3-4 jerigen dari bawah naik ke atas rumah. Membayangkannya saja saya sudah kelelahan, dan meski saya tahu anak-anak saya sepertinya lebih tangguh dari saya, but I cant just let them do that. But surely, I learnt from them, how generous they are offering help without take me for granted.

Mungkin pembelajaran-pembelajaran itulah yang merupakan jawaban kenapa saya ditempatkan di mana saya berada sekarang, jawaban dari semesta atas pertanyaan yang tak pernah atau mungkin tak sempat saya tanyakan.

Masih ada sekitar delapan bulan, delapan bulan yang masih panjang namun sejatinya singkat. Delapan bulan untuk belajar menerima dan memberikan kebaikan. Delapan bulan untuk menerima banyak jawaban atas pertanyaan yang mungkin tak pernah atau pernah terlintas.

 

 

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua