Panggilan Dedikasi
WengkiAriando 21 Oktober 2015“Pendidikan adalah sumberdaya. Mendapatkan pendidikan yang terbaik adalah hak seluruh orang”. Awalnya saya skeptis dengan pemikiran saya ini. Saya terdiam dan mendecak kagum ketika bertemu “orang” di pelosok negeri yang memiliki panggilan dedikasi maksimum.
Perkenalkan salah satu guru yang menjadi teman, rekan kerja, penunjuk jalan, penghibur, pemberi informasi, guru bahasa Aceh, penasehat wisata dan tentunya keluarga saya di SD Negeri 2 Langkahan, Kabupaten Aceh Utara. Laki-laki pemilik nama lengkap Musliyadi ini akrab dipanggil “Pak Mus” oleh anak-anak dan dewan guru. Pak Mus adalah putra daerah asli dari kampung Geudumbak, kampung tempat saya belajar saat ini, yang berbakti untuk memajukan pendidikan di desanya. Selain menjadi guru di luar sekolah beliau juga berprofesi sebagai seorang petani pepaya dan atlit handalan bola voli kampung. Beliau sudah mengabdikan dirinya menjadi guru honor bakti murni semenjak tamat kuliah pada tahun 2005 lalu.
Pak Mus adalah tetangga tempat duduk saya di ruangan guru, yang mejanya tampak selalu tertata rapi. Beliau adalah sosok guru ceria, humoris, kreatif, dan visioner. Setiap hari ada saja cerita menarik yang dia ceritakan kepada guru-guru mulai dari murid, asal-usul nama daerah, kesenian, sampai dengan kondisi perpolitikan di Aceh saat ini. Dan kadang sesekali Pak Mus juga bercerita kepada saya tentang nasib pegawai bakti murni se-Aceh Utara yang mau dibawa pemerintah daerah kemana kedepannya. Walaupun demikian sejauh ini pak Mus yang saya kenal adalah pemuda berpikiran luas yang jarang mengeluh, penyayang, dan selalu positif.
Pak Mus pernah bercerita tentang mengapa dia memilih profesi sebagai seorang guru. Pak Mus tamat SMA ketika kondisi panas konflik dan operasi militer di Aceh. Beliau menyaksikan langsung saat dimana aksi tembak-menembak, fasilitas umun seperti sekolah dibakar, banyak murid yang tidak bersekolah karena ketakutan, kehidupan ekonomi yang minim, dan guru-guru yang pindah tugas mengajar ke tempat yang lebih aman. Pak Mus dengan mata berbinar dan suara lirih menjelaskan secara deskriptif apa yang terjadi pada saat itu.
“Lon hankuteum kejadian lage nyan ulang lom” terang Pak Mus (Saya tidak ingin kejadian seperti itu terulang lagi).
Kata-kata ini yang membuat saya ikut merasakan bagaimana sengit dan getirnya kehidupan saat masa operasi militer di Aceh. Semua sektor kehidupan jalan ditempat, termasuk dunia pendidikan. Kondisi yang membatasi ruang gerak ini membuat hatinya terketuk dan memberi petunjuk kepadanya untuk memantapkan diri menjadi seorang guru kepada murid yang bersekolah di zaman itu.
Pada saat kuliah tahun 2000, Pak Mus tidak banyak berinteraksi dan melakukan praktek mengajar dengan murid-murid, karena kondisi keamanan tidak memungkinkan dan pihak sekolah yang sangat tertutup terhadap guru magang. Salah satu cara yang beliau lakukan untuk dapat berinteraksi dengan murid sekolah adalah membuat perpustakaan keliling. Perpustakaan keliling Pak Mus adalah motor pribadi yang di belakangnya memuat kardus yang berisi buku. Buku ini dimodali mandiri oleh beliau sebanyak lima ratus ribu rupiah. Tujuan utama beliau membuat perpustakaan keliling ini supaya bisa bertemu dengan murid sekolahan, berinteraksi langsung dengannya, dan menerapkan ilmu yang beliau pelajari selama kuliah. Secara tidak langsung misi mulia ini juga membantu meningkatkan minat baca dan membuka wawasan murid yang sekolah pada saat konflik Aceh dulu. Buku-buku ini dipinjamkan secara gratis dan diperuntukan kepada sekolah pedalaman yang minim fasilitas perpustakaan, dan bahkan diberikan percuma kepada beberapa sekolah yang sangat membutuhkan. Jumlahnya memang tidak banyak tapi cukup sebagai bahan bacaan murid pada saat itu.
Banyak sekolah yang merasa terbantu oleh kehadiran perpustakaan Pak Mus, tapi tidak sedikit juga sekolah yang menolak dan bahkan mengusir Pak Mus karena mungkin dianggap sebagai mata-mata pemerintahan. Sekolah yang Pak Mus kunjungi juga berbeda-beda setiap harinya, tergantung akses dan medan yang dituju. Perjalanan menuju sekolah juga salah satu wahana uji nyali tersendiri buat Pak Mus, karena selama perjalanan sangat memungkinkan jika dicegat oleh orang tak dikenal yang mengenakan senjata, atau TNI dan kemudian diintrogasi mengenai tujuannya. Saya bisa membayangkan bagaimana kondisi saat itu. Sungguh luar biasa sekali.
Pak Mus adalah guru yang datang lebih awal di sekolah. Dalam proses belajar mengajar Pak Mus dikenal sebagai guru yang kreatif. Salah satu fakta terlihat adalah tentang proyek membuat rumah masa depan yang ditugaskan kepada muridnya. Pak Mus meminta murid kelas VA untuk membuat rumah dari sedotan, membuat penerangan, dan penghijauannya dengan perhitungan luas, efektifitas bangunan, dan detail ruangan. Pak Mus adalah guru yang menginisiasi penghijauan dan pembuatan taman sekolah. Pak Mus juga senang mengajak muridnya belajar di luar ruangan dan bereksperimen. Beliau aktif menjadi guru pendamping ekstrakurikuler sepak bola, drumband, dan pramuka di sekolah. Jika diadakan penilian tentang initiating action terhadap guru di sekolah saya, Pak Mus adalah salah satu juaranya.
Saya bangga bisa dipertemukan dengan orang seperti Pak Mus. Saya bisa banyak belajar dari pengalaman beliau. Hal ini menandakan kepada kita semua bahwa semangat dan harapan memajukan pendidikan di ujung negeri sudah berpijar dari dahulu. Dedikasi Pak Mus terhadap dunia pendidikan seperti ini patut untuk dicontoh dan disebarkan kepositifannya. Sekarang saatnya guru inspiratif seperti Pak Mus ini dijejaringkan dengan pihak positif lainnya agar tercipta ruang interaksi dan kalaborasi untuk memajukan pendidikan Indonesia. Jika semua guru di seluruh nusantara ini seperti Pak Mus, maka jayalah pendidikan Indonesia dan janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terbayarkan.
“Profesi bukan hanya sebagai pekerjaan, lebih dalam sebagai panggilan hati dan dedikasi terhadap kemajuan negeri ini”
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda