info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Suka Duka Pengajar Muda Kepulauan

Okkie Pritha Cahyani 6 Juli 2015

"Tuhan, buat lautnya bersahabat ya"

Ini merupakan kalimat yang sering saya ucapkan ketika kali pertama sampai di dermaga dan melihat kapal-kapal besar bersandar. Mungkin ini juga permohonan pengajar muda lain yang ditempatkan di kepulauan.

Menjadi pengajar muda di kepulauan itu menyenangkan. Baiknya aku mengawali tulisan di paragraf ini dengan kalimat itu. Mengapa menyenangkan? Ya, ketika jenuh dan butuh ketenangan, kami hanya perlu pergi ke pantai yang bisa ditempuh dengan perjalanan kaki antara 5-15 menit saja. Kebanyakan pantai di desa penempatan masih sangat indah, karena belum banyak pengunjung yang datang. Pantai ini bisa juga biasa kami gunakan untuk mengajar. Tak hanya itu, kami juga disuguhi pemandangan laut yang eksotis dengan air lautnya yang jernih. Dari laut, kami bisa belajar banyak hal. Seperti kehidupan kepiting misalnya. Menurut anak-anak di Kawio, kepiting banyak ditemukan di balik batu karang. Ini adalah alasan mereka kerap membuka batu karang ketika air laut sedang surut.

Tak hanya itu, pengajar muda di daerah kepulauan juga dihadiahi dengan anak-anak yang sangat aktif. Mereka aktif bergerak, dan rata-rata memiliki suara yang lantang ketika bernyanyi. Hobi lain dari anak-anak pesisir ini adalah mengajak pengajar muda untuk berenang. Kalau tidak bisa berenang, tidak perlu khawatir. Anak-anak pesisir adalah pelatih renang yang handal. Beberapa kali aku kerap mendengar mereka berteriak, "Enci Okkie, liat dulu torang berenang e. Kakinya begini, Enci!" Kebahagiaan lain sebagai pengajar muda di pesisir adalah makanannya. Ya tentu saja kami bisa makan ikan hampir setiap hari. Berbagai jenis hewan laut seperti lobster, kepiting, udang juga kerap menjadi santapan kami. Jika pergi ke pasar, harga ikan tidak semahal ketika berada di Jawa. Di Pasar Towo Kepulauan Sangihe misalnya. Pedagang menjual ikannya tidak berdasarkan beratnya, namun berpatok pada ukuran ikan dan jumlahnya. Saya pernah membeli ikan yang berukuran se-telapak tangan dengan jumlah 12, seharga Rp20.000,00. Bagaimana? Menarik bukan?

Namun dari berbagai kebahagiaan itu, kami juga memiliki kekhawatiran setiap kali harus mengarungi lautan. Ombak dan angin yang kencang kadang tak cukup membuat hati hanya berdebar, tapi juga bisa membuat kami mabuk laut karena goncangan dari kapal. Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe. Beliau berkata, ada cara mudah untuk mengetahui keadaan cuaca. Setiap kali hendak bepergian, baiknya perhatikan gerakan awan. Apabila awan bergerak dengan cepat, itu berarti angin sedang kencang. Jadi lebih baik jangan dulu bepergian. Beberapa kali, kapal yang saya naiki tidak bisa bersandar ke dermaga. Hal ini dikarenakan angin yang kencang. Goncangan ombak akhirnya membuat kapal kerap menabrak dermaga. Pilihannya hanya dua, kapal rusak atau dermaga yang hancur. Kalau sudah begitu, solusi untuk bisa mencapai darat hanya satu. Berhenti di tengah laut dan menurunkan sekoci atau pumboat untuk sampai ke darat.

Namun demikian, menjadi pengajar muda di kepulauan adalah suatu anugerah bagi saya. Mengarungi laut adalah sesuatu yang baru bagi saya, dan dari tempat ini saya belajar banyak hal. Salah satunya belajar tentang kehidupan nelayan. Sekarang saya mengerti, mengapa nelayan butuh dihargai. Perjuangan nelayan untuk mendapat ikan tidak lah mudah. Mereka harus menerjang ombak dan angin di laut demi mendapat tangkapan. Beberapa fenomena yang saya dengar, nelayan di wilayah perbatasan kerap menjual hasil tangkapannya ke negara tetangga. Bukan karena tidak cinta Indonesia, tapi karena negara tetangga mampu membeli ikan tangkapan dengan harga yang lebih tinggi.

Sekali lagi, menjadi pengajar muda di kepulauan itu menyenangkan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua