Kisah Engku Anwar

PatrickNikolas S Roeroe 30 November 2015

Tidak seperti biasa, diriku masih terjaga. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi. Waktu setiap orang untuk melakukan pengisian tenaga menunggu kedatangan sang surya yang mengharuskan beraktivitas kembali. Saat ini, aku sedang berada di sebelah bapak guru kami, bapak guru di Desa Waya ini. Seperti perasaan masyarakat Desa Waya, saya pun sedang menunggu secercah cahaya pada mata Engku Anwar yang hanya terbuka, namun, tidak melihat kami yang menunggu di sebelahnya.

            Engku Anwar, pertemuan pertama ku dengan beliau adalah saat penerimaan rapor semester ganjil tahun lalu yang dibuat sebagai transisi pengajar muda. Anwar Badrun, nama lengkapnya, berperawakan lebih pendek dariku dan lebih besar. Ia berjalan agak pincang seakan menandakan riwayat penyakit di usianya. Tatapan matanya sangat tajam seakan dapat menembus hati para siswa yang diajarnya. Beliau saat ini adalah pengawas dari sekolah penempatanku. Walaupun harusnya ia bekerja di kecamatan, Engku  diperbolehkan bertugas di Desa Waya, desa asalnya, karena beliau mengalami kondisi yang gampang sakit. Namun, bukannya mengawas, Engku Anwar mengisi kekosongan guru dan menjadi wali kelas untuk siswa kelas 1 dan kelas 2.

            Engku (panggilan untuk guru di desa kami), telah mengajar di SDN Waya selama lebih dari 20 tahun. Beliau adalah putra asli pertama dari Desa Waya yang menjadi seorang guru. Beliau sempat ditugaskan ke desa lain yang kemudian dikembalikan ke desa sendiri untuk mengajar. Hanya dalam beberapa tahun, Beliau akhirnya menjadi kepala sekolah dari SD Inpres Waya saat itu. Tidak terhitung, penduduk desa yang telah menjadi murid beliau. Beberapa diantaranya telah lulus menjadi profesi di segala bidang, bahkan diantara mereka ada yang kembali ke desa dan meneruskan menjadi guru. Selain itu, beliau juga merupakan guru mengaji. Jadwal mengaji dilakukan setiap hari.Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari saat bangun tidur pagi hingga menutup mata di malam hari, beliau terus berinteraksi bersama anak-anak

Pukul 03.00 tepat. Mataku rasanya semakin berat untuk terus terbuka. Kali ini, aku sudah berada di depan rumah Engku untuk mencari angin segar yang kuharap dapat membuatku terus terjaga. Kata dokter, Engku mengalami gagal ginjal. Beliau sempat dirawat di rumah sakit di Labuha, juga di Ternate, namun tidak menunjukkan perkembangan yang membuat diri beliau sembuh. Akhirmya beliau kembali di Waya pada sore hari kemarin. Keluarga tinggal berharap pada pengobatan desa yang kudengar telah menyelamatkan beberapa jiwa di desa tersebut.

Memasuki bulan kesebelas penugasan, saya hampir selalu menjadi orang pertama yang datang ke sekolah. Namun, terdapat beberapa hari dimana aku merasa sebagai siswa yang kesiangan datang ke sekolah. Aku biasa datang kesekolah sekitar pukul 7 pagi dan menunggu untuk para guru yang muncul dan melakukan apel. Namun, pada beberapa pagi, saat saya datang, para siswa telah rapi berbaris memulai ritual pelaksanaan apel pagi. Semakin dekat, semakin jelas bahwa yang memimpin rombongan tersebut adalah Engku Anwar. Beliau seringkali datang dan memulai apel pada waktu setengah 7 pagi, dimana saya masih bersiap menuju ke sekolah.

Banyak hal dari perilaku Engku Anwar yang patut untuk ditiru. Tidak jarang, dikarenakan oleh kekurangan guru di sekolah, Engku Anwar mengajar beberapa kelas. Tanpa kenal lelah, beliau mengajar di satu kelas kemudian pindah ke kelas yang lain. Walaupun suasana kelas sangat ramai, beliau terus memberikan penjelasan dengan tenang dan sabar. Memang, beberapa kali terlihat saat Engku memegang rotan untuk mendiamkan para siswanya. Namun, rotan yang dipegang sudah jarang untuk diarahkan kepada siswa. “Sudah berubah”, ucapan setiap om dan tante yang sempat menjadi murid dari Engku Anwar. “Jaman dulu ya Pa Pet, kita samua salah sadikit saja atau tara turuti depe mau pasti sudah dirotan, ini banyak depe tanda yang masih jadi bekas sampai sekarang.” Mendengar tuturan dari para masyarakat, perilaku kekerasan Engku sudah jauh berubah. Namun, ada satu hal yang tidak berubah dari dulu sampai sekarang, “Engku dari dulu walaupun jahat, tapi dari dulu selalu perhatikan pa torang samua. Suka pukul-pukul pa kitong tapi dari dalam hati, dong sayang samua depe murid.”

Waktu sudah menunjukkan setengah empat pagi. Diriku yang dari tadi terus bergerak demi mengusir kedinginan, sudah tidak kuasa menahan mata yang ingin beristirahat. Di depan rumah Engku Anwar, aku hanya tinggal bersama dengan Pak Riko, guru dan saudara dari Engku Anwar, juga Om Hamadal, pekerja PLN kecamatan yang sudah lama tinggal di desa ini. Kami sedang berbincang-bincang tentang perlakuan yang kurang etis dari pegawai rumah sakit, tempat beliau sempat dirawat. Selain suara kami bertiga, hanya lolongan anjing yang terus menemani heningnya subuh hari ini. Merasa tidak mampu lagi, saya pun mohon diri kepada kedua teman berbincang saya untuk kembali ke rumah piara, istirahat sejenak, dan berjanji kembali besok pagi untuk melihat keadaan Engku.

“Pa Pet, ayo ke rumah kita makan dulu!” teriakan Engku Anwar yang terdengar agak memaksa. Engku Anwar sangat sering mengajakku makan lepas dari kegiatan belajar mengajar di sekolah. Satu kali kesempatan, karena diriku selalu mengajar terlalu lama, beliau sempat meminta tolong siswa-siswa untuk memberitahuku bahwa ada ‘urusan yang sangat penting dan mendadak’ sehingga diriku berlari ke rumah beliau. Dan ternyata Engku sudah menunggu diriku untuk bergabung dalam santapan siang di rumahnya. Waktu yang lain, sekitar jam 11 malam, beliau mengajakku untuk menunggu tangkapan ikan yang kemudian diolah menjadi santapan ikan bakar segar dengan dabu-dabu mantah yang sangat lezat.

Banyak waktu yang kuhabiskan dengan beliau. Kami membahas tentang pendidikan, perkembangan sekolah, kemajuan-kemajuan yang diharapkan di desa, dan lainnya. Saat pembicaraan, beliau sangat mendukung setiap kegiatan yang saya idekan. Tidak jarang, beliau memberikanku ide-ide yang baru untuk kemajuan pendidikan di desa. Beliau sangat mau tahu akan kemajuan atau terobosan pendidikan, dan yang biasa ia katakan, “yang penting itu semua untuk kemajuan pendidikan di desa”. Beliau juga mengajarkanku tentang ketulusan dalam mengajar, memberikan yang terbaik untuk anak-anak, dan arti dari pengabdian. Walaupun, Engku sering mengkritik pendidikan di desa yang sekarang, namun, beliau selalu melangkahkan kakinya menuju sekolah pagi-pagi buta.

Tok..tok..tok..

“Pa Pet, Pa Pet, Pa Pet, Engku so lewaaaat... Engku sudah meninggal barusan,” teriak Mama Marni, kakak dari mama piaraku yang dari tadi malam berjaga di dalam rumah Engku Anwar. Kesadaranku langsung kembali di dalam badan yang sudah tergeletak nyenyak di kasur. “Jam berapa sekarang, mama?” teriakku membalas Mama Marni. “Sekarang jam 4 kurang 10 kah,” jawab Mama Marni. “Astagaa..” aku tidak mampu berkata apa-apa. Hanya beberapa menit lalu, aku baru kembali dari rumah Engku, berberes kamar, dan merebahkan badan. Aku cukup menyesal, tidak berada di samping Engku saat Engku dipanggil yang maha kuasa. Aku tidak bisa bergerak, menitikkan air mata, dan berusaha untuk menjawab dengan tegar Mama Marni yang sepertinya masih di depan pintu kamarku “Iyo, Mama Marni, pagi-pagi sudah kita kesana.”

Engku Anwar. Selain sosok guru yang pantas diteladani, beliau juga adalah sosok ayah yang luar biasa. Beliau sangat mementingkan pendidikan untuk masa depan anak-anaknya. Terbukti dari anak-anak beliau yang sudah menjadi orang hebat. Dalam susunan anaknya, anak pertama telah menjadi polisi, anak kedua menjadi ibu rumah tangga yang luar biasa bagi keluarganya, anak ketiga telah lulus dari pendidikan S2 dan penulis beberapa buku, anak keempat merupakan sarjana perikanan, anak kelima merupakan sarjana keperawatan dan alumni dari Pemuda Penggerak Desa angkatan pertama, anak keenam yang baru saja lulus dari sekolah dasar merupakan anak yang terpintar di kelasnya dan calon pemain terbaik saat kejuaraan sepakbola antar sekolah dasar di Halmahera Selatan, dan anak terakhir merupakan pendongeng cilik yang sudah dua kali lolos penyisihan awal lomba mendongeng ke bogor. Setiap anak beliau merupakan cerminan dari kerja keras Engku Anwar, yang tidak pantang menyerah untuk meraih impiannya.

Setengah 7 pagi, diriku terbangun. Aku pun langsung bergegas dengan pakaian formal menuju ke rumah Engku Anwar. Saya tahu bahwa lepas dari rumah Engku Anwar, saya pasti akan ke sekolah dan memulai pelajaran seperti biasa. “Pasti Engku juga akan tetap mengajar, asal ia bisa berjalan, sesakit apapun”, pikirku dalam hati. Namun, karena saran dari beberapa guru dan masyarakat, saya hanya melaksanakan apel pagi kemudian mengarahkan para siswa ke rumah Engku. Di rumah tersebut, perwakilan anak dan guru memberitakan tentang pengalaman hidup beliau yang selalu berkaitan dengan pendidikan. Saya dan para siswa kemudian memberikan penghormatan terakhir kepada guru kami tersebut dan menghantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhir.  

Hari ini, 18 November 2015, Desa Waya kehilangan seorang pahlawan pendidikan. Namun, seperti pepatah yang menyatakan “mati satu tumbuh seribu”, semangat beliau dalam memajukan pendidikan tidak hilang diantara kami. Guru-guru di SDN Waya yang dulu merupakan murid beliau tetap semangat untuk mengajar. Anak-anak Engku akan terus beraksi di bidangnya, beberapa diantaranya akan menekuni jalan beliau untuk memajukan pendidikan. Masyarakat Desa Waya, yang peduli akan pendidikan dan yang saat pulang dari pemakaman beliau, terus bercerita tentang pengalaman diri mereka diajar oleh Engku. Dan saya sendiri (yang ku anggap sendiri sebagai anak piara beliau) akan terus tulus mengabdi dan memajukan pendidikan. Terima kasih Engku Anwar telah menjadi sosok yang inspiratif. Kisah Engku Anwar ini akan terus berlanjut dalam kisah-kisah penggerak pendidikan yang terinspirasi dari beliau.

Bersambung...

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua